Header Ads

Niagahoster

WS074 - Dendam Di Puncak Singgalang

Dua gunung tinggi menjulang menyapu awan, terlihat jelas dari kejauhan di bawah langit yang biru bersih. Kehadiran gunung Singgalang dan Merapi di daratan tengah pulau Andalas seperti yang selalu diperumpamakan oleh penduduk memang benar yaitu seolah dua raksasa penjaga negeri. Saat itu menjelang tengah hari. Dari arah danau Maninjau di jurusan kaki gunung Singgalang tampak seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menuju ke timur.

Serial Wiro Sableng

Orang ini berusia sekitar setengah abad, berkumis tipis rapi, mengenakan destar tinggi berwarna hitam yang pinggirannya dirajut dengan benang emas. Pakaiannya terbuat dari kain beludru warna hijau yang juga ada renda benang emasnya. Di pinggangnya, di balik ikat pinggang besar, terselip sebilah keris. Baik gagang maupun sarung senjata ini terbuat dari emas sedang badannya terbuat dari sejenis besi putih yang dilapisi emas. Setiap sinar matahari jatuh pada gagang dan sarung senjata itu, kelihatan cahaya kuning memantul menyilaukan.

Pada waktu yang hampir bersamaan dari arah kaki gunung Merapi meluncur cepat sebuah kereta terbuka ditarik dua ekor kuda besar. Di sebelah kanan duduk sais kereta, seorang lelaki, bertampang seram. Wajahnya tertutup oleh kumis dan cambang bawuk lebat. Rambutnya yang gondrong diikat menjulai ke belakang. Matanya yang sebelah kiri picak sedang telinganya sebelah kanan sumplung. Di lehernya yang mengenakan pakaian serba hitam ini melingkar sebuah kalung terbuat dari akar bahar. Pada kedua lengannya juga kelihatan melingkar dua gelang hitam dari akar bahar.

"Kenapa Datuk tidak membawa senjata?" bertanya sais kereta pada orang yang duduk di sampingnya.

Orang yang dipanggil datuk ini mengenakan pakaian bagus berwarna merah penuh dengan sulaman-sulaman benang emas. Destarnya juga merah. Wajahnya klimis pucat dan agak cekung di bagian pipi. Dagunya nyaris berbentuk empat persegi sedang bibirnya tipis dan selalu terkancing rapat. Sekali lihat saja wajah orang yang dipanggil dengan sebutan Datuk ini membayangkan sifat angkuh dingin kalau tidak mau dikatakan kejam. Orang ini mempunyai kebiasaan aneh, yaitu sebentar-sebentar menyentak-nyentakan lehernya ke kiri atau ke kanan seperti ayam tertelan karet.

"Mengapa kita tidak membawa senjata katamu, Daud?" orang berpakaian merah membuka mulutnya yang sejak tadi tertutup. Lalu terdengar dia mendengus. Menyusul kemudian suara tawanya bergelak. Sais kereta sesaat jadi terdiam. Lalu dia ikut-ikutan tertawa.

"Setan! Kenapa kau tertawa?!" sang datuk membentak.

Sais kereta bernama Daud itu cepat tutup mulutnya. "Maafkan saya Datuk," katanya. "Saya cuma ikut-ikutan saja. Bukankah Datuk sering berkata agar saya lebih banyak mengikuti sifat dan kebiasaan Datuk?"

"Aku tidak suka kau tertawa lebar-lebar di hadapanku! Mulutmu bau! Tahu?!"

"Maafkan saya Datuk," kata Daud sekali lagi. Lalu dengan suara perlahan dia menyambung. "Saya masih ingin tahu mengapa Datuk tidak membawa senjata."

"Kau takut?"

"Tentu saja tidak Datuk," jawab Daud.

"Mulutmu berkata tidak tapi suaramu bergetar. Percuma kau dijuluki orang Daud Si Hantu Mata Picak! Momok nomor satu di seluruh nagari!"

"Maafkan saya. Kalau begitu saya tidak akan bertanya lagi." Lelaki bermuka angker yang mata kirinya buta picak itu mencambuk kuda-kuda penarik kereta keras-keras seolah melampiaskan rasa kesalnya pada kedua binatang itu. Dicambuk bertubi-tubi demikian rupa, kedua kuda berlari kencang seperti kesetanan.

"Bangsat kau Daud!" bentak lelaki bermuka cekung. Kalau bicara, sang datuk biasa memaki dan menyebut orang dengan kata-kata kasar seperti setan atau bangsat.

"Apa lagi salah saya, Datuk?"

"Kau melarikan kereta seperti dikejar iblis! Kau hendak membuat aku celaka, huh?!"

Daud menahan tali kekang dua ekor kuda. Binatang-binatang itu mengangkat kepalanya ke atas dan serta-merta memperlambat larinya.

"Nah sekencang begini saja sudah cukup. Kenapa harus terburu-buru?"

"Bukankah kita hendak menemui..."

Sang datuk cepat memotong kata-kata Daud. "Kita tidak menemui siapapun. Tapi justru dia yang mendatangi kita untuk mengantar nyawa anjingnya!"

Untuk pertama kalinya orang ini berpaling pada sais kereta. "Aku melihat bayangan rasa takut di wajahmu yang buruk. Kalau betul begitu hentikan kereta. Biar aku melanjutkan perjalanan seorang diri. Dan kau boleh kembali ke Silungkang! Jalan kaki!"

"Saya bersumpah saya tidak takut, Datuk. Tapi apa yang hendak kita lakukan ini bukan pekerjaan main-main. Datuk Bandaro Sati sudah dikenal di tujuh penjuru angin nagari sebagai pandekar kelas wahid."

"Dia boleh punya nama besar. Tapi usianya pendek. Lagi pula ilmu kepandaian apa yang dimilikinya? Apa setinggi gunung Merapi sedalam danau Maninjau? Kau khawatir aku akan kalah olehnya? Kalau seandainya aku terdesak, lalu apakah kau akan berpangku tangan saja, duduk di atas kereta sambil mencungkil hidungmu?"

"Tentu saja saya tidak akan tinggal diam, Datuk. Saya pasti akan membantu Datuk. Kalau tidak apa perlunya kita pergi bersama-sama," jawab Daud Si Hantu Mata Picak. "Cuma saya ada sedikit rasa waswas, Datuk. Bukankah Datuk Bandaro Sati memiliki Tuanku Ameh Nan Sabatang?"

Orang di sebelah Daud si Hantu Mata Picak menyeringai. Setelah mengusap dagunya yang licin dan menyentakkan lehernya dua kali ke kiri dia berkata. "Tuanku Ameh Nan Sabatang memang merupakan sebilah keris langka. Mengandung kesaktian dan tuah luar biasa. Kata orang kalau sudah keluar dari sarungnya harus ada nyawa yang melayang. Itu kata orang. Sampai dimana kehebatan keris itu perlu kita saksikan sendiri, Daud!"

"Seorang pandekar sesat di Bukit Siguntang yang kabarnya kebal segala macam senjata, dua bulan lalu menemui ajalnya di ujung keris itu ketika coba menantang Datuk Bandaro Sati. Kejadiannya di pesisir Pariaman."

"Aku memang mendengar cerita itu. Lalu apakah aku manusia yang bergelar Datuk Gampo Alam harus menjadi ciut nyalinya menghadapi seorang calon bangkai bergerak Datuk Bandaro Sati itu?" Habis bicara begitu orang ini meludah ke tanah. "Setan!"

"Saya yakin bagaimanapun juga Datuk lebih hebat dari Bandaro Sati."

"Yakin bukan hanya sekedar yakin, Daud. Tapi yakin yang hakul yakin!" kata Datuk Gampo Alam pula. Lehernya disentakkannya ke kanan.

Kereta itu meluncur terus menempuh kawasan sunyi berbukit-bukit. Setelah melewati sebuah desa kecil, dari jalan yang kini menurun, di kejauhan kelihatan sebuah lembah yang keindahannya seolah satu keajaiban dipandang mata.

Powered by Blogger.