Header Ads

Niagahoster

WS075 - Harimau Singgalang

Hari itu hari ketiga di bulan kedelapan merupakan hari besar bagi penduduk Pagaralam dan sekitarnya. Suara talempong, reabab, dan saluang terdengar tiada putus-putusnya. Sejak pagi halaman rumah gadang tempat kediaman Datuk Gampo Alam telah dipenuhi oleh para tetamu yang berdatangan dari berbagai penjuru.

Serial Wiro Sableng

Di barisan kursi sebelah depan, dinaungi oleh payung-payung besar berwarna-warni, duduklah sang datuk didampingi keempat istrinya di sebelah kiri, sedang di sebelah kanan duduk seorang pemuda tampan kemenakan Datuk Gampo Alam, bernama Andana.

Di belakang deretan kursi yang diduduki Datuk Gampo Alam dan keluarganya, duduk orang-orang terpandang yang datang dari Pagaruyung dan Batusangkar serta Bukittinggi. Bahkan ada yang datang dari pesisir Pariaman. Tumenggung Rajo Langit, tokoh besar di Pagaruyung sebenarnya juga diundang tetapi tidak kelihatan hadir. Mungkin ada sangkut pautnya dengan dua kejadian di Pagaralam beberapa waktu lalu antara Tumenggung Rajo Langit dan orang-orangnya di satu pihak dengan Andana dan Pendekar 212 Wiro Sableng di lain pihak.

Begitu banyaknya tamu yang datang hingga di antara mereka ada yang tidak kebagian tempat duduk. Namun semuanya dengan senang hati tegak di sekeliling halaman menunggu dimulainya acara perhelatan besar itu.

Perhelatan besar ini diadakan sebagai ungkapan rasa syukur atas kembalinya sang kemenakan setelah beberapa tahun menghilang di negeri orang. Pada kesempatan yang sama, perhelatan ini juga sebagai ungkapan rasa duka cita dalam mengenang berpulangnya Datuk Bandaro Sati, ayah dari Andana dan kakak dari Datuk Gampo Alam. Sesuai dengan berita yang telah didengar orang dari mulut ke mulut, Datuk Bandaro Sati mati dibunuh orang di sekitar Ngarai Sianok beberapa waktu lalu. Siapa pembunuhnya masih belum diketahui. Sementara itu jenazah Datuk Bandaro Sati telah dimakamkan di puncak gunung Singgalang di mana berdiam kakak perempuan almarhum bernama Uning Ramalah. Kabarnya perempuan yang sudah tua ini merupakan seorang nenek sakti mandraguna yang mempunyai pantangan membunuh. Itu sebabnya dia tidak turun gunung guna menuntut balas atas kematian adiknya.

Andana, selain tampan dan bertubuh kekar, diketahui orang sebagai seorang pandeka (pendekar) berilmu silat tinggi, memiliki tenaga dalam tinggi dan kesaktian yang sulit dicari tandingannya. Belakangan tersiar kabar bahwa konon pemuda itu telah dijuluki orang sebagai Harimau Singgalang.

Di antara orang banyak yang tegak mengelilingi halaman rumah gadang kelihatan seorang pemuda mengenakan saluak (kopiah khas Minang), berpakaian bagus berwarna biru. Dia tegak sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada. Matanya memandang berkeliling. Jika pandangannya bertemu dengan Andana, maka dia pun tersenyum lebar dan mengacungkan jari jempolnya. Orang-orang di sekitar tempat dia berdiri terheran-heran melihat pemuda ini. Mereka tidak mengenali siapa dia. Dan anehnya pemuda ini memiliki potongan badan serta wajah yang mirip dengan Andana, kemenakan Datuk Gampo Alam itu.

"Tak mungkin saudaranya Andana," kata seorang tamu setengah berbisik.

"Setahu waden (aku), si Andana itu tak punya kakak tak punya adik."

Sementara itu di salah satu bagian rumah gadang, Bunga sedang didandani oleh seorang juru solek. Di ruangan sebelah yang dipisahkan dengan batas sehelai hordeng terletak berbagai perlengakapan untuk menari termasuk seperangkat cerana berisi sirih yang akan dipersembahkan pada Andana selaku tamu kehormatan dalam perhelatan itu.

Sewaktu juru rias tengah membentuk dan mempertebal alis mata Bunga, tak sengaja gadis ini mengerling ke arah ruangan sebelah. Dia melihat seorang perempuan tinggi besar mengenakan baju kurung kuning dan berselendang melangkah mendekati cerana berisi susunan daun sirih yang sudah diisi gambir dan kapur. Karena tidak pernah melihat perempuan sebesar dan setinggi itu sebelumnya, diam-diam Bunga memperhatikan terus orang ini. Dalam hati dia merasa aneh mengapa justru orang-orang di sekitarnya seolah tidak memperhatikan perempuan tinggi besar itu.

Dari dalam sehelai sapu tangan orang itu mengeluarkan sebuah botol kecil. Isi botol kecil ini berbentuk cairan, ditebarkan di atas sirih. Tampak asap tipis mengepul. Lalu orang ini cepat-cepat meninggalkan tempat itu tanpa Bunga sempat melihat wajahnya.

Selesai didandani, dengan penuh rasa ingin tahu Bunga pergi ke ruangan sebelah. Diperhatikannya tiga susunan sirih yang ada di atas cerana. Warnanya yang seharusnya hijau segar telah berubah agak kehitaman. Bunga mendekatkan hidungnya ke susunan sirih itu. Gadis ini merasa hidungnya seperti hendak tanggal. Dia batuk-batuk berulang kali. Wajahnya tampak agak pucat. "Racun kala hutan...," kata Bunga dalam hati.

Mengapa perempuan tinggi besar tak dikenal tadi meracuni daun-daun sirih itu? Siapa yang hendak diracuninya? Andana? Pasti Andana karena sesuai kebiasaan, sirih itu nanti akan dipersembahkan pada pemuda tersebut. Andana akan mengunyahnya. Apa yang harus dilakukannya? Membuang semua sirih itu lalu menggantikannya dengan yang baru? Tak ada jalan lain. Memang hanya itu yang segera dan harus dilakukannya. Karena kalau Andana sampai mengunyah dan memakan daun sirih persembahan yang telah disiram dengan racun kala hutan itu, maka nyawanya tidak akan tertolong lagi. Racun kala hutan adalah racun paling jahat yang tidak ada obat pemusnahnya.

Seorang perempuan separuh baya muncul dari balik hordeng. "Bunga, saatmu keluar! Lekas bawa cerana dan turun ke bawah! Para penari lainnya sudah menunggu."

Dengan agak gugup gadis itu berdiri lalu mengambil cerana di atas meja. Bersamaan dengan itu dia cepat mengambil selembar daun sirih yang masih segar dari atas meja, lalu diberinya gambir dan kapur sirih dan dilipatnya. Sebelum diletakkan di atas cerana, Bunga mengambil lagi sehelai daun sirih. Daun kedua ini dipergunakan sabagai alas untuk meletakkan daun sirih yang tadi dilipatnya. Meskipun sirih yang satu itu terlindung dari racun yang sudah melekat pada sirih-sirih lainnya, namun hati Bunga tetap saja merasa kawatir kalau-kalau racun kala hutan bisa merambas menembus daun sirih yang dijadikan alas.

"Hai cepatlah Bunga! Apa yang kau lakukan itu?" tegur perempuan tadi.

"Saya segera turun, Etek...," kata Bunga pula.

Perhelatan besar dan meriah itu dibuka dengan sambutan pendek yang tak lupa dibumbui dengan pepatah-pepitih di samping memuji-muji Datuk Gampo Alam dan kemenakannya.

Powered by Blogger.