Header Ads

Niagahoster

Kemelut Di Cakrabuana

Lelaki tua berjenggot putih itu mangangkat kaki kanannya dengan lutut sejajar pusar, sedangkan sepasang tangannya siap siaga di depan dada dengan telapak terbuka lebar.

Lelaki itu menahan napas sejenak, mulutnya berkomat-kamit. Secara tiba-tiba kaki kanan yang terangkat itu melompat ke depan. Bersamaan dengan itu sepasang tangannya mendorong dengan pengerahan tenaga kuat. Tenaga dorongan mengarah ke depan, ke arah sebongkah batu yang jaraknya ada sekitar lima depa (1 depa kurang lebih 1,698 meter). Seiring dengan teriakan yang keluar dari mulut lelaki tua itu, angin pukulan pun terdengar berciutan. Kemudian tak lama antaranya terdengar suara ledakan memecah jantung. Bongkahan itu hancur hampir menjadi kerikil bertaburan.

Trilogi Senja Jatuh Di Pajajaran

"Mengagumkan sekali Paman Jayaratu!" teriak seorang pemuda yang berdiri terpana pada jarak sejauh lima depa.

"Suatu saat, engkau yang harus melakukan gerakan ini," kata Paman Jayaratu menatap pemuda itu.

"Saya?"

"Ya, Purbajaya...!"

"Untuk apakah?"

"Untuk membela agamamu! Untuk memperkokoh, memperkuat bahkan membuatnya besar," tutur Paman Jayaratu.

"Paman kan pernah bilang, Islam tak butuh kekerasan," kata Purbajaya.

"Memang betul, Islam tak butuh kekerasan tapi kekuatan. Ilmu kedigjayaan adalah bagian dari kekuatan. Dan itu perlu untuk kewibawaan agama kita," tutur lagi Paman Jayaratu.

"Harus dengan kedigjayaankah Islam melebarkan sayap?" tanya pemuda itu, duduk bersila di sebuah hamparan tikar pandan.

Paman Jayaratu menghela napas. Kemudian dia pun mencoba duduk bersila diatas tikar yang sudah ditempati pemuda itu. Sebelum meneruskan percakapan, Paman Jayaratu mengenakan kembali baju kurung warna hitamnya. Ikat kepalanya yang juga berwarna hitam pun segera dikenakannya lagi, sehingga nampak kontras dengan warna rambut putihnya yang riap-riapan tertebak semilir angin tengah hari.

Mereka berdua duduk di bawah pohon kaso yang rindang yang berdiri terpencil di kaki bukit itu. Nun jauh ke sebelah utara, nampak dataran rendah pantai utara yang langsung berbatasan dengan warna laut biru pesisir Cirebon.

"Kenakan kembali pakaianmu, Purba!" kata Paman Jayaratu.

Purbajaya segera mengambil baju rompi hitam yang terbuat dari kain beludru biru. Dadanya yang bidang dan putih sedikit tertutup oleh rompi. Purbajaya pun segera mengikat kepalanya dengan ikat kepala warna putih.

"Dalam hal apapun kedigjayaan adalah lambang kegagahan. Namun harus diingat, kegagahan hanyalah sebuah pelengkap, atau bagaikan kembang pelengkap keindahan. Sedangkan sumber dari segala kekuatan itu sendiri adalah saripatinya. Islam disaat-saat perkembangannya memang butuh kegagahan. Namun kegagahan itu sudah barang tentu jangan mengalahkan tujuan utamanya sendiri. Ingatlah, kalau pun ada terdengar orang Islam melakukan peperangan, itu bukanlah pamer kegagahan atau pun pamer kekuasaan, melainkan mempertahankan keberadaan. Kita berkewajiban mempertahankan keberadaan Islam. Untuk itu kita butuh kedigjayaan dan kekuatan," tutur Paman Jayaratu panjang lebar.

Purbajaya duduk tegak memangku kedua belah tangan. Termenung sejenak, kemudian mengangguk-angguk.

"Saya siap berlatih kedigjayaan, Paman..." kata Purbajaya pada akhirnya.

"Tapi ingatlah, kau tidak dididik untuk jadi tukang berkelahi atau pun tukang pukul. Agama kita benci kepada kesombongan, takabur dan kejam," tutur Paman Jayaratu. Pemuda itu mengangguk-angguk lagi.

"Apakah agama kita benci pembunuhan?" tanya pemuda itu tiba-tiba.

"Hati-hatilah bicara pembunuhan sebab dalam agama kita, pengadilan pertama di hari kiamat adalah perkara pembunuhan!" potong Paman Jayaratu tegas.

"Jadi dalam agama kita tak boleh ada pembunuhan, Paman?"

"Di sini bukan berbicara masalah boleh atau tak bolehnya tapi menitik beratkan pada perkara apa yang kita hadapi ini."

"Tugas saya kelak dari Negeri Carbon ini adalah menyelundup ke Pajajaran," gumam Purbajaya tiba-tiba dengan wajah tegang. Dia khawatir di tempat musuh nanti akan berhadapan dengan tugas-tugas membunuh.

Paman Jayaratu seperti maklum akan isi hati pemuda ini.

"Kita harus punya kedewasaan dalam berpikir. Kalau ada ucapan orang seagama berdosa besar membunuh sesamanya, tidak berarti bunyi ucapan ini bisa diputar balik lantas kita bisa bebas dari dosa kalau membunuh orang yang tak seagama," kata Paman Jayaratu. "Dan kau harus hati-hati dalam berpikir, ilmu kedigjayaan yang aku berikan bukanlah ilmu untuk membunuh," tandasnya lagi. Kembali Purbajaya mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Tapi ikut bertugas menyebarkan agama kita ke masyarakat Pajajaran sungguh berat," keluh pemuda itu kemudian.

"Tidak berat sebab tak ada paksaan masuk agama kita. Engkau hanya perlu meyakinkan saja. Dan yang belum yakin dengan agama kita sebaiknya tak perlu masuk sebab bila telah masuk lantas keluar lagi, dia akan mendapat hukuman sebagai orang murtad," kata Paman Jayaratu.

Untuk kesekian kalinya Purbajaya mengangguk-angguk.

Aan Merdeka Permana


Powered by Blogger.