Header Ads

Niagahoster

Bekisar Merah

Dari balik tirai hujan sore hari, pohon-pohon kelapa di seberang lembah itu seperti perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan daya hidup. Pelepah-pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergerai dan jatuh di belahan punggung. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh hembusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Ketika angin tiba-tiba bertiup lebih kencang, pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tangan-tangan penari yang mengikuti irama hujan, seperti gadis-gadis tanggung berbanjar dan bergurau di bawah curah pancuran.

Bekisar Merah

Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar di dinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang sengon yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putih dan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklat kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jambe rowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberi kesan purba pada lukisan yang terpajang di sana.

Dalam sapuan hujan, panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup, tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat. Lukisan besar di seberang lembah mendadak mendapat pencahayaan yang kuat dan menjadikannya lebih hidup. Warna-warninya muncul lebih terang, matra ketiganya makin jelas. Muncul pernik-pernik mutiara yang berasal dari pantulan sempurna cahaya matahari oleh dedaunan yang kuyup dan bergoyang. Dari balik bukit, di langit timur yang biru-kelabu, muncul lengkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anak perawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni.

Ketika dengan tiba-tiba pula matahari lenyap, suasana kembali samar. Apalagi hujan pun berubah deras, menyusul ledakan guntur yang bergema di dinding-dinding lembah. Angin kembali bertiup kencang sehingga pohon-pohon kelapa itu seakan hendak rebah ke tanah. Ketika itulah dada Darsa terasa berdenyut. Darsa yang sejak lama memandangi pohon-pohon kelapanya di seberang lembah itu, hampir putus harapan. Bila hujan dan angin tak kunjung berhenti Darsa tak mungkin pergi menyadap pohon-pohon kelapanya. Sebagai penderes, penyadap nira kelapa, Darsa sudah biasa turun-naik belasan pohon dalam hujan untuk mengangkat pongkor yang sudah penuh nira dan memasang pongkor baru. Namun hujan kali ini disertai angin dan guntur. Penderes mana pun tak akan keluar rumah meski mereka sadar akan akibatnya, nira akan masam karena pongkor terlambat diangkat. Nira demikian tidak bisa diolah menjadi gula merah. Kalaupun bisa hasilnya adalah gula gemblung, yakni gula pasta yang harga jualnya sangat rendah. Padahal, sekali seorang penyadap gagal mengolah nira, maka terputuslah daur penghasilannya yang tak seberapa. Pada saat seperti itu yang bisa dimakan adalah apa yang bisa diutang dari warung.

Dari emper rumah bambunya, Darsa kembali menatap ke timur, menatap pohon-pohon kelapanya yang masih diguyur hujan nun di seberang lembah. Darsa gelisah. Kesejatian seorang penyadap serasa tertantang. Bagi Darsa, bagi setiap lelaki penyadap, pohon-pohon kelapa adalah harapan dan tantangan, adalah teras kehidupan yang memberi semangat dan gairah hidup. Tetapi karena hujan dan angin yang belum juga mereda, Darsa tak berdaya mendekati pohon-pohon kelapa yang terasa terus melambaikan pelepah-pelepah ke arahnya.

Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. Hati Darsa makin kecut. Mungkin sore ini Darsa harus merelakan niranya berubah menjadi cairan asam karena tidak terangkat pada waktunya. Darsa hampir putus asa. Tetapi pongkor, seruas bambu penadah nira yang bergantungan pada manggar-manggar kelapa, terus memanggil dan mengusik hatinya minta diangkat. Manakala hujan agak surut, harapannya muncul. Namun bila hujan kembali deras dan guntur meledak-ledak, harapan itu lenyap. Sementara suara beduk dari surau Eyang Mus sudah terdengar, sayup menyelinap ke hujan. Ashar sudah lewat dan senja hampir tiba. Makin kecil saja kemungkinan Darsa bisa mengangkat niranya sore ini, karena belum juga tampak tanda-tanda cuaca akan berubah.

Sambil menjatuhkan pundak karena merasa hampir kehilangan harapan, Darsa membalikkan badan lalu masuk ke rumah. Berdiri di ruang tengah Darsa melihat Lasi, istrinya, sedang merentang kain basah pada tali isisan di emper sebelah barat. Lasi selesai mandi. Rambutnya basah tergerai, terjun ke belakang telinga kanan, melintir ke depan dan terjumbai di dada. Sekejap Darsa terbayang akan pohon-pohon kelapanya yang sedang disiram hujan. Dan karena Lasi berdiri membelakang, Darsa dapat melihat punggung istrinya yang terbuka. Juga tengkuknya. Ada daya tarik yang aneh pada kontras warna rambut yang pekat dengan kulit tengkuk Lasi yang putih, lebih putih dari tengkuk perempuan mana pun yang pernah dilihat oleh Darsa. Penyadap muda itu tak habis merasa beruntung punya istri dengan kulit sangat putih dan memberi keindahan khas, terutama pada bagian yang berbatasan dengan rambut seperti tengkuk dan pipi. Apalagi bila Lasi tertawa. Ada lekuk yang sangat bagus di pipi kirinya.

Di mata Darsa, pesona dan gairah hidup yang baru beberapa detik lalu direkamnya dari pohon-pohon kelapa di seberang lembah, kini berpindah sempurna ke tubuh Lasi. Sama seperti pohon-pohon kelapa yang selalu menantang untuk disadap, pada diri Lasi ada janji dan gairah yang sangat menggoda. Pada Lasi terasa ada wadah pengejawantahan diri sebagai lelaki dan penyadap. Pada diri istrinya juga Darsa merasa ada lembaga tempat kesetiaan dipercayakan. Dan lebih dari pohon-pohon kelapa yang tak putus meneteskan nira, Lasi yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-cita hidup Darsa sendiri.

Lasi selesai mengisis kain basahan. Ketika hendak masuk ke dalam, matanya bersitatap dengan suaminya. Entah mengapa Lasi terkejut meski ia tidak merasa asing dengan cara Darsa menatap dirinya. Ia pun kadang-kadang mencuri pandang, memperhatikan tubuh suaminya dari belakang, sebentuk tubuh muda dengan perototan yang kuat dan seimbang, khas tubuh seorang penyadap yang tiap hari dua kali naik-turun belasan atau bahkan puluhan pohon kelapa. Dalam gerakan naik-turun pada tatar-tatar batang kelapa, seluruh perototan seorang penyadap digiatkan, terutama otot-otot tungkai, tangan, dan punggung. Hasilnya adalah sebentuk tubuh ramping dengan otot liat dan seimbang. Bila harus dicatat kekurangan pada bentuk tubuh seorang penyadap, itu adalah pundaknya yang agak melengkung ke depan karena ia harus selalu memeluk batang kelapa ketika memanjat maupun turun.

Ahmad Tohari


Powered by Blogger.