Header Ads

Niagahoster

WS060 - Serikat Candu Iblis

Musim panas sekali ini memang gila. Delapan purnama telah berlalu tanpa sekali pun turun hujan. Sungai mengering, danau berubah menjadi lembah tandus. Pepohonan banyak yang hanya tinggal ranting-ranting meranggas. Sawah sudah sejak lama menjadi pendataran liar yang terdiri dari bongkah-bongkah tanah kering kerontang dan alang-alang.

Serial Wiro Sableng

Di bawah teriknya sinar matahari yang seperti membakar bumi menghanguskan jagat, di sebelah selatan Gunung Karangpandan, di tepi sebuah rimba belantara kelihatan satu pemandangan yang bisa dikatakan luar biasa. Delapan orang lelaki bertelanjang dada, rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh, setengah berlari tampak mengusung sebuah tandu. Empat di depan, empat di belakang. Di bagian tengah tandu ada sebuah tempat duduk kayu yang diberi atap dan dinding serta pintu, semuanya terbuat dari kayu jati hitam. Karena kayu jatinya merupakan kayu jati paling bagus dan tebal, maka keseluruhan tandu itu memiliki berat tidak kurang dari dua ratus kati. Belum lagi kalau di atas tandu itu ada orangnya.

Di samping itu, demikian rapatnya dinding dan pintu tandu, sehingga siapa pun yang ada di dalamnya tidak dapat dilihat dari luar. Meskipun tandu itu demikian beratnya namun kedelapan lelaki yang mengusungnya berjalan cepat setengah berlari. Sambil bergerak, dari mulut empat orang pengusung di sebelah depan tidak henti-hentinya menyerukan dengan bersemangat kata-kata hitungan, "Satu-dua-tiga-empat! Satu-dua-tiga-empat!" Lalu empat teman mereka di sebelah belakang pada akhir hitungan ke empat menyahuti dengan ucapan, "Anjing gila jilat pantat! Anjing gila jilat pantat!" Begitu seterusnya sepanjang perjalanan selalu terdengar "Satu-dua-tiga-empat! Anjing gila jilat pantat! Satu-dua-tiga-empat! Anjing gila jilat pantat!" Tubuh, muka dan kepala delapan lelaki pengusung tandu tampak basah oleh keringat. Tetapi hebatnya, mereka tidak tampak letih.

Rombongan pengusung tandu aneh itu berangkat sejak fajar menyingsing dari arah Magetan menuju ke barat. Kedelapan orang pengusung sama sekali tidak mengetahui kemana sebenarnya tujuan mereka. Pada saat-saat tertentu di lantai tandu yang tertutup itu mereka mendengar suara ketukan. Ada kalanya dua ketukan, atau tiga kali ketukan, kadang-kadang hanya satu kali. Ketukan-ketukan itu adalah tanda atau petunjuk yang harus mereka ikuti. Satu ketukan berarti jalan terus ke depan. Dua ketukan membelok ke kanan. Kalau terdengar tiga kali ketukan pada lantai tandu berarti mereka harus menikung ke kiri.

Dari dalam tandu juga sesekali keluar asap tipis berwarna putih agak kelabu. Anehnya, setiap asap putih itu keluar, ke delapan orang lelaki pengusung seperti berebutan meninggikan hidung, serentak menghirup asap tersebut. Begitu mereka dapat menghirup asap itu, wajah mereka kelihatan menjadi kemerahan. Rasa letih di sekujur tubuh masing-masing menjadi lenyap.

Di suatu tempat terdengar dua ketukan pada lantai tandu. Delapan pengusung segera membelok ke kanan. Kini mereka memasuki rimba belantara yang sebelumnya hanya mereka susuri sepanjang pinggirnya saja. Dulunya rimba belantara ini tertutup kerimbunan daun-daun pepohonan. Kini sejak dilanda musim kemarau panjang selama delapan bulan, rimba belantara itu hanya tinggal pohon-pohon nyaris tak berdaun, tidak mampu membendung teriknya sinar matahari. Di lantai tandu terdengar suara ketukan satu kali berkepanjangan. Pertanda jalan yang ditempuh adalah lurus ke depan.

Di salah satu bagian hutan, ketukan satu kali-satu kali tiba-tiba berhenti. Lalu berganti dengan ketukan tujuh kali-tujuh kali. Delapan orang lelaki pengusung serta merta berhenti berlari. Suara seruan "Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!" langsung sirap. Semuanya memandang berkeliling dengan mata tidak berkesip.

Sebenarnya sejak memasuki rimba belantara tadi mereka diam-diam telah mengetahui ada serombongan orang tengah menguntit mereka. Namun karena tidak mendapat petunjuk dari dalam tandu maka mereka tidak berani melakukan sesuatu dan dengan tenang sambil terus mengumandangkan ucapan-ucapan "Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!", kedelapannya terus saja berlari.

Kini tujuh ketukan tadi telah mereka dengar. Itulah satu perintah yang berarti mereka harus berhenti berlari karena ada bahaya dan mereka harus menghancurkan bahaya itu. Delapan lelaki bertubuh tegap itu tidak menunggu lama. Semak belukar di sekeliling mereka tersibak. Dua belas orang berpakaian merah dan berikat kepala kain merah muncul. Tampang mereka rata-rata angker dan masing-masing mencekal sebilah golok besar.

Seorang dari mereka melangkah maju. Rupanya dia yang menjadi pimpinan dari sebelas kawan-kawannya. Berewok dan kumisnya sangat lebat.

"Kalian rombongan dari mana dan mau ke mana?"

"Kami dari Magetan dalam perjalanan menuju ke barat," salah seorang dari delapan lelaki pengusung tandu menjawab. Dia adalah yang berada di sebelah kanan depan.

"Barat itu luas. Sebutkan tujuan kalian dengan jelas. Jangan memberi teka-teki padaku!" bentak si berewok ini.

"Kami tidak berteka-teki. Kami bicara apa adanya!" jawab si pengusung di kanan depan. Rupanya dia tidak takut menghadapi rombongan orang-orang angker yang kini mengurungnya di dalam rimba belantara itu. Ketujuh temannya juga tidak menunjukkan rasa khawatir. Sikap mereka tenang tapi sepasang mata masing-masing tidak berkesip mengawasi keadaan sekeliling mereka.

Powered by Blogger.