Header Ads

Niagahoster

Kemelut Di Istana Sri Bima

Suara tepukan itu iramanya terdengar beraturan. Dan yang lebih khas dari itu, keras menyakitkan karena tepukannya dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat. Suara itu terus menggema ke segala arah. Dan untuk yang kesekian kalinya, terlihat burung-burung beterbangan dari dahan-dahan pohon pinus karena kaget.

Trilogi Senja Jatuh Di Pajajaran

Namun manakala ribuan kelelawar melintas di goresan-goresan merah lembayung di ufuk barat, suara tepukan segera berhenti.

"Lanjutkan, Ginggi!" teriak satu suara yang berat.

"Tapi, kelelawar sudah mulai meninggalkan sarang, Aki!" jawab suara lainnya agak tinggi melengking.

"Aku katakan, lanjutkan tugasmu, Ginggi!" yang bersuara berat terdengar membentak dan suaranya seperti memukul gendang telinga yang mendengar. Namun suara tepukan belum terdengar juga.

"Aki, lihatlah! Kedua belah tanganku sudah pecah kulitnya dan ada darah keluar dari lubang pori-porinya. Pedih dan menyakitkan. Tidakkah ini menyiksa diriku?" keluh si suara kecil melengking dengan nada jengkel. Namun dijawab juga oleh suara nada berat tak lebih jengkelnya.

"Penderitaanmu dalam melaksanakan tugas latihan ini tidak separah rakyat Pajajaran, Ginggi. Hancur kulit telapak tangan tak seberapa sebab dalam sehari dua hari akan sembuh dengan sendirinya. Tapi hancur hati dan perasaan tak mungkin terobati sampai akhir hayat!" kata si suara berat.

Hening sejenak. Terkecuali ada bunyi serangga yang terdengar dari kejauhan. Mungkin datang dari gundukan hutan pinus yang kini mulai dipeluk kabut tipis. Udara semakin dingin manakala kabut senja jatuh semakin menebal. Namun dua orang aneh yang asyik berdebat itu masih jua tak beranjak. Keduanya bahkan sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di bawah lembah memanjang, sebuah tempat yang paling dingin di puncak gunung, karena tempat itu jadi pusat perjalanan angin.

Kedua orang itu mengambil tempat di sela-sela beberapa pohon loa yang besar dan berjanggut. Yang satu duduk bersila dengan punggung tegak serta dada membusung. Usianya mungkin sekitar 60 tahunan. Ada kumis tebal dan jenggot menggapuy hingga sebatas dada dan semuanya berwarna putih keperak-perakan. Kepalanya diikat kain pengikat berwarna nila namun tak sanggup menyembunyikan rambutnya yang lebat riap-riapan. Kalau lembayung tak begitu tipis, mungkin akan merupakan paduan indah serasi bila warna emas lembayung itu sanggup menerpa warna perak rambut orang tua itu.

Ini sebuah pemandangan aneh. Di senja bercuaca dingin seperti itu, di mana kabut mulai menggayut, tapi dada bidang lelaki itu penuh bersimbah keringat. Dan yang tak kalah anehnya adalah pelaku satunya lagi.

Lelaki ini usianya jauh lebih muda lagi, barangkali sekitar 15 atau 16 tahunan. Kendati rambutnya sama panjang dan sama tergerai, namun rambut pemuda ini nampak hitam legam dan tebal. Ada sedikit keriting di ujung-ujungnya.

Dia pun sama tak berbaju, kecuali celana pangsi, yaitu celana panjang sebatas betis berwarna nila. Karena tak berbaju pula, maka nampak dadanya yang bidang pula. Ada tonjolan otot di sepasang lengannya.

Pemuda itu nampak lugu. Wajahnya hampir bulat telur, hidungnya sedikit mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Dan yang paling menonjol dari semuanya, sepasang matanya berbinar bulat. Rambutnya yang subur hitam nampak tergerai menyapu tanah. Begitu panjangkah hingga sanggup menyapu tanah?

Ouw, ternyata bukan rambut itu yang terlalu panjang. Bisa tergerai menyapu tanah lantaran tubuh pemuda itu posisinya dalam keadaan tak normal. Anak muda ini ternyata tengah melakukan atraksi. Seraya sepasang telapak tangannya masih bertepuk-tepuk lambat dengan pengerahan tenaga dalam, kaki-kakinya nampak tengah bergayut di dahan pohon loa.

Kalau bertapa dengan kedudukan tubuh terbalik, maka orang Pajajaran bilang itu adalah tapa sungsang. Tapi anak muda itu sebetulnya bukan tapa sungsang, melainkan tengah berlatih ilmu kedigjayaan.

"Aku tidak bilang bahwa kesengsaraanku lebih tinggi dari rakyat Pajajaran. Yang aku perbincangkan adalah soal janji Ki Darma sendiri!" gumam anak muda itu masih bergayut.

"Aku memang senang berjanji tapi rasa-rasanya tak ada janji yang tak aku tepati!" jawab si lelaki tua. "Coba, janji apa yang aku langgar, Ginggi?"

"Tadi dinihari Aki bilang bahwa latihanku hanya akan berlangsung dari mulai kelelawar pulang sarang hingga mereka kembali ke luar sarang. Nah, sekarang lihatlah di atas awan lembayung, bukankah kelelawar mulai keluar sarang?" tanya anak muda yang ternyata bernama Ginggi itu.

Lelaki tua yang disebutnya Ki Darma itu tertawa terkekeh-kekeh.

Powered by Blogger.