Header Ads

Niagahoster

WS061 - Makam Tanpa Nisan

Matahari belum lama tenggelam. Namun pulau kecil di pantai barat pesisir Andalas itu telah terbungkus kegelapan. Kesunyian yang mencengkam dibayang-bayangi oleh deru angin laut dan debur ombak yang memecah di pasir pulau. Sesekali kunang-kunang beterbangan di udara, sesaat menjadi titik-titik terang yang tak ada artinya lalu menghilang lenyap dan kembali kegelapan kelam menghantu.

Serial Wiro Sableng

Sesosok tubuh berjalan terbungkuk-bungkuk dalam kegelapan. Gerakan kedua kakinya enteng dan hampir tidak terdengar. Namun binatang-binatang melata yang bertelinga tajam dan ada disekitar situ masih dapat mendengar gerakan langkah kaki orang ini lalu cepat-cepat melarikan diri menjauh.

Di samping serumpun pohon bakau, orang ini hentikan langkahnya. Telinganya dipasang tajam-tajam. Kedua matanya memandang tak berkesip ke muka. Di depannya dalam kegelapan dia melihat, ada mata air kecil jernih, yang membentuk sebuah parit dangkal. Dia mengikuti parit itu ke arah seberang sana hingga pandangan matanya tertumbuk pada akar sebuah pohon yang sangat besar. Lama orang ini menatap pohon besar yang tegak menyeramkan sejarak dua puluh langkah dari tempatnya berdiri. Matanya memandang ke arah batang pohon yang besarnya lebih dari tiga pemelukan tangan manusia itu. Lalu dia menyeringai dan gelengkan kepala. Dari mulutnya terdengar ucapan perlahan.

"Di saat orang hendak melakukan kebaikan, menjenguk sahabat yang berpulang, masih saja ada makhluk-makhluk lain hendak berbuat kejahatan."

Orang ini kembali memandang ke arah pohon, lalu dia berseru. "Manusia dibalik pohon! Apa maksudmu sengaja sembunyi disitu? Hendak menghadang dan membokong?"

Tak ada sahutan.

Angin laut bertiup kencang. Semak-semak dan daun-daun pepohonan terdengar bergemerisik. Seekor kadal hutan melintas cepat di depan kaki orang yang tegak dekat mata air.

"Ah, dia tak mau menjawab," kata orang yang barusan bicara. "Kalau begitu terpaksa aku harus meneruskan langkah." Dengan tangan kanannya dia mematahkan sebuah ranting kecil di samping. Lalu bertongkatkan ranting ini, orang itu meneruskan langkahnya. Melompati parit kecil di depannya. Sesaat kemudian dia telah sampai di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masih saja tetap terbungkuk-bungkuk seperti tadi. Namun sepasang mata dan telinganya dipasang benar-benar.

Satu langkah dia akan melewati pohon besar, tiba-tiba laksana setan keluar dari sarangnya satu bayangan putih melompat keluar dari balik pohon. Sebuah benda berbentuk tombak yang memiliki dua mata menderu ke arah kepalanya.

"Membokong adalah pekerjaan pengecut!" seru orang yang diserang. Tangan kanannya yang memegang ranting digerakkan dengan sebat ke atas. Orang ini tahu sekali bahwa ranting yang dipegangnya tidak akan menang melawan tombak besi yang menghantam ke arahnya. Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi berusaha memukul lengan yang memegang tombak bermata dua itu.

Si penyerang gelap rupanya tahu apa yang hendak diperbuat lawan. Sambil menggeser kakinya dan miringkan tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang kini ditusukkan ke dada. Tak ada jalan lain, mau tak mau yang diserang sekarang terpaksa pergunakan rantingnya untuk menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke depan, masuk di antara dua mata tombak. Orang memegang tombak terkejut ketika merasakan bagaimana tombak besinya laksana ditahan satu kekuatan dahsyat, membuatnya tidak mampu untuk mendorong walau sudah kerahkan seluruh tenaganya. Dengan nekad, kalau tadi dia hanya andalkan tenaga luar, orang ini kerahkan tenaga dalam lalu sambil mendorong dia keluarkan bentakan keras.

Kraaakkkk...!

Ranting kayu berderak patah. Tapi tongkat bermata dua terpelanting ke kiri, nyaris terlepas. Si pemilik tombak mundur tiga langkah, matanya memandang ke depan, coba menembus kegelapan untuk dapat melihat wajah orang yang gagal diserangnya itu. Tapi sia-sia saja. Kegelapan malam begitu pekat sehingga walau berada cukup dekat dia tidak bisa melihat wajah orang itu, apalagi mengenalinya.

Maka diapun bertanya membentak, "Siapa di situ?!"

Jawaban yang didapatnya justru bentakan pula. "Kau yang menghadang dan menyerang! Aku yang lebih layak menanyakan siapa dirimu!"

Orang dibalik pohon keluarkan suara mendengus.

"Aku Kiai Surah Ungu dari Banten! Katakan siapa dirimu?"

"Kiai Surah Ungu dari Banten...?" mengulang orang yang masih memegang patahan ranting. "Ah...ah...ah...! Bukankah kau orangnya yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota, yang menjauhkan diri dari kKesultanan karena tidak suka dengan kehidupan keraton yang menurutmu menjijikkan?"

Dalam gelap berubahlah paras orang dibalik pohon. Rasa terkejut membuat dia mengeluarkan seruan tertahan.

Powered by Blogger.