Header Ads

Niagahoster

WS059 - Peti Mati Dari Jepara

Di daratan Jepara udara malam dingin mencucuk. Kesunyian dipecah oleh suara desau daun-daun pepohonan tertiup angin yang datang dari arah laut. Hujan rintik-rintik mulai turun. Di kejauhan terdengar suara lolong anjing bersahut-sahutan. Malam itu adalah malam Jum'at Kliwon.

Serial Wiro Sableng

Di antara desau angin malam dan gemerisik suara daun-daun pepohonan yang sesekali dirobek oleh lengking lolongan anjing, dari arah timur Jepara terdengar gemeretak suara roda-roda kereta mengiringi derap kaki-kaki kuda yang menariknya.

Dalam kegelapan malam, sebuah kereta, laksana kereta hantu meluncur keluar dari sebuah lembah yang rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta terbuka ini bergerak perlahan tetapi pasti. Sais yang mengendalikan dua ekor kuda penarik kereta agaknya sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan ikatan kepala tebal dari kain putih. Baju putihnya yang tidak dikancing tersibak ditiup angin malam, membuat dadanya tersingkap. Tiga deretan angka samar-samar tampak tertera di dada yang penuh otot itu, 212. Pandangan matanya jarang berkesip. Wajahnya tampak keras menahan gejolak dendam kesumat sakit hati.

Kedua orang tuanya dulu tewas akibat kejahatan manusia-manusia durjana. Kini manusia-manusia seperti itu pula yang menghancurkan kehidupan keluarga pamannya. Sumiati, saudara sepupunya diculik, diperkosa bergantian secara keji dan tidak diketahui berada di mana. Kakeknya menemui ajal di tangan seorang pengkhianat yang bersekutu dengan tiga manusia dajal, Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut.

Kapan kejahatan akan berakhir di dunia ini? Apakah orang-orang dunia bersilatan seperti dia yang selalu harus turun tangan sementara mereka yang berwenang dan berkuasa seolah-olah buta mata dan buta hati tidak melihat dan merasakan semua apa yang menyengsarakan rakyat? Malah secara diam-diam bersekutu dan menerima hadiah dari persekutuan jahanam itu.

Memasuki mulut jalan yang menuju kota, Pendekar 212 Wiro Sableng semakin memperlambat lari dua ekor kuda penarik kereta. Malam ini dia akan mulai melakukan satu pekerjaan besar dan berbahaya. Di belakangnya di atas kereta yang terbuka, mendekam angker sebuah peti mati sangat besar, berwarna hitam pekat. Pada kayu penutup peti mati kelihatan deretan angka 212, ditera besar-besar dengan cat putih. Angka-angka seperti itu juga terdapat pada tiap sisi peti mati.

Di atas peti mati hitam itu duduk Ken Cilik. Tidak seperti biasanya, saat itu binatang ini sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Dia duduk tak bergerak. Kedua matanya memandang ke depan. Seolah-olah mahluk ini paham apa yang akan dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng, orang yang kini dianggapnya sebagai tuannya sejak Ranalegowo tewas dibunuh orang-orang Ganco Item.

Kereta semakin jauh masuk ke dalam kota. Jepara diselimuti kesunyian. Kereta bergerak menuju pusat kota dan akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah bangunan besar yang tidak lain adalah gedung kadipaten. Saat itu Adipati Jepara sedang bertugas di selatan. Karena itu penjagaan di gedung tidak seberapa ketat. Di pintu gerbang sama sekali tidak ada pengawal. Satu-satunya pegawai tampak tidur mendengkur dekat kaki tangga gedung.

Pendekar 212 memasang telinganya. Lalu memandang berkeliling. Sepi, tak ada sesuatu pun yang bergerak. Wiro tepuk pinggul dua ekor kuda penarik kereta. Kedua binatang ini melangkah perlahan. Kereta bergerak melewati pintu gerbang lalu berhenti di depan tangga, tak berapa jauh dari sebuah arca.

Dari lantai kereta Wiro mengambil sebuah potongan kayu. Benda ini dilemparkannya ke arah pengawal bermuka bopeng yang tertidur mengorok. Potongan kayu itu tepat jatuh dan masuk ke dalam mulut pengawal yang menganga. Sesaat masih terdengar suara dengkur pengawal itu, lalu diam. Menyusul suara seperti tercekik. Kemudian tampak pengawal itu menggapai-gapai gelagapan. Sadar ada sesuatu di dalam mulutnya, cepat-cepat dia memuntahkan. Potongan kayu melesat dari dalam mulutnya, jatuh ke dekat kakinya. Dengan rasa tak percaya, penuh heran pengawal ini mengambil potongan kayu itu.

"Edan!" rutuknya. "Bagaimana kayu ini bisa ada dalam mulutku...?"

Justru pada saat memaki itulah pengawal ini baru menyadari kalau di depannya ada sebuah kereta ditarik dua ekor kuda besar. Di atas kereta duduk tak bergerak seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala kain putih. Lalu pengawal ini jadi mengkeret ketika matanya membentur peti mati besar di atas kereta. Tak pernah dia melihat peti mati sebesar dan seangker itu. Seekor monyet duduk di atas peti mati itu, memandang dengan sepasang matanya yang berkilat-kilat walaupun dalam kegelapan malam.

Si pengawal menggosok kedua matanya beberapa kali. Dia mengira tengah bermimpi. Ketika kereta dan saisnya tetap terpampang di depannya, sadarlah pengawal ini kalau dia tidak bermimpi. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa malam itu adalah malam Jum'at Kliwon.

Powered by Blogger.