Header Ads

Niagahoster

Jentera Bianglala

Ketika Dukuh Paruk menjadi karang abang lemah ireng pada awal tahun 1966, hampir semua dari kedua puluh tiga rumah di sana menjadi abu. Waktu itu banyak orang mengira kiamat bagi pedukuhan kecil itu telah tiba. Siapa yang masih ingin bertahan hidup harus meninggalkan Dukuh Paruk. Karena hampir segala harta-benda, padi, dan gaplek musnah terbakar, bahkan juga kambing dan ayam. Lalu siapa yang tetap tinggal di atas tumpukan abu dan arang itu boleh memilih cara kematian masing-masing; melalui busung lapar atau melalui keracunan ubi gadung atau singkong beracun. Tetapi Dukuh Paruk sampai kapan pun tetap Dukuh Paruk. Dia sudah cukup pengalaman dengan kagetiran kehidupan, dengan kondisi-kondisi hidup yang paling bersahaja. Dan dia tidak mengeluh. Dukuh Paruk hidup dalam kesadarannya sendiri yang amat mengagumkan. Dia sudah diuji dengan sekian kali malapetaka tempe bongkrek, dengan kemiskinan langgeng dan dengan kebodohan sepanjang masa. Memang. Malapetaka kobaran api yang hampir memusnahkan Dukuh Paruk secara keseluruhan dalam geger politik 1965 itu adalah pengalaman yang paling dahsyat tergores dalam lintasan hidup Dukuh Paruk.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk

Hari-hari pertama sesudah kebakaran besar itu adalah hari-hari kebisuan. Setiap keluarga berkumpul, jongkok di bekas rumah masing-masing hampir tanpa suara kecuali desah panjang dan kadang tangis kaum perempuan. Mereka tanpa makanan dan tempat tinggal. Malam hari mereka membuat sudhung, semacam sarang berangka batang singkong yang ditutupi dengan rumput dan kelaras pisang. Dan kematian akibat lapar segera akan menjadi kenyataan karena tak seorang pun manusia luar Dukuh Paruk merasa perlu memberi bantuan kepada puak yang sedang diamuk malapetaka hebat itu. Hanya karena Dukuh Paruk masih menyimpan singkong yang tumbuh di sekitarnya maka orang-orang di sana berhasil menyambung hidup. Kemudian Dukuh Paruk memperoleh napas pertama ketika ternyata Sakarya, kamitua pedukuhan itu, hanya dua minggu ditahan. Demikian juga Kartareja dan istrinya serta para penabuh calung seperti Sakum dan dua orang lainnya. Mereka kemudian hanya diwajibkan melapor setiap hari ke markas tentara di Dawuan.

Tetapi Srintil belum kembali. Ya. Tetapi Srintil belum kembali, itulah aspirasi semua warga Dukuh Paruk yang tak pernah berani terucapkan. Srintil belum kembali ke Dukuh Paruk dan entah di mana dia sekarang dan bagaimana pula keadaannya. Mengapa Srintil belum juga kembali adalah bagian dari kegagapan Dukuh Paruk dalam hal membaca pesan sejarahnya; sejarah yang telah membawa obor raksasa dan membuat rumah-rumah di sana menjadi abu. Bahkan bukan hanya rumah-rumah yang musnah, tetapi juga jiwa Dukuh Paruk yang hancur karena kelimbungan ketika mereka harus mempertanyakan kembali perikeberadaan mereka sendiri dan harus bagaimanakah mereka sekarang.

Sebuah teka-teki yang amat sulit menindih Dukuh Paruk yang bebal. Lihatlah alis-alis mereka yang selalu berkerenyit, wajah-wajah runduk dan penuh ketakutan serta gugup ketika menghadapi tatapan mata orang luar. Dan pasrah. Itulah daya terakhir Dukuh Paruk. Pasrah dalam diam paripurna sehingga Dukuh Paruk hampir tak mengeluarkan katakata, bahkan ketika mereka secara gotong-royong bergiliran membuat gubuk-gubuk baru. Bambu dipotong-potong dan daun kelapa dianyam sebagai atap dan dinding.

Maka pada bulan kedua gubuk-gubuk kecil sudah berdiri di atas tanah yang masih menyisakan abu dan arang. Dukuh Paruk kembali mempunyai tempat berlindung dari curah hujan dan terik matahari. Kemudian dari manakah Dukuh Paruk hendak memulai denyut kehidupannya ketika kebisuan masih mencekam? Dari tawa anak-anak, dari suara lesung ketika gaplek ditumbuk atau dari asap yang mengepul di dapur? Tidak. Denyut Dukuh Paruk dimulai dari percik suara polong orok-orok yang pecah menyebar bijinya ketika panas matahari menjerang, dari derit batang bambu yang bergesekan ketika angin lembut bertiup. Dan dari sepasang burung brondol yang sibuk mengangkut rumput-rumput kering dari permukaan tanah ke balik kelebatan tandan pinang di atas sana. Atau dari pancuran di bawah pohon bungur itu. Pancuran air yang tidak ingin tahu akan segala macam bencana yang telah sekian kali menimpa orang-orang yang biasa bersibak dengan kesejukannya. Pancuran itu terus mengucur, lengkung seperti kristal hidup, lalu pecah di atas batu pekat berhias lumut di sisi-sisinya. Ribuan tetes air memercik ke segala arah. Mereka menangkap sinar matahari yang menerobos dedaunan, membiaskannya dengan sempurna dalam bentuk kabut bianglala. Bagaimanapun juga Dukuh Paruk ternyata mampu menarik napas pertama kehidupannya. Perihal kemampuan mempertahankan hidup, Dukuh Paruk hanya bisa disamakan dengan lumut kerak di atas batu cadas. Lumut kerak yang diam dan seakan mati di musim kemarau. Kering dan mengelupas. Namun dalam kematiannya, lumut kerak menyimpan daya kehidupan. Sporanya terbungkus dalam kista yang segera mampu memutar daur kehidupannya ketika tetes air pertama atau bahkan sekedar kelembaban udara menyentuhnya. Dukuh Paruk adalah lumut kerak yang rupanya diciptakan untuk menunaikan tugas hidup dalam kondisi yang paling minimal. Dukuh Paruk masih ada meski tanpa senyum apalagi tawa. Dia masih ada meski dia hampir tidak tahu lagi makna keberadaannya.

Powered by Blogger.