Header Ads

Niagahoster

Lintang Kemukus Dinihari

Dukuh Paruk masih diam meskipun beberapa jenis satwanya sudah terjaga oleh pertanda datangnya pagi. Kambing-kambing mulai gelisah dalam kandangnya. Kokok ayam jantan terdengar satu-satu, makin lama makin sering. Burung sikatan mencecet-cecet dari tempat persembunyiannya. Dia siap melesat bila terlihat serangga pertama melintas dalam sudut pandangnya. Dari sarangnya di pohon aren, keluar seekor bajing karena tercium bau lawan jenisnya. Mereka berkejaran. Dahan-dahan bergoyangan. Tetes-tetes embun jatuh menimbulkan suara serempak. Seekor codot melintas di atas pohon pisang. Tepat di atas daun yang masih kuncup, binatang mengirap itu mendadak menghentikan kecepatannya. Tubuh yang ringan jatuh begitu saja ke dalam lubang kuncup daun pisang itu. Jangkrik, gangsir, dan walang kerik sudah lama bungkam. Gangsir menyembunyikan diri dalam liang di tanah yang disumbat dari dalam. Walang kerik membaurkan diri dengan warna hijau dedaunan. Dia hanya bisa diketahui bila ada hembusan angin. Pada saat itulah naluri memerintahkannya menggesekkan sayap sehingga terjadi suara yang khas.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk

Ada sebatang pohon jambu air di salah satu sudut Dukuh Paruk. Dalam kerimbunan daun-daunnya sedang dipagelarkan harmoni alam; beratus-ratus lebah madu dengan ketekunan yang menakjubkan sedang menghimpun serbuk sari. Sayap-sayapnya mendengungkan aneka nada halus dan datar, mengisi kelengangan pagi yang masih temaram. Tanah di bawah pohon jambu itu memutih oleh hamparan beribu-ribu tangkai sari. Bau wangi tanah, suara lembut sayap-sayap lebah madu dan pendar embun yang mulai menangkap cahaya dari timur. Pucuk-pucuk nyiur dan rumpun bambu menerima kehangatan pertama pagi hari.

Pancaran cahaya matahari adalah tenaga yang setiap kali membangunkan Dukuh Paruk dengan menyingkap kabut yang menyelimutinya. Dua puluh tiga rumah di pedukuhan kecil itu mulai hidup. Terdengar rengek anak-anak yang terjaga dan langsung merasa lapar. Seorang perempuan keluar menjemur kain yang basah kena ompol bayinya. Suaminya juga keluar halaman dengan tujuan berbeda. Laki-laki itu menjambret daun pisang kering untuk menggulung tembakau. Ada orang jongkok di balik semak. Tangannya mengibas mengusir agas yang merubung kepalanya.

Dukuh Paruk sudah terjaga. Hanya sebuah rumah yang masih sepi. Rumah itu mempunyai ukuran yang paling kecil di Dukuh Paruk. Penghuninya tunggal, seorang nenek yang sudah linglung. Meskipun sudah bangun, perempuan tua itu belum hendak beranjak dari tempat tidurnya, termangu-mangu dengan matanya yang kelabu. Dalam genggamannya ada beberapa keping uang logam. Dia tidak tahu siapakah yang telah menaruh uang itu di bawah bantalnya.

Nenek Rasus itu memang linglung, sudah lama linglung. Tidak seperti biasa, beberapa hari lamanya nenek Rasus tidak tinggal seorang diri di rumahnya. Pagi itu pun dia tidak seorang diri. Seorang perempuan muda yang paling berharga di Dukuh Paruk masih tergolek di atas balai-balai dalam bilik sebelah. Srintil masih menyambung mimpi setelah menempuh malam yang paling berkesan bersama Rasus. Seberkas sinar matahari menembus dinding bambu, lurus seperti kristal maya jatuh di pipi Srintil. Lingkaran terang yang hanya seluas uang logam mampu menyingkap rona hidup di pipi ronggeng Dukuh Paruk itu. Rambutnya yang hitam, meskipun begitu kusut, memantulkan kilau yang lembut.

Ketika rona terang itu akhirnya bergerak ke arah mata, Srintil berada dalam batas jaga. Irama napasnya mulai tak teratur, bulu matanya bergerak-gerak. Akhirnya terdengar desah panjang ketika Srintil menggeliat perlahan-lahan. Peralihan dari alam tidur ke alam jaga berlangsung sementara kelopak mata Srintil belum terbuka. Bola mata bergulir-gulir di dalam pelupuknya. Kemudian tercipta sebuah lekuk yang bagus di kedua sudut bibir Srintil. Kesadaran telah merayapinya, kesadaran bahwa lintasan hidupnya sedang memasuki batas waktu di mana Srintil merasa dirinya larut dan menyatu dengan Rasus. Karena Srintil tidur dalam posisi miring ke arah tepi balai-balai, maka ia tetap percaya masih ada seseorang di sampingnya. Tangan kanannya digerakkan ke arah bela-kang dengan keyakinan yang bulat bahwa jemarinya akan jatuh ke atas sebidang dada laki-laki. Tetapi yang kemudian terasa di ujung jarinya adalah dinginnya tikar pandan. Dicobanya meraba lebih jauh. Dan kosong. Srintil cepat bangkit dan menoleh ke belakang Didapatinya dirinya tak berteman dalam bilik yang lengang itu. Mula-mula Srintil men-duga, atau berharap, Rasus masih berada di sekitar rumah sedang berhajat di belakang misalnya, Namun perasaan buntu tiba-tiba menguasai dirinya setelah Srintil melihat tak ada satu pun barang milik Rasus yang tertinggal.

Dalam bilik sebelah Srintil mendapati nenek Rasus duduk hampir tanpa gerak kecuali kembang-kempis dadanya yang tak kentara. Atau sepasang mata kelabu yang bergulir ketika melihat Srintil datang.

Powered by Blogger.