Header Ads

Niagahoster

WS070 - Ki Ageng Tunggul Akhirat

Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Teluk Burung diselimuti kabut tebal. Dalam udara yang buruk itu seorang penunggang kuda berbaju biru dan mengenakan blangkon bergerak di antara batu-batu besar yang terhampar di seantero tempat. Mukanya yang hitam boleh dikatakan bukan wajah manusia. Lebih tepat dikatakan sebagai wajah setan. Di pipi kirinya ada cacat bekas luka memanjang mulai dari ujung bibir sempai ke mata. Mata ini sendiri tampak terbujur ke luar, kelopak bawah membeliak merah dan selalu basah. Akibat cacat di pipi kiri itu mulut orang ini tertarik ke atas hingga gigi-giginya yang besar-besar menjorok ke luar.

Serial Wiro Sableng

Sebenarnya kuda coklat dan penunggangnya sudah sama-sama sangat letih saat itu. Beberapa kali kaki-kaki kuda terantuk atau terpeleset di bebatuan licin. Si penunggang sendiri dengan segala sisa kekuatan dan harapan untuk hidup mencoba membawa kudanya ke jurusan timur, sampai di sebuah lamping bukit batu yang solah membentuk dinding panjang dari timur ke telatan. Di salah satu bagian dinding batu, orang ini hentikan kudanya lalu memandang berkeliling. Hujan rintik-rintik telah berhenti. Namun kabut masih kelihatan di mana-mana menutupi pemandangan. Orang ini menunggu dan berusaha untuk sabar. Ketika sang surya muncul kabut di tempat itu perlahan-lahan mulai terkikis habis. Dalam terangnya udara orang tadi kembali memperhatikan keadaan di sekitarnya. Apa yang dicarinya terlihat di kejauhan.

Tepat di pertengahan dinding batu ada satu lobang besar. Sesaat ada rasa tegang dalam diri orang ini. Setelah menabahkan hatinya dia lalu bergerak ke arah lobang tadi yang merupakan mulut sebuah goa. Di depan goa dia hentikan kudanya lalu turun dengan terhuyung-huyung. Dari kantong perbekalan yang tergantung di leher kuda dia mengambil sebuah bungkusan lalu melangkah hendak memasuki goa. Namun belum sempat kakinya menginjak mulut goa, tiba-tiba dari dalam menggelegar suara bentakan.

"Siapa yang mengantar nyawa berani datang ke tempatku tanpa diundang?!"

Manusia bermuka cacat itu terkejut. Setelah reda kejutnya dia memberanikan diri menjawab. "Aku Ki Ageng Tunggul. Kepala desa Pasirginting. Ingin bertemu dengan orang tua sakti bernama Supit Jagal. Kabarnya beliau adalah penghuni goa ini."

"Begitu? Katakan apa keperluanmu?" orang di dalam goa bertanya.

"Aku dating untuk mohon diambil jadi murid!"

"Bah! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat kau punya tampang! Lekas masuk dalam goa!"

Ki Ageng Tunggul cepat melangkah masuk. Ternyata bagian dalam goa batu itu tidak seberapa besar. Di tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian sangat kotor dan penuh tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pipinya sebelah kanan ada cacat bekas luka yang amat dalam. Daun telinganya sebelah kanan sumplung sedang sepasang matanya sangat sipit sehingga dia seperti sedang memejam.

"Mukamu seperti setan. Apa kau benar manusia atau makhluk jejadian?"

"Aku manusia biasa, tak lebih tak kurang."

Si kakek menyeringai mendengar ucapan itu. "Duduk!" bentaknya kasar.

Ki Ageng Tunggul duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di pangkuan.

"Aku memang Supit Jagal, orang yang kau cari," berkata si kakek. "Kau bilang minta diambil jadi murid. Sudah tua bangka begini apa kau sinting?"

"Soalnya aku terpaksa..."

"Terpaksa? Siapa yang memaksa?"

Ki Ageng Tunggul lalu menerangkan.

"Tiga orang jahat berilmu tinggi hendak membunuhku."

"Kau ketakutan lalu minta dijadikan murid agar dapat ilmu?" Supit Jagal tertawa mengekeh. "Anak manusia berwajah setan, coba kau katakan padaku mengapa tiga orang itu hendak membunuhmu?"

"Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Masing-masing bernama Kunto Handoko, Lor Paregreg, dan Rah Gludak. Mereka kukhianati hingga dijebloskan masuk penjara. Entah bagaimana ketiganya bisa melarikan diri. Kini mereka mencariku dengan tujuan membunuh. Aku tidak berdaya menghadapi meraka. Ketiganya memiliki kepandaian silat tinggi serta kesaktian."

Mulut Supit Jagal sesaat tampak komat kamit. "Berkhianat sesama kawan adalah perbuatan paling keji. Kini kau tanggung sendiri akibatnya. Aku tidak bisa mengambilmu jadi murid. Sekarang lekas minggat dari hadapanku!"

Ki Ageng Tunggul ambil bungkusan di pangkuannya. Bungkusan ini diletakkannya di lantai goa di hadapan si kakek. Ketika bungkusan dibuka tampaklah puluhan mata uang perak dan beberapa mata uang emas serta seperangkat perhiasan.

"Semua ini untukmu asal saja kau mau mengambilku jadi murid dan mangajarkan ilmu silat dan kesaktian," kata KI Ageng Tunggul pula. Si kakek bermata sipit tampak agak terkesiap.

"Anak manusia berwaah setan, pemberianmu membuat aku tergiur. Tapi tetap saja aku tidak akan mengambilmu jadi murid. Hanya mungkin ada cara lain untuk menolongmui. Yang jadi soal kini, apakah kau bakal sanggup memenuhi syarat yang akan kutetapkan!"

"Syarat apapun akan kulaksanakan," jawab Ki Ageng Tunggul tanpa tedeng aling-aling.

"Bagus. Pertanyaanku, apa kau bisa mengatur ketiga musuhmu itu datang kemari? Urusan selanjutnya biar aku yang membereskan."

"Begitu pun aku setuju. Yang penting mereka harus mampus semua! Harap kau mau mengatakan syarat tadi!"

"Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakan."

"Demi tuhan saya bersumpah akan melaksanakan!"

"Tolol! Bukan demi tuhan! Tapi demi aku! Demi Supit Jagal!" membentak si kakek. Matanya membesar. Ia menyangka sudah melotot padahal kedua matanya itu tetap masih sipit-sipit saja.

Powered by Blogger.