Header Ads

Niagahoster

WS069 - Ki Ageng Tunggul Keparat

Laksana terbang kuda coklat berlari kencang di bawah panas teriknya matahari. Dalam waktu yang singkat, bersama penunggangnya dia sudah sampai di kaki bukit untuk selanjutnya lari terus memasuki lembah subur yang terhampar di kaki bukit. Si penunggang kuda mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-ubun kepalanya. Parasnya kontan berubah.

Serial Wiro Sableng

"Celaka!" keluhnya dalam hati. "Celaka! Aku hanya punya waktu dua belas jam lagi. Kalau apa yang kucari tak dapat kutemui mampuslah aku!" Dia memandang lagi ke matahari di atasnya lalu menyentakkan tali kekang agar kuda tunggangannya lari lebih cepat.

Orang itu berpakaian biru gelap. Kulitnya yang hitam liat menjadi lebih hitam karena warna pakaiannya itu. Di bawah blangkon yang menutupi kepalanya, wajahnya tidak sedap untuk dipandang kalau tak mau dikatakan mengerikan. Pada pipinya sebelah kiri mulai dari ujung bibir sampai ke tepi mata terdapat parut bekas luka yang lebar. Cacat ini membuat daging pipinya tertarik sedemikian rupa sehingga matanya terbujur keluar, kelopak sebelah bawah membeliak merah dan selalu berair sedang mulutnya tertarik pencong.

Di satu pedataran tinggi yang ditumbuhi pohon-pohon kapas, dihentikannya kudanya dan memandang berkeliling. Pada wajahnya yang buruk itu kelihatan bayangan harapan sewaktu sepasang matanya melihat puncak atap-atap rumah penduduk di sebelah tenggara pedataran.

"Aku harus ke desa itu!" kata lelaki itu pada dirinya sendiri. "Mungkin di situ bakal kutemukan apa yang kucari. Kalau tidak...," kata hatinya itu tidak diteruskan. Dipukulnya pinggul kuda tunggangannya dan binatang itu melompat ke muka, lari kembali menuju ke tenggara.

Sewaktu angin dari timur bertiup keras, sewaktu daun-daun pepohonan mengeluarkan suara berdesir kencang, maka penunggang kuda itu telah memasuki sebuah jalan teduh di mulut desa. Diperlambatnya lari kudanya. Kedua matanya menyapu ke setiap penjuru. Jalan yang ditempuhnya sunyi sepi. Pintu-pintu rumah penduduk tampak tertutup. Melewati suatu pengkolan, dilihatnya beberapa orang anak kecil tengah bermain-main. Nafasnya terasa sesak seketika. Lalu dekat sebuah kandang kuda, seorang tua berjanggut putih duduk merokok memperhatikannya. Tanpa mempedulikan orang tua itu laki-laki ini terus berlalu.

Kemudian dipapasinya beberapa penduduk desa yang agaknya baru kembali dari sawah atau ladang mereka. Meski orang-orang itu mengangguk hormat kepadanya tapi lelaki penunggang kuda itu tahu bahwa dalam sikap hormat itu dilihatnya bayangan rasa ngeri di wajah mereka sewaktu melihat parasnya. Dalam hati masing-masing mungkin mengutuk habis-habisan.

Harapan yang sebelumnya ada di hati lelaki ini menjadi semakin kecil dan hampir padam bertukar dengan kemangkelan dan kekecewaan sewaktu dia mencapai ujung jalan dan hanya tinggal beberapa buah rumah saja yang harus dilewatinya.

"Apakah harus kutanyai orang-orang di sini?" tanya lelaki itu dalam hati. Tiba-tiba sepasang matanya menyipit. Dia memutar kepala berkeliling dan mendengar baik-baik.

"Hah, inilah yang kucari! Pasti...! Pasti itu suara tangisan bayi."

Segera diputarnya kuda coklatnya dan menuju ke rumah yang terletak di antara pohon-pohon pisang yaitu dari arah mana tadi didengarnya suara tangisan bayi.

Pintu dan jendela rumah itu tertutup. Dia turun dari kudanya dan mengitari rumah satu kali lalu melangkah ke pintu depan. Dia memandang dulu kian kemari baru mengetuk pintu. Suara tangisan bayi di dalam rumah terdengar semakin keras dan laki-laki itu mengetuk lagi lebih kencang.

Terdengar langkah-langkah mendatangi pintu. Suara tangis bayi juga terdengar mendekati pintu itu. Sesaat sesudah itu pintu terbuka. Seorang perempuan muda memunculkan diri sambil membadung seorang bayi yang baru berusia kurang dari dua minggu dan masih merah. Begitu melihat tampang lelaki yang mengerikan di ambang pintu, perempuan itu menyurut. Jelas kelihatan pada wajahnya rasa takut amat sangat.

Lelaki tak dikenal memandang si bayi dalam dukungan beberapa lama. Diteguknya liurnya lalu berkata, "Aku mencari suamimu."

"Dia belum kembali dari sawah," jawab perempuan yang mendukung anak.

Lelaki bermuka setan kembali memandang bayi merah dalam dukungan.

"Ini anakmu...?"

Perempuan itu mengangguk dan memandang ke jurusan lain karena takut melihat wajah tamunya.

"Kemarin aku telah bicara dengan suamimu," kata orang bermuka cacat. "Dia bersedia menjual anak ini."

"A...apa?!" kaget perempuan yang mendukung anak bukan kepalang.

Sang tamu tampak acuh tak acuh. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebuah kantong kecil yang mengeluarkan suara berdering tanda berisi uang.

"Ini, ambillah!" katanya. "Dan serahkan anakmu padaku!"

Perempuan yang mendukung bayi surut beberapa langkah. Digelengkannya kepalanya dan berkata, "Tidak! Suamiku tak pernah mengatakan bahwa dia hendak menjual anak ini. Sekalipun dia mungkin bermaksud demikian, saya tidak akan menjual anak ini dengan harga berapapun. Ini anak kami yang pertama."

Air muka sang tamu tampak berobah mengelam. Tenggorokannya turun naik dan sepasang bola matanya berputar-putar liar.

Powered by Blogger.