WS041 - Malaikat Maut Berambut Salju
Gubuk di tengah rimba belantara itu tenggelam dalam kesunyian dan kegelapan malam. Satu pertanda tidak ada orang atau penghuni di dalamnya. Seekor burung hantu mengepakkan sayapnya di cabang sebuah pohon lalu mengeluarkan suara aneh menggidikkan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Pada saat itulah lapat-lapat di kejauhan terdengar suara langkah-langkah kaki kuda. Agaknya binatang ini tidak berlari kencang melainkan berjalan perlahan dalam kegelapan malam.
Binatang itu sampai di depan gubuk. Penunggangnya ternyata seorang lelaki dan seorang perempuan. Yang lelaki turun lebih dahulu lalu membantu yang perempuan. Perempuan ini tampak menggendong sesuatu yang ternyata adalah seorang bayi terbungkus dalam kain tebal.
"Kau masuklah lebih dulu. Aku akan menyembunyikan kuda," berkata yang lelaki. Suaranya hampir berbisik.
Setelah istri dan anak dalam gendongan masuk ke dalam gubuk, lelaki itu cepat-cepat menuntun kudanya, membawanya ke satu tempat berpohon dan bersemak belukar rapat. Kuda itu ditambatkannya pada sebatang pohon. Lalu dia kembali ke gubuk. Baru saja orang ini sampai di depan gubuk, belum sempat melangkah masuk, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Dilain kejap sosok bayangan ini telah berdiri di hadapannya. Ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kurus tapi bungkuk hingga bentuk tubuhnya hampir menyerupai huruf L terbalik. Hembusan napas si tua bungkuk ini menyambar keras dan memerihkan mata. Orang tua ini membuka mulut. Ucapannya didahului suara bergemeletukkan seperti barisan giginya atas dan bawah saling bergesekan.
"Mana anak itu?" tiba-tiba si bungkuk membentak.
Bentakan membuat lelaki tadi ketakutan dan bersurut mundur beberapa langkah. Mukanya tampak pucat.
"Mana anak itu?" kembali si bungkuk menghardik. "Dua kali sudah aku bertanya. Kalau sampai tiga kali kau tidak menjawab, putus nyawamu Jinggosuwu!"
"An...anak...anak mana maksudmu. Kau ini siapa orang tua?"
"Siapa aku kau tak layak bertanya! Jangan berpura-pura! Yang aku tanya adalah anakmu! Bayi delapan bulan yang kau beri nama Pandu itu!"
"Pan...Pandu...?"
Orang tua bungkuk tertawa mengekeh. Lewat mulutnya yang terbuka lebar tampak gigi-giginya besar-besar dan mencuat panjang. "Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan bersama istrimu! Kalian meninggalkan desa Talangwaru dua hari lalu. Melarikan diri dan menyembunyikan diri di rimba belantara ini."
"Aku...aku memang menyembunyikan diri di hutan ini. Tapi...tapi istri dan anakku tidak ikut," jawab lelaki bernama Jinggosuwu.
"Hem...begitu?" si bungkuk tersenyum. "Sekarang di mana anak dan istrimu itu?"
"Pandu dan ibunya pergi ke rumah orang tuanya di desa Puputan."
"Bagus! Kau tahu apa akibatnya ucapan dusta itu?"
"Aku...aku tidak berdusta. Aku yang mengantarkan istri dan anakku ke Puputan. Lalu baru menuju kemari..."
Bukkk!
Tubuh Jinggosuwu terpental tiga tombak. Dari mulutnya keluar jerit kesakitan. Tapi tidak hanya jerit kesakitan. Dari mulut itu juga menyemburkan busah bercampur darah. Jinggosuwu merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Sakit dan susah bernafas.
Di dalam gubuk, istri Jinggosuwu menggeletar sekujur tubuhnya karena ketakutan. Bayinya dipeluk erat-erat. Dia mendengar jelas suara pukulan. Lalu suara jeritan suaminya. Lalu kembali terdengar suara membentak dan mengancam.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu Jinggosuwu! Dimana anakmu?"
"Orang tua...aku sudah bilang padamu. Apa perlunya kau mencari anakku? Mencari bayi usia delapan bulan itu? Apa urusan dan maksudmu sebenarnya?"
Praak!
Tidak terdengar suara jawaban keluar dari mulut si orang tua. Yang terdengar adalah suara hantaman yang membuat rengkah batok kepala Jinggosuwu. Kali ini tanpa jeritan, sosok tubuhnya yang tadi berusaha bangkit terbanting ke tanah, tak berkutik lagi. Nyawanya lepas saat itu juga.
Orang tua bertubuh bungkuk meludah ke tanah.
"Manusia tolol!" katanya lalu memandang berkeliling. Waktu dia sampai di tempat itu tadi memang Jinggosuwu dilihatnya muncul seorang diri. Tanpa kuda, tanpa istri dan anaknya. Apa benar kedua orang itu tidak diajaknya bersama ke gubuk persembunyian di dalam hutan itu?
"Aku tidak percaya!" si bungkuk menghentak dan bantingkan kaki kanannya. Dia memandang ke gubuk di samping kanan. Gelap. Pintu kayunya tertutup rapat.
"Sebelum angkat kaki dari tempat ini aku harus memeriksa gubuk itu." Lalu orang tua itu melangkah menuju pintu gubuk. Belum sempat dia mendorong daun pintu, mendadak ada suara berdesing dan sambaran angin di belakangnya. Secepat kilat orang tua ini jatuhkan diri, berlutut di depan pintu. Sebatang pisau hitam bergagang putih melesat di atas kepalanya dan menancap di daun pintu.
"Manusia pisau terbang keparat! Unjukkan dirimu! Jangan hanya berani membokong!" bentak si bungkuk marah, lalu putar tubuh dan melompat bangun. Sejarak sepuluh langakh dari hadapannya, orang tua ini lihat seorang nenek berambut panjang tergerai tegak bertolak pinggang. Bajunya yang berwarna hitam penuh dengan deretan pisau-pisau kecil hitam bergagang putih.