Perang Bubat
Langit merah darah menandai sanga turangga paksawani. Saniscara mulai merasa tatapan matanya berkabut. Genangan darah di depannya tidak berasal dari perang besar wangsa Barata dalam kecamuk barisan Pandawa dan Kurawa, tetapi apalah bedanya. Setidaknya, demikian Saniscara merasakan dadanya yang terbelah, jantungnya yang terbelah, dan kepalanya yang pecah.
Berada di pihak manakah Saniscara kali ini? Apakah ia merasa berada di barisan Pandawa? Atau, di pihak Duryudana yang berusaha mati-matian mempertahankan negeri Amarta yang diminta kembali anak-anak Pandu yang merasa memiliki hak atas negeri yang terampas melalui perjudian itu? Saniscara melihat, di mana-mana merah, di mana-mana darah.
Ada banyak mayat dengan luka ditembus anak panah, pedang, tombak, atau remuk oIeh ayunan trisula dan gada. Namun, banyak juga napas yang tersendat sebagai gambaran betapa sulit menjemput kematian dengan nyawa yang tak kunjung oncat dari raga. Menyempurnakan keadaan itu, langit yang semula merah, kini tampak pucat.
Amarah Saniscara yang mengombak, kini berubah menjadi kepedihan tanpa tepi. Saniscara merasa tidak berada di pihak mana pun di antara mereka yang tengah bertikai. Saniscara tak merasa berkewajiban untuk berpihak kepada Kurawa. Saniscara sama sekali tidak memiliki alasan untuk itu. Saniscara juga tidak merasa harus berpihak kepada Pandawa karena bukan karib kerabatnya. Amarah yang harus disalurkan kali ini karena alasan lakonnya sendiri yang membuatnya merasa tak tahu apa gunanya hidup.
Maka, jangankan hanya tumpahnya darah, hanya ribuan anak panah yang terentang dengan arah lurus ke jantungnya, hanya ratusan tombak dan trisula yang teracung akan membelah tubuhnya, bahkan andai Hyang Bagaskara dalam wujud Yamadipati turun membakar tubuhnya dan menjadikannya hangus tanpa sisa, Saniscara merasa sangat siap menebusnya. Tak ada secuil pun keraguan untuk menjemput datangnya kematian.
Perlahan, Saniscara menoleh ke arah kudanya yang meringkik. Tatapan matanya kabur berkabut karena kemarahan yang tidak terbendung. Ditandai itu dari basah yang menggenang serta barisan rahang atas dan bawah yang saling menggigit dan mengait. Tanpa sedu sedan, air matanya membanjir. Itulah tangis yang terlahir dari biang duka paling berkarat.
Meski hanya seekor kuda, kuda jantan dan tegar itu punya nama. Saniscara tidak hanya menempatkannya sebagai kuda tunggangan yang siap menemaninya ke mana pun ia pergi, tetapi juga menjadikannya sahabat tempat berbagi keluh. Oleh hubungan persahabatan itulah, Saniscara memberinya nama Bendung Humalang.
Hubungan yang terjalin belum terlalu lama. Belum genap sebulan, ia menerima kuda itu dari seseorang sebagai hadiah. Akan tetapi, karena Saniscara menempatkannya sebagai sahabat dan selalu mengajaknya berbicara, Bendung Humalang bisa merasakan duka nestapa yang dialami Saniscara. Bendung Humalang memiliki kesetiaan yang Iuar biasa. Ia mampu membaca bahaya yang menghadang di depan dan tidak merasa takut menghadapinya, meskipun bahaya itu seharga lembaran nyawanya. Dengan sepenuh hati, Bendung Humalang siap bela pati akan menghadapi apa pun, sebagaimana Saniscara juga telah bulat dengan keputusannya.
"Cinta kekasih hati, tunggulah aku di pintu gerbang kematian," ucap Saniscara dengan mulut bergetar.
Saniscara kembali menyapukan pandangan matanya pada mayat-mayat yang bergelimpangan di depannya dengan hati berantakan. Tatapan matanya agak lama jatuh ke sosok yang tergolek dalam pelukannya tanpa nyawa, sosok yang ia sebut dengan panggilan Citra.
Citra telah menyita seluruh ruang di hatinya, membuatnya sanggup melukis tanpa batas waktu. Apalagi, gadis yang memayat itu memang memiliki kecantikan tiada tara. Tidak habis-habisnya gadis itu menjadi sumber gagasan untuk dituangkan ke atas selembar kain yang nantinya menjelma rnenjadi lukisan indah tiada tara.
Dilukisnya gadis itu berlatar telaga Jalatunda, juga dilukisnya sedang duduk begitu anggun di atas dampar kencana. Bahkan, dilukisnya pula gadis itu seolah tanpa busana, tubuhnya hanya ditutupi selembar kain.
Adakalanya, Saniscara memintanya untuk berlagak tak ubahnya bidadari yang turun dari langit dengan selendang berwama biru mengembang. Di lain kesempatan, Saniscara melukisnya seolah sedang berada di tengah sawah dan sedang menari di tengah hamparan padi yang menghijau. Kecantikannya juga tampil gilang-gemilang saat Saniscara menggambarnya berlatar lautan dengan ombak menggemuruh. Ia tampak bagaikan penampakan danyang cantik penghuni samudra selatan.
Akan tetapi, melukis dan menumpahkan amarah adalah dua hal yang amat berbeda, meskipun membutuhkan bahan yang sama, yaitu gelegak jiwa. Gelegak jiwa yang menjadi bahan bakar dan menggerakkan tangan Saniscara sedemikian lincah menari di atas selembar kain, menorehkan adonan pewama berbahan daun sangketan yang direbus dengan ditaburi getah kesumba.
Pewarna ini akan menjadikan gambar begitu hidup. Jika yang digambar adalah laut, sungguh gambar laut itu sangat hidup. Jika yang digambar adalah Gunung Kampud yang meletus, gambar yang berhasil diraut akan membuat orang yang melihatnya merasa ketakutan.