Header Ads

Niagahoster

Madakaripura Hamukti Moksa

Sebuah malam, sepuluh hari setelah peristiwa di lapangan Bubat.

”Apa kau yakin dengan keputusanmu?” tanya Ajar Swang Singgura memecah keheningan malam itu.

Pertanyaan itu menyadarkan yang ditanya bahwa tugas yang diembannya sungguh berat dan membutuhkan pengorbanan melebihi harga nyawanya. Namun, rupanya ia memang telah bulat dengan pilihannya. Orang itu merasa yakin dengan keputusannya, meski ia bakal menghadapi banyak hambatan atau keadaan paling tak masuk akal, meski bahaya yang dihadapi harganya setakar dengan nyawanya, meski harus menyeberang lautan api atau menghadang badai.

"Aku yakin, Ki Ajar," jawabnya mantap.

Pentalogi Gajahmada

Ki Ajar Swang Singgura mendekat dan memberinya tatapan mata amat tajam, tembus hingga ke lipatan jantungnya.

"Meski dengan kemungkinan kau akan kehilangan nyawamu?" tanya Ajar Swang Singgura.

Sosok bertubuh langsing berpakaian serba hitam itu berdiri untuk menunjukkan kesungguhan dan kesiapannya.

Ajar Swang Singgura adalah orang yang dengan kemampuan yang langka pula. Lelaki tua dari tanah Pamoyanan, arah timur istana Surawisesa dengan waktu tempuh perjalanan satu hari satu malam itu, akhirnya merasa tidak perlu ragu untuk memilihnya. Ajar Swang Singgura melihat, orang yang bersedia mengorbankan diri itu memang benar-benar pilihan yang terbaik.

Ajar Swang Singgura membuka telapak tangannya. Diacungkannya telapak tangan itu kepada sosok yang telah memutuskan siap menjadi bebanten itu. Untuk beberapa jenak, Ajar Swang Singgura berkomat-kamit mengunyah mantra.

"Prabu Maharaja Linggabuana terbunuh," ucap Ajar Swang Singgura dengan suara agak bergetar, "Tuan Putri Permaisuri Dewi Lara Linsing terbunuh, Tuan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi juga terbunuh, belum terhitung berapa jumlah perwira prajurit Sunda Galuh yang kini tak lagi bersama kita, dibantai di lapangan Bubat. Orang yang bertanggung jawab terhadap kejadian itu adalah Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang kejam tak berperikemanusiaan. Kita semua marah. Segenap rakyat Sunda Galuh marah. Tidak ada pihak yang boleh dan bisa menghadang kemarahan kita. Oleh alasan itulah, kau memilih dirimu sendiri untuk berkorban membalaskan nista ini."

Sosok berpakaian serba hitam itu mengangguk penuh keyakinan.

"Baiklah, aku menebalkan keberanianmu, berani, berani, berani," bisik Ajar Swang Singgura.

Mula-mula, ucapan-ucapan yang terdengar masih bisa dipahami maksudnya. Namun, makin lama pengaruhnya makin membuyarkan kesadaran. Pemilik tubuh langsing berpakaian serba nitam itu mulai berkunang-kunang. Ia tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan kekuatan tidak kasatmata yang memengaruhinya. Ucapan Ajar Swang Singgura bukanlah ucapan sewajarnya. Kakek tua itu melandasi dan menyelubunginya dengan mantra-mantra.

"Kau punya banyak waktu untuk melaksanakan tugasmu. Mendekatlah sampai pada jarak amat dekat, lalu tikamlah jantungnya," kata Ajar Swang Singgura.

Jantung yang menjadi sasaran bidik itu adalah jantung Gajahmada.

Langit Kresna Hariadi


Powered by Blogger.