Hamukti Palapa
Sepuluh bulan sudah waktu berlalu dari hujan terakhir, menjadikan udara demikian kering dan sengsara. Itu berlangsung sejak Kasanga, terus merayap ke bulan Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karwa, melewati bulan Katelu. Namun, ketika bulan Kapat dan Kalima langit masih saja bersih tanpa selembar pun mendung, keadaan yang demikian sungguh sangat mencemaskan. Manusia, binatang, dan pepohonan menangis dan semua berharap segala penderitaan itu akan segera berakhir, seperti jalan panjang ke depan selalu menjanjikan ujung meski sebenarnya tanpa ujung.
Daun kering menangis, daun beluntas meranggas. Di antara sesama pepohonan tak lagi saling menyapa. Sepuluh bulan yang lalu, hujan memang turun menggila di mana-mana pada bulan Kanem, Kapitu, dan Kawwalu, menyebabkan banjir terjadi di banyak tempat. Ada saatnya hujan demikian dirindukan, tetapi ada waktunya pula hujan yang turun dengan jumlah air kebablasan berbuah bencana mengerikan. Hujan ada saatnya menjadi anugerah, tetapi hujan berkesanggupan pula menjadi bencana. Seperti api, kecil sahabat baik, jika terlalu besar namanya bencana.
Hujan menyebabkan longsor yang mengubur rumah-rumah di lereng bukit. Hujan pula yang menenggelamkan rumah-rumah penduduk dan memberangus nasib mereka beberapa bulan ke depan karena gagal panen. Apalagi, jika hujan itu masih dibarengi badai dan puting beliung, rumah sekukuh apa pun ambruk dilibas kekuatannya yang sungguh mengerikan dan dahsyat. Puting beliung yang mampu memilin udara dan melibas benda apa pun, rumah diterjang rumah pun berantakan, gajah diterjang gajah pun terlempar. Apalagi, yang hanya kecil-kecil, seperti semut, lalat, dan debu.
Namun, yang terjadi kini justru sebaliknya. Sungai-sungai tak berair. Sumur dikeduk makin dalam dan makin dalam. Ketika air sangat dibutuhkan dan masih terlihat mengalir di Kali Brantas, banyak orang menggagas bagaimana cara mengangkat sisa air itu naik ke permukaan. Gagasan yang tetap sebatas gagasan karena mustahil diwujudkan. Membendung Kali Brantas dan mengangkat airnya sungguh gagasan gila kecuali jika pemilik gagasan itu adalah raja yang punya kewenangan menjatuhkan perintah kepada para kawula tanpa terkecuali untuk bekerja bahu-membahu membendung sungai itu, seperti dulu pernah dilakukan oleh Prabu Erlangga.
Air memang masih mengalir di Kali Brantas, tetapi hanya sedikit dan dangkal. Sia-sia dan sayang karena air itu terbuang ke laut. Andai saja air itu bisa dinaikkan untuk dimanfaatkan membasahi sawah maka tanaman yang meranggas akan menghijau kembali. Sawah-sawah akan kembali menghampar bak permadani dan penderitaan karena kemarau panjang bisa sedikit dikurangi. Setidaknya, berbagai tanaman akan terbebas dari sesak napas yang membelit.
Kemarau tak hanya meranggas di kampung-kampung pedukuhan, di sawah-sawah, dan pekarangan, bahkan hutan demikian kering. Penghuni hutan bingung, tidak tahu bagaimana menyikapi keadaan yang luar biasa itu. Menjangan yang butuh air, tak tahu ke mana bisa mendapatkan air untuk minum. Rasa haus memancing menjangan mendekati belumbang yang masih bersisa, tetapi belumbang itu menyembunyikan bencana.
Belumbang yang airnya mulai surut yang selalu dikunjunginya menyembunyikan bahaya karena di sana, harimau yang menunggu bersembunyi di balik semak siap menerkam jika menjangan itu berada dalam keadaan lena.
Dalam pada itu, nun jauh tinggi di langit, helang mider anambayang saha tangis kapanasan amalar dres ing jawuh. Ke arah mana pun sejauh mata memandang, langit yang bersih justru menggelisahkan hatinya. Jika burung kalangkyang bisa demikian menderita, lalu bagaimana dengan burung cataka, yang untuk mengobati rasa hausnya hanya dengan mendambakan tetes-tetes air hujan karena jika turun ke belumbang, ia diusir oleh burung-burung kecil yang bersikap galak dan amat tidak bersahabat pada dirinya.