Header Ads

Niagahoster

WS040 - Setan Dari Luar Jagat

Dua penunggang kuda itu berhenti di kaki bukit Wadaslintang yang merupakan bukit berbatu-batu hampir tanpa pepohonan. Suasana tampak gersang pada saat matahari hendak tenggelam itu. Kaki bukit dicekam kesunyian. Sesekali terdengar suara tiupan angin di kejauhan, bergaung di sela bebatuan.

Serial Wiro Sableng

Pendekar 212 Wiro Sableng mengangkat kepala memandang ke arah puncak bukit batu. Sinar sang surya yang hendak tenggelam membuat bukit batu itu seperti dibungkus warnA merah kekuningan. Batu-batu bukit tampak seperti tumpukan emas. Satu pemandangan yang cukup indah sebenarnya, tetapi diam-diam murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede merasakan adanya keangkeran tersembunyi di bukit Wadaslintang itu.

"Anak muda, aku hanya mengantarmu sampai di sini!" Yang berkata adalah kakek berpakaian hitam memakai caping bambu. Pada wajahnya sebelah kiri ada cacat bekas luka yang sangat besar dan tak sedap untuk dipandang.

"Kenapa tidak terus sampai ke puncak bukit sana?" tanya Wiro tanpa mengalihkan pandangan kedua matanya dari puncak bukit Wadaslintang.

Si kakek menggeleng.

"Bukankah kita sudah berjanji?" ujar si kakek yang bernama Poniran. "Kuantar kau sejauh ini sampai kemari tanpa upah tanpa imbalan. Semua demi ikut membantu menghancurkan angkara murka. Kali ini walaupun kau bayar seribu ringgit emas atau emas sebesar kepala, tak nanti aku akan mau menapakkan kaki ke atas bukit itu. Kau lihat cacat di pipi kiriku ini? Bekas hantaman makhluk jahanam itu."

Wiro anggukan kepala. "Setan Dari Luar Jagat, itu nama mahluk yang kau maksudkan itu, Kek?"

Yang ditanya anggukkan kepala dan wajahnya yang cacat membersitkan rasa takut.

"Setan Dari Luar Jagat," mengulang Wiro seraya garuk-garuk kepala. "Nama hebat. Tapi apa betul ada mahluk begitu? Setan yang datang dari luar jagat. Jagat yang mana, Kek?"

"Sulit bagiku untuk menerangkan padamu. Kau telah berani datang ke mari. Bahkan hendak naik ke puncak bukit ini. Kau akan menemui makhluk itu, anak muda. Jangan lupa ciri-cirinya. Dan aku berdoa agar kau kembali dengan selamat, paling tidak dalam keadaan tubuh masih utuh."

"Jadi kau tak akan menungguiku di kaki bukit ini?" tanya Wiro pula.

Kakek Poniran menggeleng.

"Eh apa maksudmu menggeleng seperti itu?"

"Wiro, sebetulnya aku kasihan padamu. Terus terang aku tak yakin kau akan kembali ke kaki bukit ini. Lalu buat apa aku menunggu mayat yang tidak bakal datang?"

Wiro pencongkan mulut dan garuk-garuk kepalanya mendengar kata-kata si kakek.

"Kalau begitu kau boleh pergi sekarang," kata Wiro pula lalu turun dari kudanya dan menyerahkan tali kekang pada kakek Poniran.

"Aku tetap berdoa untuk keselamatanmu!"

Wiro tersenyum. Sesaat setelah kakek dan dua ekor kuda itu lenyap dari pemandangannya, Pendekar 212 balikkan tubuh. Dengan gerakan enteng, setengah berlari dia melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit Wadaslintang. Sambil berlari sesekali Wiro menggenggam hulu Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya. Setiap dia menyentuh senjata mustika pemberian gurunya itu, dia merasakan ada kekuatan dan ketenangan dalam dirinya. Dengan tangkas dia berlari terus, namun semakin tinggi jauh ke atas bukit semakin perlahan larinya karena dia harus berhati-hati. Batu-batu cadas itu bukan saja membentuk lereng terjal tapi juga licin berlumut.

Ketika baru mencapai pertengahan ketinggian bukit, sang surya telah lama tenggelam dan bukit Wadaslintang kini diselimuti kegelapan. Udara pun berubah menjadi sangat dingin. Sepasang kaki Pendekar 212 Wiro Sableng mendadak berhenti melangkah ketika tiba-tiba entah dari bagian bukit sebelah mana datangnya, terdengar suara lolongan aneh. Seperti lolongan srigala hutan, tetapi juga mirip-mirip lolongan manusia. Seumur hidupnya belum pernah Wiro mendengar suara lolongan seperti itu. Tengkuknya terasa dingin dan tubuhnya bergidik.

"Gila! Apa yang harus kutakutkan?" Wiro memaki dirinya sendiri. Maka dia kembali melanjutkan perjalanan. Mendaki dan mendaki terus dalam gelapnya malam dan dinginnya udara. Sambil melangkah tangan kirinya terus menggenggam hulu kapak Naga Geni 212. Sebenarnya dia memang telah lama mendengar kedahsyatan makhluk berjuluk Setan Dari Luar Jagat itu, juga mendengar kejahatan serta kekejian yang dilakukannya dalam dunia persilatan sejak tiga bulan terakhir ini. Namun jiwa dan sifat seorang pendekar, tak akan percaya sebelum melihat kenyataan dengan mata kepala sendiri.

Baru mendaki sejauh dua puluh tombak, dalam kegelapan mendadak Wiro dongakkan kepala. Hidungnya mencium bau busuk menyambar. Wiro hentikan langkahnya.

"Bau kemenyan...," bibir sang pendekar bergetar. "Siapa malam-malam begini di tempat seperti ini membakar kemenyan? Jangan-jangan...! Gila...! Mana ada setan membakar kemenyan?"

Wiro merenung sejenak. Bau kemenyan semakin sangar menyambar hidungnya. Dia berpikir dan menimbang-nimbang, apakah akan melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit atau mencari sumber bau kemenyan itu. Pendekar ini memutuskan untuk mencari dan mendatangi sumber yang menghambur bau kemenyan. Karenanya dia bergerak ke arah kanan dari jurusan mana bau itu datang dengan keras.

Selang beberapa lama, di kejauhan Wiro melihat ada nyala api kecil sekali, seperti titik-titik kecil. Wiro mempercepat langkahnya menghampiri nyala api itu. Beberapa kali kakinya tersandung atau terpeleset di batu licin, membuatnya hampir jauh. Ketika dia akhirnya mencapai nyala api itu, pendekar kita jadi tercekat. Nyala api ternyata adalah bara menyala yang terletak dalam sebuah pedupaan tanah. Di dalam pedupaan itu juga terdapat sepotong besar kemenyan. Benda inilah yang dalam keadaan terbakar menebar bau harum santar dan menggidikkan.

Powered by Blogger.