Header Ads

Niagahoster

Maryamah Karpov

Sebagaimana kawan telah tahu, aku ini - paling tidak menurutku sendiri - adalah lelaki yang berikhtiar untuk berbuat baik, patuh pada petuah orang tua, sejak dulu. Rupanya, begitu pula ayahku yang sederhana itu. Katanya, ia selalu menempatkan setiap kata ayah-bundanya di atas nampan pualam, membungkusnya dengan tilam.

Tetralogi Laskar Pelangi

Dan ternyata, Tuhan menerapkan dalil yang tetap untuk lelaki sepertiku dan ayahku, yakni lelaki seperti kami umumnya jarang diganjar dengan ujian yang oleh orang Melayu Dalam sering disebut sebagai cobaan nan tak tertanggungkan.

Oleh karena itu, seumpama di koran-koran tersiar berita tentang seorang pria yang sedang bersepeda santai pada Minggu pagi yang cerah ceria, tralala-trilili, sekonyong-konyong, tak tahu kenapa, sepedanya oleng dan ia tertungging ke dalam sumur angker gelap gulita, tak dipakai lagi, dalamnya dua belas meter, perigi sarang jin, bekas tentara Jepang mencemplungkan pribumi. Lelaki periang itu pun berteriak-teriak panik minta tolong. Tak ada yang mendengar jeritnya, selama empat hari empat malam. Habis suaranya. Akhirnya ia minta tolong lewat kliningan sepedanya. Kring, kring, lemah menyedihkan. Naudzubillah, tragedi semacam itu biasanya menimpa orang lain, bukan menimpa pria sepertiku dan ayahku.

Atau, seandainya hujan lebat, petir menyambar tiang listrik, tiang listrik roboh menimpa pohon sempret, pohon sempret tumbang menimpa pohon mengkudu, pohon mengkudu terjungkal menabrak atap rumah, atap rumah ambrol menimpa belandar, belandar ambruk menghantam televisi, televisi meledak dan seorang lelaki yang tengah duduk manis menonton acara TVRI 'Aneka Ria Safari" kena sambar listrik televisi, televisi hitam putih lagi. Rambut, kumis, dan alisnya hangus sehingga ia seperti pendekar Shaolin. Dapat dipastikan, lelaki sial itu bukanlah aku, bukan pula ayahku.

Atau lagi, misalnya merebak berita soal seorang pria keriting yang dilarikan ke rumah sakit, ambulans meraung-raung, tergopoh-gopoh menuju ruang tanggap darurat, sebab pria itu ketika makan buah duku, tak tahu kenapa, biji duku melenceng masuk ke lubang hidungnya, hingga ia tersengal-sengal sampai nyaris lunas nyawanya. Pria itu bisa saja absurd dan keriting, tapi ia bukan aku.

Satu-satunya berita yang pernah melanda ayahku hanyalah soal naik pangkat. Aku kelas tiga SD waktu itu.

Bukan main senangnya Ayah waktu menerima surat dari Pak Nga Djuasin bin Djamalludin Ansori, mandor kawat Meskapai Timah, bahwa akan ada promosi bagi kaum kuli tukang cedok pasir di wasrai. Wasrai dimelayukan dari kata Belanda wasserijk, yang artinya 'bengkel pencucian timah'. Kuli yang akan naik pangkat salah satunya Ayah. Surat itu, pagi tadi dibaca ibuku, sebab kawan juga tentu sudah mafhum betapa mengharukannya pengetahuan ayahku soal huruf-huruf Latin.

Begitu mendengarnya, Ayah yang amat pendiam, seperti biasa, tak berucap sepatah pun. Kutatap wajahnya yang melempar senyum ke luar jendela dan membuang pandang ke pucuk pohon kenanga, dan kubaca dengan terang di sana: syahdu seperti aktor India baru menyatakan cinta, dan bangga. Selebihnya, tak dapat disembunyikan kesan raut wajah Ayah: tak percayai.

Tak percaya, bahwa akhirnya setelah membanting tulang-belulang tiga puluh satu tahun, ada juga orang yang membicarakan soal kedudukannya. Selama tiga puluh satu tahun itu Ayah tak pernah naik pangkat, tak pernah, sejak ia menjadi kuli meskapai dari usia belasan.

Tak percaya, bahwa kata pangkat bisa disangkutpautkan dengan pekerjaannya yang tak ada hal lain berhubungan dengannya selain mandi keringat.

Tak percaya, bahwa ada orang lain, selain anak-anaknya yang berkirim surat padanya. Dengan amplop cokelat maskapai, berkilat dan kaku seperti kopiah, plus kop surat berlambang meskapai yang gagah: sebuah gerigi besar dan palu lambang kerja keras pagi sampai petang.

Tak percaya, surat di tangan ibuku benar diteken oleh Mandor Kawat Djuasin yang puluhan tahun menindasnya. Berkali-kali Ayah menerawang tanda tangan itu, benar basah tinta pena biru, dari tangan yang dipertuan mandor sendiri adanya.

Tak percaya, lantaran Ayah merasa dirinya biasa naik pohon nira untuk meniti air legen, biasa naik pohon medang untuk menyarap madu angin, biasa naik pohon kelapa untuk membantu tugas beruk, tapi naik pangkat? Naik pangkat tak masuk dalam perbendaharaan kata.

Ayah yang tak punya selembar pun ijazah. Kata-kata itu asing dan ganjil di telinganya. Bagi Ayah, naik pangkat adalah kata-kata ajaib milik orang Jakarta. Ayah memalingkan senyumnya dari bingkai jendela padaku. Amboi! Inilah yang kutunggu-tunggu dari tadi. Surat itu mengatakan bahwa beserta surat keputusan pengangkatan yang akan diserahkan secara massal Sabtu esok, akan dilampirkan pula amplop rapel gaji karena naik pangkat itu harusnya telah terjadi enam bulan silam. Aku tahu persis, senyum Ayah untukku hanya bermakna satu hal: kue hok lo pan di atas loyang yang berasap-asap! Karya agung orang Khek yang congkak itu: Lao Mi.

Senyum Ayah yang bernuansa amplop rapel enam bulan itu pun lalu terurai-urai menjadi buku tulis indah bergaris tiga sampulnya gambar artis-artis cilik dari Ibu Kota Jakarta, pensil warna-warni seperti sering kulihat dibawa anak-anak sekolah Meskapai Timah, penggaris segi tiga, jangka, papan halma, dan tas sekolah yang seumur-umur tak pernah kupunya.

Ibu pun berdehem-dehem sambil membetulkan peniti kebayanya. Kira-kira maksudnya: sudah tiga kali Lebaran kebaya encimnya itu-itu saja. Ayah membalas semuanya dengan senyum nan menawan: beres, demikian arti senyum terakhir yang mengesankan itu. Aku melonjak girang.

Ayah melangkah meninggalkan dapur. Aku mengikuti setiap langkah bangganya. Aku tahu persis, rapel buruh itu hanyalah segepok uang receh. Namun ayahku, Ayah juara satu seluruh dunia, arsitek kasih sayang yang tak pernah bicara, selalu mampu menggubah hal-hal sederhana menjadi begitu memesona.

Andrea Hirata


Powered by Blogger.