WS031 - Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi
Hari mulai gelap. Orang tua penggembala itu melangkah bergegas sambil melecuti punggung enam ekor sapi agar binatang-binatang itu berjalan lebih cepat. Saat itulah di kejauhan tiba-tiba telinganya menangkap suara bergemuruh seolah-olah ada yang menggelegar tertahan dalam perut bumi. Tanah yang dipijaknya terasa bergoyang seperti dilanda lindu. Enam ekor sapi melenguh tiada henti lalu lari hingar-bingar seperti dikejar setan.
"Eh, ada apa ini? Akan kiamatkah bumi ini?" penggembala tua terheran-heran tapi juga cemas.
Baru saja dia bertanya begitu mendadak langit di timur laut memancar cahaya merah. Suara gemuruh makin keras dan goncangan tanah tambah kencang. Memandang ke jurusan timur orang tua itu kembali melihat nyala terang menyambar laksana hendak menembus langit gelap di atasnya. Lalu ada benda-benda bulat mencelat ke udara seperti bola-bola api.
"Gunung meletus! Gusti Allah! Merapi meletus!" penggembala tua berseru tegang dan takut ketika menyadari apa yang sesungguhnya terjadi di kajauhan. Tongkat kayu yang dipegangnya dicampakkannya ke tanah. Enam ekor sapinya yang telah kabur entah ke mana tidak diperdulikannya lagi. Dia lari sekencang-kencangnya menuju kampung. Yang terbayang saat itu adalah anak istri dan cucu-cucunya. Dia harus segera sampai di kampung, menyelamatkan orang-orang itu dan memberi tahu pada penduduk lain bencana yang bakal melanda.
Langit di sebelah timur semakin terang mengerikan. Semburan-semburan batu kini disertai tanah dan pasir. Suara menggemuruh semakin menggila. Bumi tambah keras bergoncang. Dari bibir gunung yang meletus menyembur keluar cairan lumpur panas berwarna merah. Cairan ini kemudian meluncur ke bawah laksana sungai darah.
Satu malam suntuk bumi Tuhan laksana kiamat. Menjelang dini hari suara menggemuruh mulai berhenti. Tak ada letupan atau semburan batu, tanah dan pasir. Lelehan lumpur panas pun tak mengalir lagi. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian kini. Kesunyian yang terselubung malapetaka mengenaskan. Malam itu sembilan buah desa musnah dilanda lumpur dan batu panas. Ratusan jiwa manusia menemui ajal. Belum terhitung jumlah ternak yang menemui kematian, ribuan hektar sawah dan ladang yang rusak tak dapat dipanen hasilnya, tak mungkin pula ditanami lagi dalam waktu dekat. Begitulah keadaannya pada setiap bencana alam. Manusia bukan saja kehilangan harta bendanya, tapi juga hilang nyawa sendiri atau sanak keluarganya.
Ketika sang surya akhirnya muncul pada pagi hari keesokannya, di pinggiran desa Sleman yang saat iu keadaannya hampir sama rata dengan tanah akibat landaan letusan Merapi, tampak seorang tua bungkuk berpakaian rombeng. Dia muncul entah dari mana tahu-tahu saja sudah tegak di depan reruntuhan sebuah surau kecil, berkacak pinggang dan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang besar tapi sangat cekung. Wajahnya sangat pucat seperti tidak berdarah. Keseluruhan tampangnya menunjukkan pandangan angker, dingin dan menyembunyikan sesuatu berbau kelicikan bahkan maut. Apalagi rambutnya putih menjela bahu. Pantas kalau dirinya disebut setan muka pucat.
Orang tua ini tampak geleng-gelengkan kepala sambil memandang berkeliling. Matanya yang besar cekung seperti mencari-cari sesuatu. Kemudian dari mulutnya yang perot pencong terdengar suara seperti mengomel.
"Ladalah! Tak seorangpun lagi yang hidup. Tak satu nyawapun yang tinggal. Semua musnah. Semua sudah pada jadi bangkai! Ah, mimpiku tadi malam tak seluruhnya benar! Buktinya di mana anak itu? Di mana bocah yang kulihat dalam mimpi? Percuma jauh-jauh aku datang ke mari!"
Kembali orang tua bungkuk berwajah pucat dingin itu memandang berkeliling. Setelah menunggu sesaat dan merasa pasti anak yang dicarinya tak ada di sekitar situ, maka dia pun masuk lebih jauh ke dalam desa, berjalan di atas lumpur. Dan inilah satu keluarbiasaan. Meskipun sudah sekian lama berlalu sejak lumpur panas menyembur keluar dari Gunung Merapi, namun pagi itu lumpur tersebut masih berada dalam keadaan panas seperti membara. Jangankan kaki manusia, kayu atau besi pun akan hangus bila tersentuh. Tapi orang tua berpakaian rombeng tadi melangkah seenaknya di atas lumpur tersebut seolah-olah berjalan di atas padang rumput yang sejuk tertutup embun.
Tepat di pertengahan desa di mana terdapat sebuah pohon beringin besar miring hampir tumbang dan merupakan satu-satunya pohon yang masih berdiri di Desa Sleman itu, orang tua tadi hentikan langkah. Memandang ke atas pohon miring yang setengahnya tampak hangus itu kedua bola matanya yang besar tambah mendelik.
"Ladalah! Itu bocah dalam mimpiku! Di sini dia rupanya!" Orang tua bermulut pencong berseru. Ada rasa jengkel tapi juga ada rasa gembira pada nada suaranya. Lalu dia tersenyum. Namun dia tetap tegak di tempatnya, tak melakukan apa-apa selain terus memandangi anak di atas pohon yang terlilit di antara akar-akar beringin, bergoyang-goyang tergantung di udara. Sebaliknya anak di atas pohon begitu melihat orang tua bungkuk pakaian rombeng itu segera berteriak.
"Pengemis tua! Jangan bengong saja! Lekas kau tolong turunkan aku dari tempat celaka ini!"
Orang tua yang ditegur menyeringai. Dalam hatinya dia membatin. "Bocah itu! Persis seperti dalam mimpiku. Sombong dan congkak! Memerintah seenaknya tanpa peduli berhadapan dengan siapa! Sialan! Aku dianggapnya pengemis! Tapi begitu agaknya suratan takdir. Macam bocah yang begini yang berjodoh denganku."
"Pengemis bungkuk! Apakah kau tuli hingga tak mendengar orang berteriak minta tolong?" anak di atas pohon kembali berteriak.
"Kampret cilik! Sabarlah. Aku memang akan menolongmu! Tapi aku mau tanya dulu. Jika kau kutolong imbalan apa yang akan kau berikan padaku?"
"Pengemis tua, tahukah bahwa kau telah berbuat dua kesalahan?" si anak membentak dengan mata melotot.
Yang dibentak mengekeh. "Budak, katakan apa dua kesalahanku!"
"Pertama kau tidak segera menolongku! Kedua kau memanggilku dengan sebutan kampret cilik!"
"Begitu? Nah kalau kau menganggap aku bersalah, apakah kau hendak menghukumku?!" Orang tua tadi bertanya dengan sikap mengejek.
"Rupanya kau belum tahu siapa aku ini, pengemis tua!"
"Hai! Siapa kau sebenarnya bocah centil?"
"Aku adalah Pangeran Anom dari Surokerto!"
Orang tua itu agak terkejut. "Anak congkak ini jangan-jangan berdusta," katanya dalam hati, tapi dia jadi meragu. Maka dia pun menanyakan siapa ayah anak itu. Ketika si anak menyebutkan ayahnya, kembali si orang tua bungkuk terkejut. Namun dia masih ajukan pertanyaan. "Jika kau memang Pangeran Anom, mengapa jauh-jauh kesasar di tempat ini?"
"Malam tadi aku ikut rombongan orang berburu. Ketika Merapi meletus mereka lari cerai-berai. Aku tertinggal di belakang. Waktu batu dan lumpur panas mulai menyembur untung aku dapat menyelamatkan diri bergayut di akar pohon beringin ini. Mereka akan menerima hukuman."
"Mereka siapa?"
"Orang-orang yang meninggalkan aku itu. Jika mereka masih hidup, ayah pasti akan menghukum mereka. Aku akan suruh tebas salah satu dari kaki mereka."
"Bocah ini selain congkak ternyata berhati kejam," membatin orang tua itu.
"Sekarang setelah kau tahu siapa aku, mengapa tidak cepat-cepat menolong?" anak di atas pohon menegur.
"Baik-baik, aku akan segera menolongmu. Tapi ada satu perjanjian. Setelah kau kuselamatkan, kau akan jadi milikku dan ikut aku!"
Yang namanya Pangeran Anom mendelik. "Enak saja bicaramu! Kau tak punya hak apapun atas diriku. Apalagi hendak membawaku. Eh, memangnya kau mau bawa aku ke mana pengemis bungkuk?"
Orang tua itu menunjuk ke puncak Gunung Merapi.
Anak di atas pohon tertawa mencemooh. "Rupanya kau hantu gunung maka mau membawa aku ke puncak Merapi sana. Tubuhmu lemah dan bungkuk. Jangankan membawaku, jalan sendiri pun ke puncak gunung itu kau tak bakal sanggup."
Orang tua itu tersenyum. Dia membungkuk lalu meraup lumpur panas dengan tangan kanannya. "Kampret cilik bernama Pangeran Anom, jangan kelewat merendahkan kemampuanku!" Lumpur yang tadi diraupnya digulung-gulung hingga membentuk sebuah bola kecil. Bola lumpur ini kemudian dilemparkannya ke arah si bocah dan tepat masuk ke dalam saku pakaiannya. Karena lumpur itu masih sangat panas tentu saja anak ini jadi menjerit-jerit kesakitan ketika lumpur yang memancarkan hawa panas itu menembus pakaiannya, terus menyentuh daging perutnya.