WS027 - Khianat Seorang Pendekar
Kedai minuman itu penuh dengan para pengunjung yang ingin menikmati bandrek, pisang rebus dan kacang goreng. Sehabis hujan memang sedap sekali duduk menikmati bandrek (minuman manis bercampur jahe, biasanya diminum hangat-hangat) sambil mengobrol dan menghisap rokok. Tetamu yang ada dalam kedai itu rata-rata bertampang sangar dan kebanyakan membekal golok. Pertanda bahwa mereka adalah orang-orang kasar.
Seorang pemuda muncul di pintu kedai. Pakaiannya basah kuyup. Dia memakai ikat kepala putih dan rambutnya yang gondrong basah acak-acakan. "Saya mencari Memed Gendut. Apakah orangnya ada di sini?" pemuda itu bertanya.
Orang-orang yang ada di dalam kedai itu berpaling ke pintu. Sesaat mereka memandang si pemuda lalu meneruskan obrolan mereka, menghisap rokok atau meneguk bandrek. Tak ada yang menjawab. Semua seperti tak acuh. Seolah-olah pemuda itu tak ada di sana.
Orang yang bertanya garuk-garuk kepalanya. Terdengar suaranya perlahan, tetapi cukup jelas terdengar oleh semua pengunjung kedai ketika dia berkata, "Aku yakin tidak semua orang yang ada di sini bisu. Tapi mengapa tak ada yang menjawab?"
Seorang berdestar hitam berpipi cekung membuka mulut dari belakang meja di mana dia sibuk melayani tetamu. Dia adalah pemilik kedai.
"Orang yang kau cari tak ada di sini."
"Saya mendapat keterangan orang itu selalu nongkrong di kedai ini setiap malam," berkata si pemuda. Dia masih saja tegak di pintu, tampaknya segan masuk ke dalam kedai yang sudah sesak oleh tamu itu.
"Memang benar, tapi malam ini dia belum muncul. Mungkin sebentar lagi," kata orang kedai lalu menyarankan, "Tunggu saja di sini sambil minum-minum..."
Pemuda itu memandang berkeliling dan menjawab: "Biar saya menunggu di luar saja."
"Terserah padamu. Tak ada yang melarang dimanapun kau mau menunggu."
Pemuda tadi balikkan tubuh dan pergi tegak di bawah cucuran atap kedai. Udara malam sehabis hujan sangat dingin. Tapi pemuda ini seperti tidak merasakan. Dia tetap tegak di tempatnya mematung dan menunggu sampai akhirnya dari dalam kedai keluar dua orang tamu. Yang satu tinggi kekar berkumis melintang. Satunya lagi agak pendek berkereta gundul, juga bermisai lebat. Masing-masing membawa golok di pinggang.
"Anak muda rambut gondrong. Kau orang asing di sini. Ada apa mencari Memed Gendut?" salah seorang yang barusan keluar dari kedai ajukan pertanyaan.
"Keperluan kecil. Biasa-biasa saja" jawab si pemuda.
"Hemm...! Apa yang kecil dan apa yang biasa-biasa?" bertanya lelaki botak. Matanya liar memandangi si pemuda dari atas sampai ke bawah.
"Saya hanya ingin bicara dengan Memed Gendut. Tidak dengan lain orang."
"Jangan begitu. Kami berdua adalah kawan-kawan orang yang kau cari. Jika kau ada keperluan kami bisa membantu," kata si tinggi kekar.
Pemuda itu berpikir sejenak. Akhirnya menjawab.
"Terima kasih. Biar saya menunggu Memed Gendut saja."
"Sikapmu tidak mempercayai kami berdua, huh!" Suata si pendek botak dan dia melangkah mondar-mandir di depan pemuda itu. Tangan kanannya bersitekan pada hulu golok.
Si pemuda garuk-garuk kepalanya. "Apa gunanya saya tidak percaya pada kalian. Tapi apa untungnya kalau mempercayai kalian!"
Si tinggi besar ulurkan tangannya dan tepuk-tepuk bahu pemuda itu.
"Jangan bicara seperti itu anak muda. Orang hendak menolongmu kenapa bicara tidak enak begitu...?"
"Eh, aku tadi bilang terima kasih. Dan tak mau ditolong karena ingin menunggu Memed Gendut. Tapi kalian seperti memaksa," pemuda berambut gondrong yang bertampang seperti tolol itu kini keluarkan suara keras dan kasar karena jengkel.
Si tinggi besar menyeringai dan kedipkan mata pada kawannya yang berkepala botak, lalu berkata pada pemuda di hadapannya.
"Memed Gendut terkenal sebagai pedagang kuda di daerah ini. Jika ada orang asing mencarinya, pasti urusan jual beli kuda. Bukan begitu?"
Si pemuda tak menjawab.
Si botak kini ikut memegang bahu pemuda itu seraya berkata, "Jika kau memang ingin membeli kuda, serahkan saja uangmu pada kami. Tunggu di sini. Dalam waktu singkat kami akan kembali membawakan seekor kuda paling bagus untukmu. Nah, serahkanlah!"
"Serahkan apa?"
"Uang pembeli kuda."
"Apa kalian juga pedagang kuda?"
Si tinggi menjawab, "Tadi sudah kami katakan, kami ingin menolongmu. Ternyata betul kau ingin membeli kuda. Memed Gendut memang pedagang kuda terkenal. Tapi harga kudanya mahal. Kuda milik kami tak kalah bagus, malah jauh lebih murah. Tunjukkan berapa uang yang kau punya?"
"Sudahlah. Biarkan aku sendirian di sini. Lebih baik kalian masuk lagi ke dalam meneruskan minum!"
"Hemm..." si tinggi besar usap-usap dagunya. "Kalau begitu kau harus bayar uang wara-wiri pada kami."
"Eh, bayar apa? Apa itu uang wara-wiri?" tanya si pemuda heran.
"Sebagai ganti rugi karena kedatanganmu mengganggu makan-minum kami!" jawab si pendek botak seraya puntir kumis tebalnya.
Pemuda gondrong melongo lalu tertawa gelak-gelak.
"Sialan! Kenapa tertawa!" bentak si tinggi.
"Kalian ini berdua mengemis atau hendak memeras?" tukas pemuda itu.
"Terserah kau mau menyebut apa! Bagusnya lekas kau serahkan semua uang yang kau miliki!" bentak si botak.
"Nah, nah! Tadi hanya minta uang wara-wiri. Kini inginkan semua uangku. Benar-benar wong edan!"
Sret...!
Sret...!
Dua bilah golok telanjang tahu-tahu sudah melintang di batang leher pemuda itu. Orang lain mungkin sudah pingsan atau terkencing ketakutan dikalungi dua buah golok seperti itu. Tapi anehnya si pemuda malah menyeringai dan keluarkan siulan.