WS026 - Iblis-Iblis Kota Hantu
Sang surya belum lama muncul di ufuk timur. Malam yang hitam menggelap di teluk kini digantikan oleh pagi cerah. Air laut yang tadinya seperti berwarna hitam pekat, kini kelihatan lagi aslinya, biru kehijauan dengan pantulan sinar matahari pagi merah kekuningan. Setiap pagi seperti itu biasanya teluk ramai dengan nelayan yang baru pulang melaut. Perahu berjejer di mana-mana dan para pembeli ikan ramai menawar ikan yang dibelinya. Namun pagi ini suasana lain sekali. Belasan perahu memang nampak berjejer di tepi pasir, tapi tak seorang nelayan pun yang nampak. Pembeli-pembeli ikan tidak kelihatan. Teluk itu sepi. Dan ada suatu keanehan menggantung di situ.
Seorang kakek-kakek berpakaian compang-camping muncul dari balik bukit kecil di ujung selatan teluk. Dia melangkah tarseok-seok. Rambutnya telah putih semua, panjang sampai ke punggung, kotor awut-awutan. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu sedang di tangan kanan dia membawa sebuah batok kelapa.
Mendadak kakek ini hentikan langkahnya dan mendongak ke langit.
"Pagi cerah..." katanya perlahan. "Tapi udara teluk sekali ini terasa lain."
Orang tua itu memandang ke arah deretan perahu di tepi pantai. Kemudian dia melangkah lebar-lebar manuju daratan perahu itu dan berhenti tepat di hadapan sesosok tubuh yang tergelimpang di pasir. Tubuh itu diketuk-ketuknya dengan ujung tongkat. Tak ada gerakan apa-apa.
"Mati!" desis si orang tua. "Oladalah Gusti Allah. Pembunuhan lagi!" Mulut kakek ini tampak komat-kamit beberapa lama. Berpaling ke arah perahu lain di sebelah kanannya, kembali dia terkejut. Di situ terkapar pula sesosok tubuh. Segera didatangi dan diperiksanya. Lalu kembali dia mendongak ke langit.
"Oladalah! Semurah inikah nyawa manusia? Lebih murah dari nyawa anjing jalanan...! Eh...itu! Di sana ada satu lagi!"
Kembali si kakek melangkah lebar-lebar mendatangi sosok tubuh yang ketiga, tergeletak antara pasir dan air laut.
"Ya Allah! Yang satu ini masih anak-anak! Kasihan...! Kasihan sekali! Apa dosanya?" Si kakek membungkuk dan ketuk-ketukkan tongkatnya ke sekujur tubuh anak yang berusia sekitar sepuluh tahun itu. Wajahnya kemudian tampak sedikit cerah.
"Hai! Yang satu ini masih hidup!" Cepat si kakek berjongkok. Tubuh anak itu ditariknya dari air laut lalu dibaringkannya di atas pasir yang lebih kering.
"Hemm… ada bekas pukulan di tubuhnya. Ia menderita luka dalam. Edan! Manusia mana yang tega-teganya memukul demikian kejam?"
Meskipun tubuhnya sudah reyot, jalanpun tampak susah, namun disaksikan oleh langit dan laut di pantai itu si kakak perlihatkan satu kehebatan. Dengan ujung tongkatnya dia mengait leher pakaian anak itu. Lalu hup! Tubuh si anak tahutahu melayang ke atas dan hup! Tubuh itu dinantinya dengan bahu kirinya. Setelah memandang berkeliling sebentar, orang tua ini lantas tinggalkan tempat itu. Dari caranya mengangkat tubuh anak tadi, jelas kakek ini memiliki kepandaian luar biasa. Siapakah gerangan dia?
Pada masa itu di Jawa Barat terdapat banyak tokoh silat dari berbagai aliran yang terbagi jadi dua golongan yakni mereka dari golongan putih dan lainnya yang disebut golongan hitam. Tokoh-tokoh silat golongan putih seperti tenggelam pamornya oleh gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh para manusia jahat yang dibantu oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Tampaknya sampai sebegitu jauh tak banyak yang diperbuat golongan putih untuk menanggulangi hal itu. Dengan sendirinya ini menimbulkan rasa risau di kalangan rimba persilatan, baik di Jawa Barat maupun sampai ke bagian tengah dan ujung timur pulau Jawa. Salah seorang dari tokoh silat golongan putih Jaws Barat adalah kakek tadi. Usianya hampir 80 tahun. Dia hanya dikenal dengan julukan Pengemis Batok Tongkat. Kemana-mana dia tak pernah ketinggalan dua benda itu, yakni batok kelapa dan tongkat kayu.
Pengemis tua ini membawa anak tadi ke tempat kediamannya, di sebuah rimba belantara yang terletak antara pantai selatan dan kaki gunung Halimun.
Ketika sadar, si anak merasakan dadanya sakit sekali hingga sulit baginya untuk bernafas. Dari mulutnya terdengar suara mengerang. Dia coba membuka mata. Ternyata dia berada dalam pondok kayu jati yang diterangi oleh sebuah lampu minyak, yang apinya berkelap-kelip tertiup angin. Memandang ke samping kiri disadarinya dirinya terbaring di atas sabuah balai-balai beralaskan tikar jerami.