Supernova - Episode Petir
Mawar. Aster. Krisan. Anggrek.
Pria itu menggeleng. Bank. Kekasihnya hanya tertarik pada bunga bank. Bukan karena gila harta, tapi semata-mata tak suka tanaman.
Main ski ke Swiss. Cokelat Swiss. Jam tangan Swiss.
Pria itu menggeleng lagi. Pisau. Kekasihnya berpendapat pisau Swiss termasuk salah satu temuan terjenius sepanjang peradaban manusia, dan ia sudah punya sedikitnya dua belas. Tak ada gunanya menambahkan lagi satu. Sepercuma buang garam ke laut. Sesalah buang gula ke teh hijau.
"Tambah ocha-nya. lagi, Pak Dhimas?"
Pria itu mendongak. Ada ribuan pilihan tempat untuk makan siang di kota Jakarta, tapi ia selalu memilih makan sushi di tempat sama, hampir empat kali seminggu, dan pelayan ini sudah dikenalnya lima tahun lebih tapi masih memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. Tiap kali tanpa jera Dhimas mengingatkan, panggil 'Mas', jangan 'Pak'. Dan semakin diingatkan semakin ia melanggar.
"Heru, kalau kamu sudah pacaran dengan orang dua belas tahun, kamu mau kasih kado apa?" Dhimas bertanya.
Pelayan bernama Heru memandang langit-langit, berusaha lari dari pertanyaan aneh itu. "Dua belas tahun, Pak?"
"Dan jangan panggil saya 'Pak'."
"Saya belum pernah pacaran sampai selama itu, P..., maaf."
"Dikira-kira saja."
Heru mengernyitkan kening. Pertanyaan ini terlampau pelik untuk pukul 12 siang. "Mmm..., kalau sudah dua belas tahun, harusnya semuanya sudah dikasih, ya."
"Jadi, nggak perlu kasih apa-apa lagi?"
Heru mengangguk kilat. Malas membahas.
"Ocha satu pot lagi."
"Baik, Pak."
Dhimas memandangi Heru berlalu sambil berpikir, mungkin sudah saatnya ia menyerah. Berhenti mengoreksi. Tapi ia belum mau menyerah untuk yang satu ini. Semestinya ada yang bisa dipersembahkan, atau dilakukan, sekalipun telah ia kenali Ruben sebaik dirinya sendiri, dan dirinya tidak butuh apa-apa. Hanya cinta.
Dua belas tahun bukan waktu yang singkat. Tidak untuk pasangan gay. Akan lebih mudah bagi mereka jika punya cincin emas tanda pengikat, yang merangkap fungsi sebagai stiker 'Awas Anjing Galak!', karena apabila ada apa-apa dengan ikatan keduanya, keluarga, negara, bahkan mungkin Tuhan, siap merangsak ngamuk. Namun jendela hidup mereka polos tanpa stiker. Barangkali cuma Cinta. Dan Cinta tak butuh aksara.
Dhimas meraih telepon genggam. Hanya satu tombol untuk menghubungkannya dengan Ruben. Hanya satu nada panggil, telepon itu diangkat.
"... ya!"
"Halo, Ruben..."
"... tapi, kan, saya sudah bilang, kalau mau memakai pendekatan kualitatif, Anda tidak bisa menganalisanya dengan cara begini, dong!"
"Ruben..."
"Bubarkan saja ini penelitian! Ngapain saya ikut susah!"
"Ben..."
"Ya!"
"Kamu ngomong sama siapa, sih?"
"Silakan Anda bawa pulang ini semua! Buang ke fakultas lain!"
"Aku telepon lag..."
Klik. Atau lebih tepat lagi 'tut'. Terputus. Dhimas menghela napas. Perlahan meletakkan teleponnya, dan meraih poci ocha sebagai ganti. Kekasihnya tidak butuh apa-apa. Hanya sedikit terapi jiwa. Mungkin sudah saatnya ia menyerah. Melewatkan satu lagi hari jadi tanpa cendera mata.