Film Alexander The Great: Distorsi atau Fakta Sejarah?
Beberapa tahun lalu, industri perfilman Hollywood merilis sebuah film berjudul Alexander The Great. Film yang disutradarai Oliver Stone dan dibintangi oleh aktor Collin Farrel yang memerankan tokoh Alexander ini, menceritakan kehidupan Alexander, Raja Macedonia yang hidup antara tahun 356 hingga 323 M. Di dalam film itu diceritakan mengenai keberhasilan Raja Alexander yang baru berusia 32 tahun dalam menaklukkan hampir setengah belahan dunia, mulai dari Mesir, Yunani, Persia, hingga India.
Alexander atau Iskandar, adalah anak dari raja Philip yang bertahta di Macedonia. Ibunya bernama Olympia, dan sejak kecil Alexander telah dididik oleh ibunya agar menjadi seorang raja. Iskandar dibekali ilmu bela diri dan juga belajar ilmu pengetahuan dari Aristotle. Konon, kisah-kisah yang dicerikatakan gurunya tentang dunia membuat Iskandar bertekad untuk menaklukkan dunia. Ayah Iskandar telah berhasil menaklukkan Yunani, dan kemudian, ketika dia tewas dibunuh oleh musuhnya, Iskandar naik tahta dan melanjutkan usaha perluasan wilayah kekuasaan kerajaannya.
Ia kemudian berhasil menaklukkan Persia yang saat itu dipimpin oleh Raja Darius III. Selanjutnya, Iskandar dan pasukannya melintasi pegunungan Himalaya, hingga tiba di India. Namun, setelah menaklukkan India, ia terluka dan kembali ke Yunani. Di sana, Iskandar terserang penyakit dan akhirnya meninggal dunia pada usia 32 tahun.
Poin menarik dari pengungkapan kisah hidup Iskandar oleh Oliver Stone adalah bahwa sutradara Hollywood ini sama sekali tidak berusaha untuk mengungkapkan dimensi hitam dari kehidupan Iskandar kepada para penonton. Dalam hal ini, Oliver Stone mengatakan, "Kritikus yang ingin mencari kesalahan-kesalahan sejarah dalam film ini, sesungguhnya telah melakukan kesalahan. Film ini tidak mungkin menyandarkan diri sepenuhnya kepada sejarah dan para penonton pun tidak mencari seluruh fakta sejarah dalam film ini." Namun anehnya, mengapa Stone memberikan fokus yang begitu banyak kepada kehidupan pribadi Iskandar dan ibunya, sedangkan peristiwa-peristiwa politik penting dalam kehidupan Iskandar diabaikan?
Bila kita melihat pada catatan hasil kerja Oliver Stone selama ini, kita akan menemukan bahwa film-film sejarah yang dibuat Stone banyak mendapatkan kritikan dari pemirsa. Sebelum Alexander, Oliver Stone telah membuat film-film bertema sejarah, antara lain berjudul Nixon dan JFK (John F. Kennedy). Para pemerhati sejarah selalu meragukan isi film-film Stone berkaitan dengan sejarah. Kali ini, dalam film Alexander, Stone juga kembali berusaha menampilkan sosok Alexander yang sesuai dengan keinginannya sendiri.
Salah seorang dari kritikus film Barat bahkan menilai bahwa film Alexander sedemikian buruk, sehingga jika saja film ini dibuat pada masa lampau, sudah pasti orang yang membuat film ini akan dihukum mati. Seorang kritikus lain dalam surat kabar Los Angeles Times menulis bahwa film Alexander bukanlah sebuah film yang bernilai untuk dipertontonkan dan merupakan sebuah kisah mitos yang memakan biaya besar.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa film Alexander karya Oliver Stone ini memang tidak bersandar kepada realita sejarah dan film tersebut benar-benar dibuat berdasarkan pandangan pribadi Stone mengenai Iskandar. Dalam tulisan peninggalan Plutok, seorang sejarawan Yunani, disebutkan bahwa Iskandar telah melakukan perampokan terhadap kota Persepolis, Iran, yang dilakukan dengan mengunakan lima ribu ekor unta dan 20 ribu ekor keledai, serta membakar istana besar Persepolis. Anehnya, dalam film ini, justru diperlihatkan bahwa orang-orang Iran menyambut kedatangan Iskandar dengan hangat serta menyebut Iskandar sebagai penyelamat mereka.
Hassan Musawi, seorang dosen sejarah Universitas Shiraz, Iran, meyakini bahwa film yang menelan biaya lebih dari 100 juta dolar ini bertujuan untuk meraih dukungan pemerintah Amerika dan menyajikan gambaran distortif dan negatif mengenai Iran. Pendistorsian sejarah dalam film ini dapat berakibat semakin besarnya kecurigaan dan pandangan negatif para pemirsa kepada orang-orang Iran. Menurut Hasan Musawi, orang-orang Iran ditampilkan dengan watak yang berbeda dan mengunakan para aktor Afrika, sehingga hal ini merupakan satu kesalahan besar dari Oliver Stone.
Lebih jauh lagi, dalam film ini, Iskandar ditonjolkan sebagai penakluk dunia yang amat disenangi, baik hati, pemaaf, dan sosok bijak yang mengeluarkan pandangan-pandangan bernas tentang kesetaraan derajat manusia dan bangsa. Hal ini sebenarnya adalah masalah yang sama sekali tidak kita lihat dalam sejarah kehidupan Iskandar. Sebaliknya, pada zaman tersebut, peradaban Iran telah menyusun statemen pertama tentang HAM, yang disusun oleh Kuresh Hakhomeneshi. Dalam sebuah dokumen yang ditemukan dari sisa-sisa Kerajaan Persepolis, disebutkan tentang hak-hak pekerja dan bagaimana cara berperilaku terhadap mereka. Sementara itu, pada zaman yang sama, di Yunani justru dikenal adanya sistem perbudakan.
Berbagai kebohongan yang dilakukan Oliver Stone dalam film Alexander ini kemungkinan besar ditujukan untuk menciptakan sosok pahlawan kepada masyarakat Barat yang memang tidak memiliki pahlawan. Hal ini juga diungkapkan oleh sebagian kritikus Barat. Di sisi lain, sutradara film yang banyak menampilkan diri sebagai penentang Presiden Bush Junior ini, sesungguhnya dalam banyak hal memberikan dukungan kepada Bush. Pemutaran perdana film Alexander yang sangat simbolik dan seiring dengan dimulainya putaran kedua kepresidenan George W. Bush, seolah-olah menyampaikan pesan bahwa jika perang yang dilancarkan oleh Bush di bawah kedok memerangi terorisme mencapai kemenangan, maka Amerika akan menjadi Roma baru dan Bush mungkin akan disebut sebagai George the Great.
Kata-kata yang diucapkan oleh Oliver Stone juga mengindikasikan tujuan pembuatan film tersebut. Dia mengatakan, "Pada saat ketika kami sedang membuat film ini, tiba-tiba meletus pula perang di kawasan yang sama sebagaimana perang yang terjadi tiga ribu tahun lalu. Tidak dapat dibayangkan bahwa Amerika telah melancarkan perang di suatu kawasan, yang pada masa lampau kawasan itu telah ditaklukkan oleh Alexander sehingga terbentuklah sebuah emperatur."
Namun, agaknya Oliver Stone dan orang yang berpandangan sama dengannya, telah melupakan fakta bahwa meskipun Iskandar telah menaklukkan hampir setengah belahan bumi dan berbuat kekejaman di berbagai wilayah, namun akhirnya ia tetap kalah dan menemui ajal dalam kesendirian. Dalam sejarah kehidupannya disebutkan bahwa dia tidak disukai oleh orang-orang kepercayaannya sendiri dan sebagian orang meyakini bahwa kematian Iskandar disebabkan oleh konspirasi orang-orang terdekatnya.
Will Durant dalam bukunya Sejarah Peradaban jilid kedua, menulis, "Iskandar dengan tentaranya telah melewati gunung-gunung, mengarungi musim dingin, dan menaklukkan Persepolis. Sedemikian cepatnya dia sampai ke istana sehingga orang-orang Iran tidak memiliki kesempatan untuk menyembunyikan harta benda mereka. Di sana, Iskandar seperti kehilangan akalnya dan kota indah tersebut telah dibakar sehingga rata dengan tanah. Tentara-tentaranya mendatangi rumah-rumah rakyat dan merampas harta benda mereka."
Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India, pernah mengatakan, "Tidak diragukan lagi, Iskandar memang seorang panglima perang. Tetapi, dia adalah seorang lelaki yang jahat, sombong, keras, dan tidak berperi kemanusiaan. Dari kerajaannya yang luas, kini tidak ada lagi yang tersisa." Hal inilah yang agaknya harus dicamkan oleh orang-orang yang berpandangan seperti Oliver Stone, yaitu bahwa berbagai program perang yang dilancarkan oleh para pemimpin AS pada akhirnya hanya menyisakan kekalahan dan keterkucilan bagi diri mereka sendiri.