WS062 - Kamandaka Si Murid Murtad
Gerobak sapi itu bergerak perlahan. Yang menjadi kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan berambut putih, duduk tenang-tenang saja karena dia memang tidak terburu-buru. Di sampingnya duduk seorang dara. Rambutnya yang hitam pendek dikuncir ke atas hingga wajahnya yang jelita tampak lucu. Gadis ini adalah anak tunggal si orang tua berjanggut putih. Dara ini memang bersifat riang ceria. Sepanjang perjalanan dia selalu menyanyi kecil sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang memegang sebuah tongkat bambu. Melihat pakaian ringkas warna putih yang dikenakan ayah dan anak ini jelas keduanya adalah orang-orang persilatan.
"Mintari anakku," berkata lelaki tua di atas gerobak pada anak gadisnya. "Kalau sampai di tempat pertemuan para tokoh silat di selatan nanti, jangan sekali-kali kau berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan bicara kalau tidak diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari tanah Minang yang akan membawamu ke Pulau Andalas. Semua ilmu kepandaianku sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk Alam yang akan membawamu ke tanah Minang dan menggemblengmu di sana. Ingat juga, datuk itu adalah orang tua yang sangat saleh. Karena itu selama di sana jangan sekali-kali kau meninggalkan sembahyang!"
Gadis bernama Mintari itu sesaat terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Tak lama kemudian kembali dia menyanyi-nyanyi sambil membolang-balingkan tongkat bambunya.
"Anakku, apakah kau tidak akan mengatakan sesuatu?" bertanya sang ayah.
Mintari hentikan nyanyiannya. "Saya ada satu pertanyaan ayah," ucapnya.
"Katakanlah, Anakku!"
"Setahu saya di tanah Jawa ini terdapat banyak sekali tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Tidak terhitung pula orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah menginginkan saya pergi jauh-jauh ke negeri Minang mengikuti Datuk Alam Rajo kalau hanya untuk menempa ilmu silat dan kesaktian?"
Sang ayah tersenyum mendengar ucapan anak gadisnya itu. Setelah mendehem beberapa kali dia pun menjawab. "Pernahkah kau mendengar ujar-ujar yang mengatakan 'jauh berjalan banyak yang dilihat'. Menuntut ilmu kalau perlu sampai di Negeri Cina. Memang ayah tahu tidak sedikit orang pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah Minang juga dikenal gudang segala ilmu. Di sana kau dapat pula mendalami ilmu agama. Dan mengenai Datuk Alam Rajo, jangan kau anggap enteng dia!"
"Harap maafkan, saya tidak menganggap enteng orang tua satu itu ayah. Jangan ayah salah sangka."
"Lalu mengapa kau kelihatannya tidak suka pergi bersamanya?"
"Karena sebenarnya saya ingin dekat dengan ayah," jawab Mintari.
Sang ayah tertawa. "Kau bukan anak kecil lagi. Umurmu sudah sembilan belas tahun kalau ayah tidak salah ingat. Ayah melepasmu dengan segala keikhlasan."
"Saya tahu ayah," kata Mintari pula. Lalu dipegangnya tangan ayahnya seraya berkata. "Kalau saya tidak ada, siapa yang mengurus ayah?"
Ucapan anak gadisnya itu membuat hati si orang tua tersentuh. Memang sejak ibu Mintari meninggal dunia enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus dirinya.
Setelah diam sesaat orang tua ini berkata. "Kalau kau pergi dan sanggup mengurus diri sendiri, masakan aku tua bangka begini tidak sanggup berbuat yang sama?"
Baru saja ayah Mintari berkata begitu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh menyusul ucapan lantang. "Kau betul Ki Pamilin! Orang tua sepertimu harus dapat mengurus diri sendiri! Hari ini aku mau lihat apakah kau benar-benar bisa mengurus diri sendiri?"
Ayah dan anak itu sama-sama terkejut dan memandang berkeliling.
"Ayah, ada suara tapi tak kelihatan orangnya," bisik Mintari.
Ki Pamilin, ayah Mintari berusaha bersikap tenang tapi waspada. Dia tahu kalau ada seorang berkepandaian tinggi berada di tempat itu. Manusia yang muncul seperti itu biasanya tidak membawa niat baik.
"Tenang saja Mintari! Tak ada yang perlu ditakutkan," balas berbisik Ki Pamilin.
Tiba-tiba ada suara angin berdesir disertai berkelebatnya satu bayangan. Tahu-tahu sepuluh langkah di tengah jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang berpakaian dan berdestar serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga dadanya yang bidang berotot tersingkap lebar.
Ki Pamilin hentikan gerobak sapinya. Yang tegak menghadang di tengah jalan itu ternyata seorang pemuda berparas gagah. Hal ini membuat hati si orang tua agak tentram sedikit. Lain halnya dengan Mintari. Gadis ini tidak suka melihat perjalanannya dihadang oleh seorang tak dikenal yang bersikap sombong.