Header Ads

Niagahoster

WS057 - Nyawa Yang Terhutang

Suara beradunya pedang terdengar berkepanjangan di lereng bukit Cemoro Sewu padahal hari masih gelap dan udara mencucuk dingin. Binatang hutan pun menyingkir ketakutan. Karena yang terdengar bukan hanya suara beradunya senjata tajam itu namun juga ada bentakan-bentakan serta hentakan-hentakan kaki yang menggetarkan tanah.

Serial Wiro Sableng

Siapa yang pagi-pagi buta telah saling baku hantam seolah-olah tidak ada waktu menyelesaikan urusan di siang hari?

Di antara kerasnya suara pedang beradu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh. Lalu ada orang yang bicara dalam kegelapan. "Bagus! Bagus Wilani! Sepuluh jurus kau bisa bertahan, sepuluh jurus kau balas mendesak! Bagus! Ilmu pedangmu sudah cukup matang! Yang penting kini adalah berlatih terus!"

"Terima kasih untuk pujian itu kakek guru! Semua itu berkat gemblengan yang kakek guru berikan!"

Ternyata di lereng bukit Cemoro Sewu itu bukan terjadi perkelahian, melainkan seorang murid dan guru tengah berlatih ilmu pedang di gelap buta menjelang dini hari. Sang guru adalah seorang kakek berambut putih panjang. Dia mengenakan pakaian berbentuk selempang seperti pakaian seorang resi dan berwarna hitam. Gerakan tangannya memutar pedang sebat sekali. Gerakan kakinya kukuh dan ringan. Sesekali pakaian hitamnya di bagian kaki nampak tersingkap. Astaga! Ternyata kakek yang memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi ini hanya mempunyai satu kaki kanan. Kaki kirinya buntung sebatas lutut.

Tapi tak kalah hebatnya sang murid yaitu seorang dara berpakaian serba biru, berambut hitam dikuncir. Meski seluruh pakaiannya basah kuyup tanda dia telah mengerahkan seluruh tenaga, gerakannya berkelebat gesit sekali. Putaran pedangnya mengeluarkan angin menderu-deru, gerakan kedua kakinya tak terduga sehingga setiap bacokan atau tusukan senjatanya sulit diduga.

"Bagus! Bagus! Sekarang aku ingin melihat kau menutup serangan terakhirmu dengan jurus Rembulan Mencukur Bintang. Lakukan!"

Mendengar ucapan sang guru, gadis baju biru bernama Wilani membentak keras. Lalu tubuhnya melesat ke udara setinggi dua tombak. Ujung pedang di tangan kanan menderu ke arah sebuah cabang pohon berdaun lebat. Terdengar suara merambas beberapa kejapan mata. Ketika si gadis melompat turun kembali kelihatanlah dalam gelap bagaimana seluruh daun di cabang itu telah gundul laksana dipangkas sedang ranting-ranting besarnya sedikitpun tak ada yang rusak.

Kakek kaki buntung tertawa gembira.

"Hebat! Luar biasa Wilani!"

"Terima kasih kakek guru," sang dara menyahuti sambil bungkukkan tubuh.

"Sekarang aku ingin menguji kehebatan senjata rahasiamu. Siapkan kantong jarummu!"

"Saya sudah siap, Kakek," kata Wilani pula sesaat kemudian.

"Lihat ke arahku!" kata si kakek sambil mengangkat tangan kanannya dekat-dekat ke kepalanya sampai setinggi daun telinga. Telapak tangan dan lima jari dikembangkan. Di antara jari-jari tangan yang lima itu terselip empat buah daun kecil.

"Serang empat daun yang kujepit di antara jari-jari tangan!"

"Siap, guru!"

"Tunggu dulu! Ada syaratnya!" kata si kakek pula.

"Empat helai daun itu harus tembus tetapi tidak selembarpun boleh lepas dari jepitan jariku. Bagaimana? Sanggup?"

"Akan saya coba, Kek!"

"Nah hantamlah! Tapi awas! Jangan mata atau hidung atau tanganku yang kau hantam! Hik...hik...hik...!"

Wilani menggerakkan tangan kanannya ke dalam kantong. Sesaat kemudian tangan itu keluar bersama empat buah jarum halus berwarna putih. Lalu tangan itu menghantam ke depan. Terdengar suara berdesing dalam kegelapan malam. Empat jarum halus melesat tidak kelihatan. Si kakek menunggu lalu berseru.

"Hai...! Hai...! Sudahkah kau melemparkan senjata rahasiamu, Wilani?"

"Sudah, Kek! Harap periksa keempat daun itu!"

Kakek kaki satu turunkan tangannya dan meneliti. Keempat daun kecil yang dijepitnya di antara jari-jari tangan kanannya ternyata sudah berlubang kecil di bagian tengahnya. Melihat hal ini kembali orang tua itu tertawa mengekeh.

"Hebat! Luar biasa! Kau memang muridku yang andal!"

"Terima kasih guru. Jangan keliwat memuji," jawab sang murid tersipu. Waktu tersipu ini ada lesung pipit muncul di kedua pipinya.

"Sekarang ujian terakhir. Aku akan menggabung ilmu meringankan tubuhmu dengan kekuatan tenaga dalam serta kepekaan perasaanmu. Kau siap?"

"Mohon petunjukmu dulu, Kek. Apa yang harus aku lakukan?"

"Hemm...," si kakek melompat-lompat ke arah sebuah batu belas langkah di sebelah kanan, lalu dia menunjuk ke cabang sebuah pohon setinggi tiga tombak di samping muridnya.

"Kau melompatlah ke ujung cabang itu dengan punggung menghadap ke batu. Putar tubuhmu tanpa membuat cabang bergoyang dan hantam batu ini sampai hancur!"

"Wah! Susah amat, Kek!"

"Kalau itu saja susah, berhenti jadi muridku!" jawab si orang tua itu sambil mencibir.

Powered by Blogger.