Header Ads

Niagahoster

WS055 - Misteri Dewi Bunga Mayat

Di dalam kedai yang tak seberapa besar itu hawa terasa hangat dan pengap padahal di luar hujan rintik-rintik dan angin bertiup cukup keras. Pendekar 212 Wiro Sableng seharusnya sudah sejak tadi meninggalkan kedai dengan perut kenyang. Namun seorang dara berwajah manis yang setiap mata lelaki tak mau berkesip memandangnya, membuat murid Sinto Gendeng itu tak beranjak dari bangku yang didudukinya.

Serial Wiro Sableng

Si jelita itu makan dengan tenang di sudut kedai. Kepalanya hampir selalu tertunduk. Namun dari tempatnya duduk Wiro bisa melihat hampir keseluruhan wajah yang cantik itu. Sang dara mengenakan pakaian putih sebentuk kebaya panjang dengan kancing besar-besar yang tebuat dari kain putih. Dia tidak mengenakan kain panjang sebagaimana biasanya orang memakai kebaya, tetapi mengenakan sehelai celana panjang sebatas betis yang juga berwarna putih. Sebagian betisnya yang tersembul tampak kukuh walaupun tidak menyembunyikan kemulusan dan kelembutan serta keputihan sebagai betis seorang dara.

Di luar kedai udara malam terasa dingin dan suasana tampak tenang sunyi. Namun jika kita memalingkan kepala ke arah pohon besar di halaman sebelah kedai, tampaklah empat orang lelaki muda mendekam dalam gelap bebayangan pohon, duduk tak bergerak di atas kuda masing-masing. Seekor kuda putih tertambat tak jauh dari sana. Lalu masih ada seekor kuda lagi di samping kedai yang tidak terikat dan berjalan perlahan-lahan mencari rerumputan.

"Sudah kukatakan sebaiknya kita masuk saja ke dalam kedai itu. Kita tak tahu sampai berapa lama dia berada disana sementara kita kedinginan disini," salah seorang pemuda penunggang kuda membuka mulut.

"Gandring! Jangan bicara tolol!" temannya membentak perlahan. "Aki Sukri pemilik kedai itu kenal kita. Apa kau mau mencari penyakit kalau kemudian dia bertindak menjadi saksi?"

Gandring yang dibentak diam saja. Seorang kawan yang lain berkata sambil menyeringai, "Kenapa udara dingin jadi persoalan? Bukankah nanti kita semua bisa berhangat-hangat dengan si jelita itu?"

"Sebenarnya siapakah calon korban kita kali ini?" bertanya lelaki ke empat yang duduk di punggung kuda sambil menghisap sebatang rokok kawung.

"Soal siapa dia atau siapa namanya kurasa tidak perlu. Yang penting, sore tadi kita sudah melihat bagaimana wajahnya secantik bidadari. Kulitnya kuning mulus seperti kulit putri kerajaan. Lalu pinggangnya yang ramping sedang dada serta pinggulnya yang begitu besar...," pemuda yang bicara ini membasahi bibirnya dengan ujung lidah sementara tenggorokan tiga kawannya tampak bergerak-gerak tanda mereka sama menelan air liur. "Seperti biasa, aku pemimpin diantara kita berempat. Jadi pantas kalau nanti aku yang lebih dulu menikmatinya. Ha...ha...ha...," pemuda itu tertawa perlahan sementara tiga kawannya tampak merengut.

"Jumpadi, kau selalu mementingkan diri sendiri. Dalam segala hal selalu ingin duluan, dalam pembagian selalu ingin lebih besar. Sekali-sekali kami anak buahmu pantas juga mendapat perolehan lebih besar dan tidak cuma mendapatkan bekasmu."

Pemuda bernama Jumpadi berpaling. "Bladu..! Kau rupanya punya niat hendak mengambil kedudukan pimpinan dari tanganku?" bertanya Jumpadi dengan mata melotot. Yang ditanya diam saja. Jumpadi meneruskan, "Aku sudah berapa kali mengatakan. Jika ada di antara kalian ingin jadi pimpinan rombongan kita silakan saja. Tapi harus melewati mayatku lebih dulu. Jika ada yang tidak suka dan ingin mengundurkan diri, juga aku persilakan. Satu pergi ada sepuluh orang yang ingin bergabung denganku."

"Sudahlah, kenapa kalian jadi bertengkar. Lihat ke kedai. Ada orang melangkah keluar," berkata pemuda bernama Ambalit.

Mendengar ucapannya itu tiga pemuda lainnya serta merta palingkan kepala ke arah pintu kedai. Di ambang pintu yang masih terkena cahaya lampu minyak dari dalam kedai kelihatan melangkah keluar seorang berpakaian serba putih.

"Memang dia yang kita tunggu-tunggu!" kata Jumpadi. Lalu pada ketiga temannya dia berkata, "Kita tetap tenang saja. Jangan memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Tunggu sampai dia naik ke atas kudanya dan pergi. Jika aku bergerak baru kalian ikut bergerak. Awas, jangan berani mendahuluiku!"

Empat pasang mata memperhatikan dara berpakaian putih keluar dari dalam kedai, melangkah ke arah kudanya yang tertambat di halaman depan. Dia melangkah seperti tidak melihat ada empat penunggang kuda mendekam di bawah pohon besar yang gelap. Dengan tenang dia melepaskan tambatan kudanya lalu naik ke atas punggung binatang berwarna putih ini.

Sesaat setelah sang dara berlalu baru Jumpadi menarik tali kekang kuda tunggangannya. Tiga kawannya langsung membedal kuda masing-masing.

Di pintu pondok Pendekar 212 Wiro Sableng sempat melihat gerakan empat penunggang kuda itu. Selain dia sendiri memang ingin mengikuti gadis berkebaya putih tadi, empat orang lelaki penuunggang kuda yang barusan berlalu membuat hatinya jadi curiga. Wiro memandang berkeliling. Celakanya dia tidak memiliki kuda. Bagaimana harus mengejar orang-orang itu? Ketika dia memandang berkeliling sekali lagi, dilihatnya ada seekor kuda di halaman samping tengah asyik merumput di kegelapan malam. Tanpa pikir panjang lagi Wiro langsung menghampiri binatang ini, mengusap tengkuknya lalu melompat ke atas punggungnya.

Powered by Blogger.