Header Ads

Niagahoster

WS054 - Pembalasan Pendekar Bule

Riuhnya suara anak-anak bermain bola rotan bukan alang kepalang. Apalagi kalau ada salah satu pihak yang bertanding berhasil membobolkan gawang lawan yang terbuat dari potongan bambu yang ditancapkan ke tanah. Masing-masing pihak berjumlah delapan anak. Belasan anak lainnya yang tidak ikut main menonton di pinggir lapangan. Justru suara anak-anak yang menonton inilah yang paling ramai.

Serial Wiro Sableng

"Bermain bola harus sebelas lawan sebelas!" berteriak seorang anak dari tepi lapangan.

"Betul!" menimpali kawan disebelahnya.

"Sebaiknya ditambah tiga- tiga. Biar ramai!"

Anak-anak yang berada di lapangan mengangkat tangan tanda setuju. Tapi dari pinggir tanah lapangan berumput kasar itu hanya lima anak yang mau ikut bermain.

"Ah, kurang satu! Masakan yang lain tak Ada yang mau ikut main?"

"Biar aku yang main!" tiba-tiba terdengar suara seorang anak berteriak seraya berlari mendatangi dari tepi tanah lapang sebelah timur. Semua anak berpaling. Lalu tampak anak-anak itu mencibir bahkan ada yang mengangkat tangan membentuk tinju. Sesaat kemudian seperti diatur semua anak itu berseru, "Huuuuuuu...!"

"Bule anak setan! Mana pandai kau main bola rotan!" kata seorang anak.

"Memandang saja tidak becus. Jangan-jangan kaki kami nanti yang kau tendang," teriak seorang anak.

Terdengar suara anak-anak tertawa dan mencemooh.

Seorang anak lain berteriak, "Kami lebih suka kurang satu dari pada main bersamamu."

"Kulitmu lain dengan kulit kami! Sebaiknya kau main dengan anak-anak tuyul!" Kembali terdengar suara tawa riuh rendah.

"Monyet bulai! Lekas menyingkir ke tepi lapangan! Kalau tidak akan kami gotong kau ramai-ramai dan cemplungkan ke kubangan kotoran kuda."

Anak lelaki sepuluh tahun yang tadi begitu berharap dapat turut serta bermain bola rotan bersama anak-anak seusianya itu sesaat hanya bisa tegak terdiam. Bola matanya yang kelabu bergerak kian kemari dan tangan kanannya ditudungkan diatas mata karena tak tahan sinar matahari pagi yang mulai terik. Rambutnya sangat pirang, bahkan sepasang alis dan bulu matanya juga pirang. Kulitnya putih bulai penuh bercak-bercak bekas gigitan nyamuk.

"Kawan-kawan! Monyet bulai ini benar-benar ingin kita cemplungkan ke dalam kolam kotoran kuda!" seorang anak berteriak ketika dilihatnya si bulai itu masih berada di lapangan. Beberapa anak segera bergerak mendekati.

Melihat hal ini anak lelaki bulai itu cepat-cepat melangkah ke pinggir lapangan sambil berkata, "Kalau kalian tidak suka aku ikut main tak jadi apa. Biar aku menonton saja dari jauh."

"Menonton kami bermain pun kau tidak layak! Pergi dari sini!" teriak seorang anak berkulit hitam bermata besar. Namanya Suradadi.

"Ayo pergi dari sini!"

Anak lelaki bulai itu memandang sayu dengan sepasang matanya yang kelabu dan lalu bergerak, lalu perlahan-lahan dia memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.

Tiba-tiba ada suara anak perempuan berkala, "Padanaran, jangan pergi dulu...!"

Si bulai hentikan langkahnya dan berpaling. Dia tersenyum ketika melihat wajah mungil yang manis itu.

"Ada apa Tarini?"

Anak perempuan bernama Tarini menjawab, "Kau tetap disini saja, Padanaran! Aku mau bertanya pada anak sombong itu!" Lalu anak perempuan ini melangkah ke tengah lapangan, langsung menghadapi Suradadi yang rupanya memang dianggap sebagai pimpinan oleh anak- anak yang ada di tempat itu.

"Suradadi, kau dan kawan-kawanmu tidak mau mengajak Padanaran bermain bola. Kenapa kalian sejahat itu?"

Bola mata Suradadi yang besar tampak membeliak. Lalu dia berpaling pada kawan-kawannya. Dan meledaklah tawa anak-anak itu.

"Dewi kecil ini hendak bertindak sebagai pembela rupanya!" berteriak seorang anak.

Suradadi letakkan kedua tangannya di pinggang lalu berkata, "Kami tidak suka bermain dengan dia bukan baru sekarang ini. Tapi dari dulu-dulu. Kami tidak sama dengan dia. Kami anak-anak dari orang tua baik-baik. Sedang dia! Ibunya dikawin oleh hantu! Lihat saja kulitnya bule seperti hantu!" Gelak tawa menyusul ucapan Suradadi itu.

Paras Tarini tampak merah sementara Padanaran hanya bisa tegak tertegun.

"Mulutmu keji amat Suradadi! Bagaimana kau bisa bicara sejahat itu! Apakah ayah atau ibumu yang mengajarkan?" bertanya Tarini.

"Tidak ada yang mengajariku dewi cilik! Tapi semua orang di dukuh Sawahlontar tahu kalau ibu Padanaran adalah manusia tapi ayahnya hantu putih! Bukan begitu kawan-kawan...?"

"Betullllllll..!" jawab semua anak. "Karena itu si Padanaran kulitnya bulai matanya kelabu rambut dan alisnya pirang." Lalu kembali terdengar mereka tertawa gelak-gelak.

"Kalian semua sama jahatnya!" teriak Tarini.

Saat itu Padanaran mengulurkan tangan menarik lengan anak perempuan itu seraya berkata, "Sudahlah, Tarini! Biarkan saja mereka! Mari kita tinggalkan tempat ini!"

"Kawan-kawan, lihat anak bule ini hendak mengajak Tarini pergi. Hati-hati kau Tarini. Pasti kau akan dibawanya ke sarang hantu kerajaan ayahnya!" berkata Suradadi.

"Tarini, mari...!" Padanaran tarik tangan Tarini.

"Kau pergilah duluan! Aku mau bicara ngotot-ngototan dengan anak lelaki yang sombong ini. Mentang-mentang anak kepala dukuh."

Karena Tarini tak mau diajak pergi maka terpaksa Padanaran tetap pula tegak di tempat itu.

Powered by Blogger.