Header Ads

Niagahoster

WS051 - Raja Sesat Penyebar Racun

Pendekar 212 Wiro Sableng memandang berkeliling dengan heran. Betulkan ikat kepala kain putihnya lalu menggaruk rambut.

"Aneh...! Setahuku setiap hari Ahad pasar ini selalu ramai oleh penjual dan pembeli. Tapi kali ini jangankan manusia, jangankan orang yang berjualan dan mereka yang mau membeli. Nyamuk dan lalat pun tidak kelihatan. Apa yang terjadi...? Perutku sudah lapar. Aku membayangkan akan makan ketan bakar di sudut sana. Nyatanya pasar ini sudah berubah jadi kentut. Eh, kentut pun masih ada bunyi-bunyi dan baunya. Tapi disini tak ada bunyi. Sepi! Tak ada bau!"

Serial Wiro Sableng

Wiro menyeringai geleng-geleng kepala. Akhirnya dia tinggalkan pasar itu, lanjutkan perjalanan memasuki kampung terdekat di pinggir pasar. Begitu memasuki mulut kampung, sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi putih bergerak deras ke arahnya.

"Awas! Minggir! Anakku, istriku...! Tolong! Minggir!" teriak orang yang mengemudikan gerobak itu.

Wiro cepat menyingkir ke tepi jalan. Gerobak lewat disampingnya dengan cepat. Sekilas Pedekar 212 melihat dua sosok tubuh terbujur di atas gerobak sapi itu. Yang di sebelah kiri seorang anak lelaki berusia lima tahun, terbaring menelentang tanpa baju. Muka dan terutama bibirnya tampak biru. Kedua matanya membeliak sedang tangan dan kakinya tampak tegang kaku. Sekujur tubuhnya tidak bergerak sedikit pun. Di sela bibirnya tampak busah melueh. Yang kedua seorang perempuan, ibu si anak lelaki, juga terbaring dengan muka dan bibir biru. Dari mulutnya yang berbusah terdengar suara erangan. Tubuhnya menggeliat-geliat kejang. Bagian hitam matanya terbalik-balik.

"Awas...! Minggir...! Tolong...! Tolong anak istriku kembali!" terdengar suara pengemudi gerobak sapi berteriak.

Sesaat Wiro masih tertegak heran di tepi jalan. Lalu di depan sana dilihatnya seorang pejalan kaki memandang ke arah lenyapnya gerobak sapi di tikungan jalan. Wiro dekati orang ini yang ternyata seorang kakek mengenakan celana panjang hitam dan kain sarung di bahunya.

"Kek...!" menegur Wiro. "Kau barusan melihat gerobak sapi itu. Kau tahu apa yang terjadi?"

Si kakek menatap sesaat pada Wiro lalu menjawab. "Ah, sampean tentu bukan penduduk sekitar sini. Jadi tidak pernah mendengar apa yang terjadi sejak satu bulan belakangan ini. Dedemit Karang Gontor sedang murka. Puluhan jiwa penduduk telah disedotnya."

"Dedemit Karang Gontor? Menyedot jiwa penduduk...?"

"Betul, anak muda. Anak serta istri orang yang membedal gerobak sapi tadi pastilah korban-korban baru dedemit itu," berkata si kakek.

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku tak mengerti, Kek. Bagaimana bisa ada dedemit menyedot jiwa manusia?"

"Itu karena ulah manusia sendiri, anak muda. Manusia-manusia di sini sudah bertumpuk dosanya. Bumi Tuhan menjadi kotor. Dedemit yang bermukim di Karang Gontor jadi gerah, lalu murka. Satu per satu dia mencari korban. Menyedot nyawa korbannya lewat mulut. Itu sebabnya mereka yang jadi korban pada biru bibir dan mukanya sampai ke leher."

"Gila! Sulit dipercaya! Ada dedemit kegerahan lalu minta nyawa manusia! Gila...!" ujar Wiro.

"Gila atau tidak, itulah yang terjadi. Dan kau setiap saat bisa saja jadi korbannya! Aku yang sudah tua begini kalau sampai jadi korban tak akan menyesal. Lebih baik cepat mati dari pada hidup menderita."

"Kek, apa ada orang yang pernah melihat dedemit yang kau katakan itu?" Wiro bertanya.

"Anak muda, pertanyaanmu sungguh totol. Tidak melihat saja nyawanya sudah bisa disedot, apalagi kalau sampai melihat! Heh...kau lihat pasar di ujung sana? Sepi. Tak ada yang berani berjualan karena takut akan jadi korban dedemit. Semua orang pada mendekam dalam rumah karena ketakutan. Banyak yang sudah mengungsi ke tempat jauh yang aman. Kampung ini saja hampir kosong tidak didiami lagi."

"Lalu, orang yang memacu gerobak sapi tadi, mau dibawanya kemana anak dan istrinya itu...?"

"Di kaki bukit sebelah timur sana, ada seorang dukun. Namanya Ki Dukun Japara. Pasti dia membawa anak istrinya kesana untuk minta tolong. Namun seperti yang sudah-sudah, nyawa orang-orang yang kena pencet Dedemit Karang Gontor tak bakal bisa diselamatkan lagi."

"Kek, tadi kau bilang dedemit itu menyedot nyawa, kini memencet. Mana yang betul kek...?" tanya Wiro pula.

Si kakek menyeringai. "Dedemit itu kalau inginkan nyawa manusia ya suka-sukanya saja. Mau menyedot lewat bibir atau pantat, mau mencekek leher atau memencet kemaluan korbannya, yah itu terserah dia. Pokoknya korban mati dan dia puas. Kau sendiri mau mati cara mana anak muda? Di sedot, dicekek, atau dipencet anumu itu?"

Wiro tak menjawab. Sambil geleng-geleng kepala dia memutar tubuh lalu berkelebat menuju ke arah lenyapnya gerobak sapi tadi. Si kakek tersentak kaget ketika pemuda dengan siapa dia tadi bicara kini berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah ada di tikungan jalan sana. Pucatlah wajah orang tua ini.

"Astaga...!" katanya dengan suara gemetar.

"Jangan-jangan pemuda itu penjelmaan Dedemit Karang Gontor." Lalu dirabanya ubun-ubunnya. Dipegangnya bibirnya. Disentuhnya lehernya dan terakhir sekali dirabanya bagian bawah perutnya. "Ah..., masih ada. Untung anuku tidak dipencetnya."

Dengan terbungkuk-bungkuk orang tua ini bergegas meninggalkan tempat itu.

Powered by Blogger.