WS046 - Serikat Setan Merah
Pendekar 212 Wiro Sableng duduk seperti dihenyakkan di bangku panjang itu. Perutnya kenyang sekali dan kantuknya mendadak saja muncul tak tertahankan. Matanya terasa berat dan sebentar-sebentar dia menguap lebar.
"Aneh, kenapa aku jadi mengantuk seperti ini. Dan sekujur tubuhku terasa letih," membatin sang pendekar, lalu dia garuk-garuk kepalanya. Seharusnya dia sudah membayar makan dan minuman yang disantapnya sejak tadi, tetapi entah mengapa dia masih saja duduk di rumah makan besar itu. Setiap saat matanya menatap pada cangkir tanah berisi minuman. Semakin dipandangnya minuman itu, semakin besar hasratnya untuk mereguk. Dan buktinya dia sudah menghabiskan tiga cangkir besar.
"Minuman apa ini. Harum, manis. Tuak aneh. Jangan-jangan minuman ini yang membuat mataku mengatuk." Diangkatnya cangkir tanah itu lalu didekatkannya ke hidungnya. Ketika dia mencium minuman itu dalam-dalam memang terasa seperti ada hawa aneh yang ikut masuk ke dalam hidungnya dan terus menjalar ke tenggorokan. Bersamaan dengan itu kedua matanya menjadi tambah berat. Tapi saat itu pula hasratnya untuk meneguk tuak itu tidak tertahankan. Gluk...gluk...gluk...! Beberapa kali teguk saja minuman itu amblas ke dalam perutnya. Baru saja cengkir tanah diletakkannya di atas meja, dari samping terdengar pelayan menegur.
"Tuaknya tambah, Den?"
Wiro berpaling. Pelayan perempuan ini! Tadi waktu masuk tampangnya jelek, tapi kini mengapa kelihatan begitu cantik menawan? "Ini pasti pengaruh tuak keparat itu," ujar Wiro dalam hati. "Pasti pemilik kedai menaruh sesuatu dalam minuman ini. Bangsat...!" Wiro memaki dalam hati. Dia memandang lagi pada pelayan di sampingnya yang siap mengisi cangkir tanah dengan tuak baru. Tangan kanan sang pendekar bergerak hendak memegang tangan si pelayan. Namun murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini masih dapat menguasai diri. Dia menggeleng seraya berkata, "Cukup. Perutku sudah kenyang dan rasa hausku sudah lepas. Sebentar lagi aku akan pergi."
"Ah mengapa begitu buru-buru, Den? Kelihatannya raden ini keletihan dan mengantuk. Jika ingin istirahat, di belakang ada kamar untuk berbaring-baring."
"Hmmm...begitu?" ujar Wiro. Dalam hatinya dia mulai menduga-duga jangan-jangan rumah makan besar ini di sebelah belakangnya merangkap rumah bordil alias tempat pelacuran.
"Bagaimana? Raden hendak istirahat dulu? Saya punya banyak teman yang cantik-cantik yang pandai memijat raden hingga segar bugar kembali," berkata pelayan di samping Wiro.
"Tak meleset dugaanku," kata Wiro dalam hati. Kembali dia menggeleng.
"Sudah, kau layani saja tamu-tamu yang lain!" kata Wiro pula.
Ketika pelayan berlalu, Wiro memandang ke kanan. Di ujung bangku panjang di sampingnya duduk seorang lelaki separuh baya berbelangkon dan berpakaian bagus. Orang ini duduk dengan satu tangan menopang dagunya. Kedua matanya setengah terpejam, kepala dan tubunya tergontai-gontai. Jelas dia juga tengah dilanda kantuk setelah makan kenyang dan minum banyak.
Pelayan yang tadi menawarkan tuak pada Wiro melangkah mendekati orang ini lalu menepuk-nepuk bahunya dengan keras hingga dia tergagap dan tersentak bangun.
"Bapak...! Kalau kau sudah kenyang dan puas minum sebaiknya segera membayar dan pergi saja! Masih banyak tamu lain yang butuh tempat duduk di sini!" kata si pelayan dengan kasar.
Ditegur begitu itu orang tersebut tampak seperti sadar diri dan buru-buru mengeluarkan koceknya lalu menyerahkan sejumlah uang. Si pelayan mengambil uang itu dengan kasar. Lalu dengan muka cemberut dia berkata, "Uang sejumlah ini mana cukup membayar semua makanan dan minuman yang kau habiskan! Ayo bayar lebih banyak!"
Sang tamu seperti mau membantah. Tapi mukanya yang kuyu dan keadaannya yang mengantuk itu membuat dia seperti tak berdaya menampik. Dan ketika si pelayan enak saja menarik kocek uang itu dari tangannya, dia seperti pasrah saja. Lalu dia berdiri dari bangku dan dengan langkah terhuyung-huyung berjalan ke pintu diikuti pandangan galak dan tampang cemberut si pelayan. Bahkan terdengar suara memaki, "Tamu tolol! Makan sebakul minum segentong, mau membayar seupil."
Lalu pelayan itu membalikkan tubuh menuju ke sudur rumah makan di mana duduk seorang lelaki berpakaian serba hitam, berbadan gemuk dengan muka selalu berminyak tapi garang. Kepada lelaki ini si pelayan menyerahkan kocek uang. Yang menerima tertawa lebar dan menepuk-nepuk bahu si pelayan. Lalu tampak dia memandang ke pintu dan cepat-cepat berdiri ketika melihat ada seorang tamu masuk. Sebelum meninggalkan tempatnya si baju hitam ini masih sempat berbisik pada pelayan tadi, "Dengar, untuk tamu yang satu ini jangan kau berikan tuak yang dibubuhi obat itu. Dan jangan kau berani meminta bayaran!"
Si pelayan mengangguk tanda mengerti. Orang berpakaian hitam cepat melangkah ke pintu menyambut tamunya. Wiro berpaling mengikuti langkah si gemuk. Ahai! Ternyata tamu yang disambut oleh lelaki pemilik rumah makan itu adalah seorang dara cantik jelita berkulit putih mengenakan pakaian tingkas berwarna merah. Kepalanya diikat dengan sehelai sapu tangan kecil berwarna merah pula.