WS042 - Badai Di Parangtritis
Siang itu laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di Pantai Parangtritis. Burung-burung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknya sinar sang surya.
Belasan perahu tampak berjejer di tepi pasir. Para nelayan sibuk memperbaiki dan membenahi jaring masing-masing untuk persiapan turun ke laut malam nanti. Di tepi pantai, dibawah jejeran pohon-pohon kelapa, anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun anak-anak itu semuanya serta-merta memalingkan kepala ketika telinga mereka menangkap suara tiupan seruling yang keras dan merdu. Yang meniup seruling ternyata adalah seorang bocah bertelanjang dada. Anak ini meniup suling bambunya sambil duduk di atas punggung seekor kerbau yang melangkah di sepanjang jalan di teluk.
"Anak Si Kantolo itu pandai sekali meniup suling. Mengalahi kepandaian ayahnya," berkata salah seorang nelayan lalu menyedot rokok kawungnya dalam-dalam. Ketika anak dan kerbau bergerak menjauhi tepi pasir, seorang nelayan berseru, "Bocah pintar! Berhenti saja di bawah pohon kelapa sana! Teruskan meniup sulingmu agar kami terhibur."
Anak di atas punggung kerbau tertawa lebar. Dia mengacung-acungkan suling di tangan kanannya dan terus berlalu, tidak mengacuhkan permintaan orang.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda keras dan berkepanjangan. Dari arah berlawanan jalannya kerbau, muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat yang lari kencang seperti dikejar setan sambil tiada hentinya meringkik dan melejang-lejangkan kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawa kerbaunya ke tepi jalan. Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba keluarkan pekik ketakutan, melompat turun dari punggung kerbau dan lari sekencang-kencangnya ke arah nelayan-nelayan yang ada di sepanjang jejeran perahu. Mukanya pucat dan nafasnya memburu.
"Ada apa Kambali?" bertanya seorang nelayan.
"Del...delman itu...," bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan tangan gemetar ke arah delman yang saat itu hampir lenyap di kelokan teluk. Semua orang memandang ke jurusan yang ditunjuk. Memang ada keanehan. Di atas delman, dari kejauhan para nelayan sama sekali tidak melihat kusir ataupun penumpang. Tetapi Kambali yang tadi sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok tubuh bersimbah darah malang melintang di atas delman.
"Kenapa delman itu, Kambali?" tanya nelayan yang lain.
Nelayan Satunya ikut bicara, "Bukankah itu delman milik Ageng Lontar, juragan kita?"
"Eh, kau betul! Kambali katakan lekas! Kau melihat sesuatu? Mengapa wajahmu pucat dan tubuhmu menggigil anak?"
"Ada tiga orang...ada tiga orang di atas delman itu," menerangkan Kambali. "Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka bergelimang darah. Saya takut..."
"Anak ini tidak dusta. Sesuatu telah terjadi."
"Jangan-jangan..."
"Lebih baik kita berlari mengejar delman! Kuda itu tampaknya lari ke jurusan rumah kediaman Ageng Lontar."
Tanpa diberi aba-aba lagi semua nelayan yang ada di teluk serta-merta lari berhamburan ke arah lenyapnya kuda penarik delman tadi. Mereka lari menuju rumah kediaman Ageng Lontar, juragan ikan yang memiliki belasan perahu sekaligus juragan ternak yang mempunyai puluhan kerbau dan sapi, belum lagi kambing, itik, dan ayam. Di kaki bukit sebelah timur sawahnya puluhan petak. Ageng Lontar memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan. Dia terkenal bukan saja karena kekayaannya, tetapi karena sikap pemurahnya kepada orang-orang yang bekerja untuknya, juga orang-orang lain yang sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan apa saja. Karena itulah penduduk setempat telah sama-sama bersepakat umuk memilihnya sebagal kepala desa pada pergantian jabatan bulan di muka.
Ketika nelayan-nelayan teluk Parang Tritis itu sampai di rumah kediaman Ageng Lontar, halaman rumah itu telah penuh dengan kerumunan manusia. Selusin lelaki tampak menjirat leher dan empat kaki kuda coklat hingga binatang yang tadi seperti gila ini kini angsrok ke tanah tak berkutik. Dan di dalam delman yang tersungkur miring ke tanah, tampaklah pemandangan yang mengerikan.
Seperti yang sebelumnya dilihat dan diterangkan bocah bernama Kambali, di dalam delman menggeletak tiga sosok tubuh bersimbah luka dan darah mulai dari kepala hingga ke tubuh. Meskipun wajah-wajah itu rusak mengerikan, namun semua orang masih dapat mengenali dengan jelas siapa adanya ketiga orang itu.
Yang pertama, yang menggeletak paling bawah lantal delman adalah Ageng Lontar sendiri. Pakaiannya yang berwana kelabu tampak merah dan basah oleh darah. Pakaian itu robek-robek di beberapa tempat menyingkapkan luka-luka mengerikan. Muka Ageng Lontar seperti dicincang. Hancur mengerikan. Hidungnya hampir sumplung dan salah sebuah dari matanya tak ada lagi di rongganya.
Orang kedua yang bernasib malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Luka-luka pada wajahnya tidak seberapa dan tubuhnya hampir seperti tidak berpakaian lagi. Mungkin dirobek sebelum atau sesudah dia dibunuh. Dan berat dugaan orang banyak, perempuan yang jauh lebih mudah dari Ageng Lontar ini telah diperkosa karena pakaiannya di sebelah bawah tersingkap menusuk mata.
Korban ketiga yang menggeletak di lantai delman sebelah depan adalah pemuda yang dikenal dengan nama Jajamat, orang yang telah bekerja lebih dari lima tahun sebagai kusir kereta keluarga Ageng Lontar.