Header Ads

Niagahoster

WS039 - Kelelawar Hantu

Pantai Utara tampak tenang di penghujung sore. Di sebuah teluk yang lengang, sekelompok burung-burung kelelawar terbang kian ke mari. Sebentar mereka terbang ke arah selatan, sesekali melayang ke timur atau ke barat dalam bentuk kelompok yang selalu berubah-ubah dan setiap perubahan mempunyai daya tarik tersendiri.

Serial Wiro Sableng

Angin laut bertiup menebar udara lembab mengandung garam. Seorang tua berwajah angker tampak duduk di atas sebuah batu hitam berlumut di tepi pantai. Rambutnya yang putih panjang sebahu melambai-lambai ditiup angin. Kedua matanya terpejam, sedang sepasang tangan dirangkap di depan dada. Setiap saat ombak memecah di pantai dan menghantam batu berlumut itu, air laut muncrat membasahi tubuh dan pakaian bahkan terkadang sampai ke muka orang tua bertampang angker ini. Namun seperti tidak merasakan atau tidak peduli, dia tetap saja duduk tidak bergerak. Sepasang matanya yang terpejam juga tidak berkedip sedikit pun dan rahangnya yang tertutup cabang bawuk liar terkatup rapat.

Di udara burung-burung kelelawar masih terus terbang berputar-putar. Di atas batu hitam berlumut, orang tua yang duduk seolah-olah tengah bersemadi itu perlahan-lahan membuka kedua tangannya yang dirangkapkan di depan dada. Yang sebelah kiri diletakkan di atas paha kiri sedang yang kanan diangkat ke atas dengan telapak terbuka menghadap ke langit. Bibirnya yang berwarna hitam tampak bergetar. Agaknya ada sesuatu yang dilafalkannya. Mungkin sekali suatu mantera.

Ketika pergelangan tangannya diputar-putar, di udara terjadi keanehan. Burung-burung kelelawar yang tadinya melayang-layang di udara tanpa suara, kini terdengar mencuit-cuit riuh sekali. Binatang-binatang itu tampak terbang kian ke mari secara liar berserabutan. Sesuatu telah membuat mereka berubah ganas.

Setelah beberapa lama hal itu berlangsung, orang tua di atas batu turunkan tangan kanannya perlahan-lahan. Namun setengah jalan digerakkan cepat sepert orang menangkap sesuatu. Lalu tangan kanan yang kini tergenggam dipukulkan ke paha kanan.

Dari puluhan burung kelelawar yang terbang hiruk pikuk di udara, salah seekor di antaranya mendadak tampak menukik ke bawah seperti dibetot oleh satu kekuatan yang tak terlihat. Binatang ini jatuh tepat di pangkuan orang tua yang duduk di atas batu.

Sesaat burung ini menggelepar-gelepar seperti hendak putus nyawa lalu diam tak berkutik seperti sudah mati. Hanya sepasang matanya saja tampak membeliak menyorotkan sinar menggidikkan, berwarna hitam pekat.

Sepasang mata orang tua di atas batu perlahan-lahan tampak bergerak dan membuka. Begitu terbuka kelihatanlah dua mata berwarna merah, membersitkan sinar aneh. Dua pasang mata saling bentrokan. Dua pasang mata saling beradu pandang. Yang pertama sepasang mata binatang, satunya lagi sepasang mata manusia yang menyala seperti bara.

Sekelumit senyum muncul di wajah orang tua itu. Senyuman ini justru membuat wajahnya jadi tambah menyeramkan.

"Bagus...!" terdengar si mata merah ini keluarkan suara di antara desauan angin laut. "Kau telah datang menghadapku, Datuk Teluk Ular. Bersiaplah menerima perubahan wujud! Bersiaplah menjalankan perintah!"

Selesai berucap orang tua yang menyebut dirinya sebagai Datuk Teluk Ular itu genggam kepala kelelawar dengan tangan kirinya. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantera. Bersamaan dengan itu sekujur tubuhnya bergetar seperti kedinginan. Tapi anehnya dari ubun-ubun serta tangan kiri yang menggenggam kepala burung kelelawar tampak keluar mengepul asap tipis berwarna kehitaman.

Begitu mantera selesai dibaca, asap hitam mulai menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Lalu perlahan-lahan orang tua bertampang angker itu buka genggaman tangan kirinya. Terlihat kepala kelelawar telah berubah menjadi satu makhluk mengerikan. Bukan saja kepala binatang menjadi dua kali lebih besar dari semula, tetapi telinganya pun menjadi lebih panjang sedang sepasang matanya yang tadinya berwarna hitam pekat, kini telah berubah menjadi merah menyala laksana bara api. Di ujung-ujung bibirnya mencuat keluar sepasang taring panjang yang sangat runcing. Sayapnya lebih lebar dan lebih panjang.

Datuk Telur Ular menyeringai puas.

"Wujudmu telah berubah. Apakah sudah siap menjalankan perintah?"

Seperti manusia yang mendengar dan mengerti ucapan si orang tua, burung kelelawar di atas pangkuan itu membuka mulutnya dan keluarkan suara mencuit tiga kali berturut-turut.

"Bagus!" ujar Datuk Teluk Ular. "Kesiapanmu harus kuuji! Lihat burung-burung kelelawar yang beterbangan di udara sana. Tadi mereka adalah kawan-kawanmu, tapi sekarang tidak. Mereka adalah musuh-musuhmu. Bunuh mereka semua! Jangan biar satupun hidup! Bunuh dengan taringmu, dengan hantaman sayapmu serta dengan kuku-kukumu yang panjang!"

"Cuit...cuit...cuit...!" Burung kelelawar di atas pangkuan menyahuti. Sepasang matanya tampak lebih menyala dan keseluruhan wajah binatang ini membersitkan hawa pembunuhan.

"Lakukan!" Datuk Telur Ular memerintah.

Kelelawar yang tadi rebah itu melompat bangkit, buka mulutnya memperlihatkan barisan gigi dan taring yang runcing, rentangkan sayap lalu menguik keras. Dilain kejap, werrr..., binatang ini melesat ke udara seperti anak panah. Sesaat kemudian dia sudah mencapai kelompok kelelawar yang masih terbang berputar-putar di atas teluk. Dan terjadilah satu hal yang hebat.

Powered by Blogger.