WS038 - Iblis Berjanggut Biru
Dua pemuda berpakaian kelabu dan sama menunggang kuda hitam, memacu kuda masing-masing menuju ke timur. Di belakang, di arah punggung mereka sang surya yang hampir tenggelam membersitkan sinar kuning merah. Ratusan kelelawar terbang berputar-putar di arah selatan lalu lenyap di balik ketinggian pohon-pohon jati di puncak bukit kecil.
Pemuda yang menunggang kuda di samping kiri bertubuh ramping semampai, memiliki kehalusan kulit seperti perempuan. Kepalanya dibungkus dengan sehelai kain berwarna merah. Kawannya seiring berbadan tegap. Dadanya yang berbulu tersembul di balik bajunya yang tidak berkancing.
Memasuki jalan yang agak mendaki di lereng bukit, kuda tunggangan pemuda berikat kepala merah tiba-tiba saja seperti ditarik oleh satu kekuatan dahsyat dari belakang hingga binatang ini berhenti berlari. Kalau saja penunggangnya tidak cekatan dan sigap merangkul leher kuda itu, niscaya dia akan terlempar.
"Hai...! Ada apa denganmu, Wesi Ireng?" si pemuda menegur kuda tunggangannya lalu mengusap-usap leher binatang itu.
"Kudamu berlaku aneh," berkata pemuda bertubuh tegap. Namun dia sendiri menjadi kaget ketika mendadak kuda tunggangannya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
"Tenang! Tenang, Panah Ireng!" pemuda ini berusaha menenangkan kudanya yang bernama Panah Ireng. Dia memandang berkeliling. "Aneh, tak biasanya Panah Ireng berlaku seperti ini."
"Wesi Ireng juga tak biasa-biasanya begini..." Baru saja pemuda itu berkata begitu, kudanya pun ikut-ikutan meringkik. Dia memandang berkeliling. "Aneh, tak ada binatang buas, mengapa binatang-binatang ini seperti ketakutan?"
Setelah diam sejenak, pemuda bertubuh tegap berkata, "Sudahlah Ratih, tak perlu dirisaukan. Mari kita melanjutkan perjalanan. Tujuan masih jauh. Mungkin baru besok pagi kita sampai di Tegal Jenar."
"Betul Mas Danu. Mari kita lanjutkan perjalanan!" kata pemuda yang dipanggil dengan nama Ratih, yang ternyata adalah seorang perempuan berpakaian seperti lelaki.
Kedua orang itu menyentakkan tali kekang kuda masing-masing dan siap untuk meneruskan perjalanan. Tapi benar-benar aneh. Keempat kaki kuda itu seolah-olah seperti dipantek ke tanah. Lehernya mengulur-ulur ke depan seperti mengumpulkan tenaga berusaha untuk maju dan lari. Tapi tubuh dan kaki tak bisa digerakkan.
"Hatiku jadi tak enak, Mas. Jangan-jangan..."
Baru saja Ratih berkata begitu, di depan mereka, dari arah atas terdengar suara orang mendehem dua kali berturut-turut. Ratih dan Danupaya mendongak mengangkat kepala. Memandang ke depan, di atas sebuah cabang pohon besar di tepi jalan di depan mereka tampak duduk bersandar ke batang pohon seorang lelaki muda berpakaian biru. Meskipun muda, tapi dia memiliki janggut lebat. Tidak seperti lazimnya janggut yang biasanya berwarna hitam atau memutih bila orangnya sudah tua, maka janggut pemuda ini berwarna biru.
Pemuda berkening tinggi dengan rahang menonjol berjanggut biru itu memiliki sepasang mata sangat tajam, seperti hendak menembus setiap benda yang dipandangnya, tanpa berkesip memperhatikan dua penunggang kuda di bawah pohon.
"Mas Danu!" bisik Ratih. "Mungkin orang di atas pohon itu yang membuat kuda-kuda kita ketakutan dan tak berani bergerak maju."
"Mungkin," bisik Danupaya pula. "Tapi mungkin juga binatang ini bukannya ketakutan melainkan seperti ditenung hingga tidak bisa bergerak. Aku barusan meneliti. Binatang ini sama sekali tidak kena ditotok."
"Kau kenal orang di atas pohon itu?" bertanya Ratih.
"Baru sekali ini aku melihatnya. Sikapnya dingin dan angkuh. Aku akan menegurnya."
"Biar aku yang menegurnya!" ujar Ratih yang sejak tadi sudah merasa jengkel melihat sikap orang berjanggut biru di atas pohon. Caranya duduk dan sikapnya mendehem tadi jelas orang itu telah melakukan sesuatu hingga kudanya dan kuda Danupaya tidak mampu bergerak maju.
"Orang di atas pohon, apakan ada sesuatu yang membuatmu menghalangi perjalanan orang?" Ratih berseru. Suaranya keras dan sama sekali terdengar tidak seperti suara perempuan. Jelas gadis ini menyusupkan tenaga dalam pada jalan suaranya.
Pemuda berjanggut biru di atas pohon masih tetap memandang tak berkesip. Bibirnya tampak bergerak. Tapi bukan untuk menjawab pertanyaan orang melainkan meludah ke tanah.
"Kurang ajar sekali dia. Ditanya malah meludah!" desis Danupaya. "Ki sanak, apakah kau tidak mendengar kawanku bertanya? Atau kau memang tak mau menjawab?"
"Tuduhan busuk! Apakah kawanmu itu ada bukti bahwa aku menghalangi perjalanan kalian?" Pemuda berjanggut biru di atas pohon keluarkan jawaban. Suaranya tandas tapi bernada tinggi menandakan satu kecongkakan.
"Memang kami tidak punya bukti. Tapi mengapa binatang-binatang ini berlaku aneh dan tak mampu berjalan pada saat kau berada di atas pohon sana?"
Si pemuda berpakaian dan berjanggut biru tertawa bergelak. "Kalian bodoh! Tapi cukup cerdik."
"Jadi betul kau yang melakukan sesuatu terhadap kuda-kuda kami?" tanya Ratih.
"Perempuan memang paling bawel di dunia ini!" Pemuda di atas pohon berkata.Paras Ratih menjadi berubah. "Astaga...! Dia mengenali diriku," membatin sang dara.
"Siapa kau sebenarnya?" Ratih bertanya dengan membentak dan galak.
"Kau tak layak bertanya!" balas menghardik orang yang dibentak.
"Kalau begitu biarkan kami meneruskan perjalanan!" berkata Danupaya.
"Silahkan kalau bisa!" jawab si janggut biru.
Danupaya menyentakkan tali kekang kudanya sementara Ratih menggebrak pinggul kudanya. Tapi kedua binatang itu tetap saja tidak dapat bergerak maju apalagi berlari.