WS037 - Maut Bermata Satu
Hujan lebat menggebrak bumi. Guntur menggelegar berkepanjangan. Kilat sambar-menyambar. Bumi Tuhan seperti hendak kiamat. Saat itu baru lepas tengah hari, tapi hujan lebat, gumpalan awan menghitam membuat suasana seperti dicengkram gulitanya malam.
Karena sulit melihat jalan yang ditempuh, apalagi mulai mendaki dan berbatu-batu, penunggang kuda itu tidak berani bergerak cepat. Sesekali binatang tunggangannya yang sudah letih itu tergelincir dan meringkik. Suara ringkik kuda, deru hujan yang menggila, gelegar guntur dan kiblatan kilat membentuk suara dahsyat yang menegakkan bulu roma.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba beberapa tombak di hadapannya, di jalan yang mendaki dan berbatu cadas, penunggang kuda itu melihat cahaya, tepatnya nyala api. Sungguh sulit dipercaya, dan lebih tak dapat dipercaya lagi ketika dia mendekati nyala api itu ternyata adalah nyala sebuah obor. Obor ini dipegang oleh seorang anak kecil seusia dua belas tahun, berpakaian hitam, basah kuyup mulai dari rambutnya yang jabrik sampai ke kakinya yang memakai terompah aneh terbuat dari kayu. Meskipun hanya seorang anak, tapi bocah itu menyorotkan tampang galak. Sepasang matanya melotot tak berkesip ke arah si penunggang kuda. Obor di tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Lalu terdengar suaranya membentak melengking.
"Berhenti!"
Kaget dan marah si penunggang kuda hentikan tunggangannya.
"Budak kesasar!" bentaknya. "Siapa kau yang berani menyuruh aku berhenti?"
Si anak tetap tidak kedipkan mata, malah memandang semakin galak.
"Kau sendiri siapa berani membentak?" Si anak membalas bentakan orang dengan suara tandas.
Marahlah penunggang kuda itu. Dia menarik tali kekang kudanya. Binatang ini membuat gerakan miring seolah-olah hendak berbalik menjauhi anak tadi, tapi tiba-tiba kaki kanannya sebelah belakang menendang deras ke arah dada anak yang membawa obor.
Wuuuttt...!
Sekali kaki kuda berladam itu mendarat di dada si anak pastilah tubuhnya akan mental jauh, terjengkang mati dengan dada hancur sampai ke jantung. Tapi anehnya, mendapat serangan seperti itu si anak sama sekali tidak berusaha menghindar atau melompat menyelamatkan diri. Dia tetap tegak di tempatnya tidak bergerak sedikit pun. Bahkan bergeming pun tidak. Malah sepasang matanya seperti menyala.
Tiba-tiba anak ini gerakkan kaki kanannya, membuat gerakan seperti menendang. Dan terjadilah satu hal yang luar biasa. Kuda bersama penunggangnya tersungkur jungkir balik di atas jalan berbatu-batu itu.
Sambil berdiri memegangi kepalanya yang benjut, penunggang kuda tadi memandang ke arah si bocah pemegang obor. Kini rasa marahnya berubah menjadi rasa was-was, bahkan cemas dan takut menyamaki hatinya.
"Anak! Siapa kau sebenarnya?"
Ditanya begitu si anak tertawa panjang.
"Kenal pun tidak dengan kau. Mengapa menghadang perjalananku?"
Si anak kembali tertawa. Lalu menjawab. "Kenalpun tidak. Lalu mengapa membentak dan memanggil aku budak? Pernah bekerja apa aku padamu?"
"Sikapmu tidak pantas untuk ukuran bocah sepertimu!"
"Begitu...? Huh...! Mulutmu lancang! Apakah kau tidak tahu tengah berada di kawasan terlarang?"
Penunggang kuda tadi terkesima. "Apa maksudmu, anak?" tanyanya.
"Kau membuat dua kesalahan," si anak berkata dengan nada dingin.
"Heh...!"
"Pertama, memasuki daerah terlarang. Kedua, tadi kau sengaja mempergunakan kudamu untuk menyerangku. Satu serangan maut. Hukuman setimpal harus dijatuhkan atas dirimu!"
"Aku benar-benar tidak mengerti."
"Kau tidak mengerti karena tidak tahu diri dan memang tolol!"
Dimaki anak kecil seperti itu, penunggang kuda yang berumur sekitar 40 tahun itu ingin sekali menamparnya. Namun diam-diam dia memaklumi kalau berhadapan dengan seorang bocah aneh yang memiliki kepandaian aneh pula. Buktinya tadi, hanya dengan menggerakkan kaki kanannya saja, kuda tunggangan dan dirinya dibuat tersungkur jungkir balik.
"Kau...kau menyebut ini daerah terlarang. Apakah kau murid atau puteranya Tubagus Jelantik?"
"Heh...! Kau menyebut nama itu seolah kenal sekali dengan orangnya! Apakah kau juga tahu siapa gelar orang itu?" Anak berpakaian hitam pemegang obor bertanya. Sejak tadi tangannya yang memegang obor tetap diangkat tinggi-tinggi, seolah-olah kaku tak bergerak-gerak. Sementara itu hujan terus turun mendera.
"Tubagus Jelantik bergelar Maut Bermata Satu. Bukankah begitu?"
Si anak tertawa. Untuk pertama kalinya tangannya yang memegang obor diturunkan sedikit, tapi tiba-tiba diangsurkan ke arah muka orang itu hingga kalau tidak lekas-lekas menghindar, wajahnya pasti akan dijilat api obor. Si anak tampak menyeringai melihat orang mundur ketakutan.
"Kau sudah dengar ini daerah terlarang. Kau tahu tentang seorang bergelar Maut Bermata Satu. Berarti memasuki daerah terlarang harus dibayar dengan maut. Kau harus serahkan nyawamu untuk membayar kesalahan!"
"Anak...kau dengar baik-baik. Aku mungkin memang telah memasuki daerah terlarang, daerah kekuasaan Maut Bermata Satu. Tapi ketahuilah aku datang kemari justru untuk mencarinya."
"Begitu...?" Si bocah berambut jabrik mendongak ke langit. Sesaat air hujan membasahi mukanya yang galak. "Mungkin dosamu bisa diampunkan. Untuk itu kau harus serahkan kudamu padaku!"
Tanpa pikir panjang orang itu segera menjawab, "Kau boleh ambil kuda itu. Sekarang biarkan aku melanjutkan perjalanan ke puncak bukit batu ini!"
Si anak menyeringai. Dia menganggukkan kepala dan berkata, "Kau boleh lewat!"
Dengan cepat orang yang tadi dihadang itu melangkah mengikuti jalan berbatu yang mendaki. Sesaat kemudian dia telah berada jauh di sebelah depan. Nyala api obor di belakangnya, ketika dia menoleh, tak tampak lagi.