Pluralisme Agama, Gagasan Orang Dungu
Gagasan pluralisme agama - yaitu paham yang menganggap semua agama itu sama karena berasal dari Allah - sebenarnya berasal dari faham rusak Ibnu Arabi yaitu wihdatul adyan (penyatuan semua agama), yang diikuti secara taklid oleh orang-orang JIL di negeri ini.
Agama Kristen (Katholik dan Protestan) – serta ratusan bahkan ribuan sekte yang berasal darinya – jelas bukan ajaran yang berasal dari Allah melalui Nabi Isa 'alaihissalam. Tetapi, ajaran agama yang dibawa oleh – antara lain – Paulus dengan cara merusak ajaran agama yang dibawa Nabi Isa 'alaihissalam.
Begitu juga dengan agama Konghucu, Budha, Hindu, Shinto dan sebagainya, bukanlah ajaran agama yang berasal dari Allah.
Pernikahan antara lelaki Muslim dengan wanita ahlul kitab, kini sudah tidak lagi bisa dilaksanakan, karena ahlul kitab sudah tidak ada, mereka ada yang masuk Islam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW, ada juga yang mengikuti ajaran Paulus dan nabi sesat lainnya, sehingga mereka tidak lagi masuk ke dalam kategori ahlul kitab sebagaimana dimaksudkan al-Qur’an.
Mengapa gagasan pluralisme agama disebut sebagai gagasan orang dungu? Cobalah simak ilustrasi berikut ini:
Seorang Direktur Pemasaran sebuah produk sabun merek Kelinci mengatakan, "Ibu-ibu yang terhormat, pada dasarnya semua sabun adalah sama, jadi ibu-ibu boleh pilih sabun yang mana saja, yang penting dapat membersihkan."
Memang pada dasarnya sabun untuk membersihkan, namun pernyataan Direktur Pemasaran sabun merek Kelinci tadi, jelas merupakan pernyataan orang dungu.
Apalagi bila ia justru berkata, "Sabun merek Kelinci ini bukanlah satu-satunya yang terbaik, sebab sabun merek lain pun boleh jadi sama baiknya atau bahkan lebih baik, oleh karena itu, ibu-ibu tidak selalu harus menggunakan sabun Kelinci tetapi gunakanlah sabun merek lain itu."
Sedangkan Islam sebagai agama terbaik, bukan pendapat manusia, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang mengatakannya.
Gagasan pluralisme agama ini terutama disosialisasikan oleh tokoh-tokoh pengajar dari UIN (Universitas Islam Negeri) alias IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Seharusnya mereka dilarang mengajar apalagi sampai menjabat Rektor di UIN maupun IAIN, karena UIN dan IAIN adalah lembaga pendidikan tinggi agama Islam.
Seharusnya, mereka bikin perguruan tinggi tersendiri, misalnya UAAN (Universitas Antar Agama Negeri) atau IAAN (Institut Antar Agama Negeri). Atau kalau memang gentle bikinlah UAAIN (Universitas Anti Agama Islam Negeri) dan IAAIN (Institut Anti Agama Islam Negeri).
Masalahnya, mereka disamping dungu dan keras kepala, juga tidak gentle.
Sebenarnya masalah pluralitas di kalangan Islam tidak masalah. Jamaah NU tidak ada hambatan apapun shalat di masjid orang-orang Muhammadiyah dan sebagainya. Begitu juga sebaliknya.
Kalau toh ada eksklusivitas, itu biasanya terjadi di kalangan aliran sesat seperti LDII (Islam Jama’ah), Ahmadiyah Qadian, dan sejenisnya. Mesjid mereka tertutup bagi kalangan di luar mereka. Pernikahan pun hanya terjadi di antara sesama mereka.
Yang juga eksklusif dan tidak pluralis adalah agama Kristen. Orang Katholik tidak mau disamakan dengan orang Kristen Protestan, mereka beribadah di gereja masing-masing. Bahkan orang Katholik menyebut dirinya "Katholik" saja tanpa embel-embel Kristen, berbeda dengan "Kristen Protestan" yang masih menempelkan Kristen sebelum sekte Protestannya.
Orang Katholik tidak dibenarkan menikah dengan Kristen Protestan meski sama-sama bertuhankan Yesus. Apalagi dengan agama lain.
Di dalam Kristen terdapat ratusan bahkan ribuan sekte yang masing-masing punya gereja sendiri. Jemaat gereja Bethel tidak beribadah di gereja Nehemia, begitu seterusnya. Bahkan pernikahan pun demikian, sebisa mungkin terjadi di antara jemaat satu gereja.
Berbeda dengan Kristen yang eksklusif, agama-agama kebudayaan seperti Hindu, Budha, Kong Hucu, terkesan longgar. Mereka tidak keberatan ritual keagamaannya dijadikan objek wisata. Bahkan penganut agama lain pun, bila ingin menikah dengan tata cara (ritual) agama mereka, boleh-boleh saja. Pernah terjadi, Mick Jagger dedengkot The Rolling Stone menikah di salah satu negara Asia dengan menggunakan tat cara cara (ritual) agama mayoritas di negeri tersebut. Padahal kedua mempelai bukanlah penganut agama tersebut.
Masih ingat ketika Megawati bersembahyang di Pura? Padahal ia bukan penganut Hindu. Pendeta dan masyarakat Hindu di Bali tidak marah, malahan mereka senang sekali. Sampai-sampai, ketika AM Saefuddin meledek Megawati, orang-orang Hindu bukannya marah kepada Megawati tetapi justru kepada AM Saefuddin. Padahal, seharusnya mereka berterima kasih, bukannya marah kepada AM Saefuddin. Kasihan sekali!
Nadya Putri Mualka