Header Ads

Niagahoster

Gajahmada

Perjalanan sejarah berlangsung sangat panjang dan tak diketahui di mana ujungnya. Ada dua wangsa yang tercatat dan keberadaan mereka ditandai dengan megah dalam wujud candi Borobudur di arah barat Gunung Merapi dan candi Jonggrang di Prambanan di arah selatan gunung itu pula. Garis keturunan Syailendra dan garis keturunan Sanjaya silih berganti menyelenggarakan pemerintahan. Agama Hindu dan Buddha marak mewarnai kehidupan segenap rakyatnya. Hukum ditegakkan, negara dalam keadaan gemah ripah loh jinawi.

Pentalogi Gajahmada

Dari prasasti Balitung ditulis bahwa Medang Ri Pohpitu atau Medang di Pohpitu, Raja Mataram yang pertama adalah Sanjaya, disusul oleh Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watu Humalang, dan Balitung. Pada prasasti Canggal tertulis bahwa pada tahun Saka yang telah lalu dengan ditandai angka Caka Cruti Indria Rasa, pada hari Senin, hari baik, tanggal tiga belas bagian terang bulan Kartika, sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda di bukit yang bernama Stirangga untuk keselamatan rakyat.

Perjalanan waktu mengubah segalanya. Pemerintahan di tanah Jawa Dwipa bergeser ke arah timur, ada Isyana yang meninggalkan jejak amat jelas bersamaan dengan Warmadewa di Bali dan Sriwijaya di Sumatra. Sejak berkuasanya Sindok, Jawa bagian timur menggantikan Jawa wilayah tengah di atas panggung sejarah. Empu Sindok dan keturunannya banyak meninggalkan prasasti, berturut-turut sampai pada garis keturunan berikutnya, SriDharmawangsaTeguh Anantawikramatunggadewa, yang memerintah dengan aman dan damai negara Medang Kamulan.

Manakala Sri Dharmawangsa pralaya, Airlangga berhasil meloloskan diri serta membangun kembali reruntuhan pemerintahan. Tahun 1019, atau dalam sengkalan Gatra Candra Maletik Ing Sasadara, oleh para pendeta Buddha, Siwa, dan Hindu, Airlangga dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangsa. Pemerintahan Airlangga benar-benar memberikan air kehidupan bagi segenap rakyatnya. Namun, sebuah kekeliruan telah dilakukan oleh Airlangga yang mengesampingkan persatuan dan kesatuan dengan membelah kerajaan menjadi dua. Sri Sanggramawijaya, sang pewaris takhta yang ternyata tidak bersedia dinobatkan menjadi raja, mendorong Airlangga untuk bertindak adil atas dua anaknya yang lain. Kahuripan dibelah menjadi Jenggala yang beribu kota di Kahuripan dan Panjalu yang beribu kota di Daha. Sebagaimana terlihat dari jejak-jejaknya, Jenggala tidak mampu berkembang menjadi negara yang besar. Jenggala lenyap dari percaturan sejarah, sebaliknya Panjalu atau Kediri masih meninggalkan jejak kemegahannya.

Berturut-turut Sri Jayawarsa Digdaya Castraprabu, dilanjutkan oleh Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuawanatustikirana Sarwaniwaryawirya Parakramadigdayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Candrakapala berwujud tengkorak dengan taring. Selanjutnya, pemerintahan Prabu Jayabhaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Dharmmecwara Madhusudanawataranindhita Suhrtsingha Parakramma Digjayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Narasingha. Jayabhaya digantikan Sarwecwara, selanjutnya digantikan Sri Aryyeccwara yang menggunakan Ganeca sebagai lambangkekuasaan. Ketika Aryyeccwara surut digantikan Sri Gandra yang bergelar Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handhabuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Sri Gandra. Pemerintahan Sri Gandra berakhir, dilanjutkan oleh Raja Crngga yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarwwecwara Triwikramawataranindita Crnggalancana Digwijayotunggadewa, yang menggunakan Changka atau kerang bersayap sebagai lambang kerajaan.

Raja Kediri terakhir, Sri Kertajaya, menggunakan lambang Garudhamuka sebagaimana Airlangga, leluhurnya. Akan tetapi, Sri Kertajaya menganggap dirinya sebagai penjelmaan dewa dan meminta kepada para Brahmana, pendeta Siwa dan Buddha untuk menyembahnya. Para pemuka agama tak bisa menerima perlakuan itu dan merestui Ken Arok, maling kecil dari Karautan untuk melakukan makar setelah dengan gemilang berandalan ini merampok kekuasaan Tumapel melalui kelicikan otaknya.

Nasib Kertajaya berakhir ketika Ken Arok mengalahkannya dalam pertempuran yang amat berdarah di Ganter. Sejak itu garis keturunan Ken Arok mulai berkibar sekaligus banyak diwarnai peristiwa berdarah. Keris Empu Gandring berbicara atas nama dendam. Berturut-turut mati tertikam oleh keris dengan pamor berbau amarah itu: Empu Gandring sang pencipta keris itu sendiri, disusul Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel yang beristrikan Sang Ardhanareswari yang cantik jelita, Ken Dedes. Selanjutnya, mati menyedihkan Kebo Ijo yang menjadi korban fitnah dan kelicikan Ken Arok ketika mengangkat diri sendiri menjadi Akuwu di Tumapel dan nantinya menjadi raja pertama di Singasari bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi. Ken Arok menjadi korban keganasan keris yang sama, ia harus menggeliat sekarat dibunuh Batil Pengalasan utusan Anusapati. Batil Pengalasan membayar dengan nyawanya karena Anusapati tidak ingin rahasianya terbongkar, disusul kemudian oleh kematian Anusapati dalam permainan adu jago melalui tikaman yang tidak terduga yang dilakukan oleh Tohjaya, anak Umang. Terakhir, Tohjaya harus membayarnya melalui kematian yang hina, Raja Singasari ini dibunuh oleh pengangkat tandunya sendiri setelah Singasari diterjang banjir bandang akibat gempuran gabungan kekuatan Ranggawuni, anak Anusapati dan Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong A Teleng.

Pemerintahan yang terjadi banyak diwarnai dengan perebutan kekuasaan dan persaingan. Antara garis keturunan Ken Dedes dan Ken Umang saling mengintip celah untuk saling menjatuhkan, serta kemungkinan Kediri bakal bangkit kembali dan menusuk dari arah belakang. Kertanegara lengah. Ketika segenap prajurit dia kirim ke Pamalayu, bagaikan banjir bandang prajurit Kediri menyerang Singasari. Pasukan yang ada tak sanggup membendung serbuan pasukan Jayakatwang. Raden Wijaya, anak Lembu Tal, cucu Mahisa Cempaka yang menjadi menantu Kertanegara mencoba menyusun kembali puing-puing pilar pemerintahan yang runtuh. Di bumi Tarik, Raden Wijaya memulai babat hutan, dan dinamailah tempat itu Majapahit hanya oleh sebuah alasan didapat buah maja yang terasa pahit. Majapahit juga berarti Wilwatikta. Atas dukungan para pendeta, Brahmana Buddha dan Syiwa, Raden Wijaya naik takhta bergelar Kertarajasa Jayawardhana.

Majapahit tumbuh dan berkembang, tetapi tetap saja diwarnai dengan banyak makar yang berawal dari ketidakpuasan. Ranggalawe yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa bukan ia yang diangkat menjadi Mahapatih memilih mengangkat senjata. Kidung Ranggalawe bertutur bagaimana Kebo Anabrang berhasil membunuh Ranggalawe. Dalam kidung Sorandaka diceritakan pula bagaimana Kebo Anabrang mampu meredam pemberontakan Sora. Nambi dan ayahnya mengangkat senjata dengan membuat beteng di Pajarakan, tetapi Pajarakan dan Lumajang dapat digilas. Nambi dan segenap keluarganya ditumpas. Di Lasem, Ra Semi juga mengangkat senjata memerdekakan diri, mencoba meniru yang dilakukan Ken Arok terhadap Kertajaya di Kediri.

Hingga akhirnya tibalah kini, para Rakrian Dharma Putra Winehsuka melakukan makar.

Langit Kresna Hariadi


Powered by Blogger.