Bergelut Dalam Kemelut Takhta dan Angkara
Sekar Kedaton, sangatlah sesuai dengan wujudnya yang memang cantik. Itulah Dyah Wiyat yang punya alasan untuk gelisah. Benda bernama cermin yang mampu memantulkan wujudnya lebih nyata dan lebih sempurna daripada permukaan jambangan yang penuh air membuat hatinya gelisah. Bukan cermin itu yang membuatnya resah, tetapi orang yang menghadiahi benda itu.
Dan, emban yang bersimpuh di depannya menatap Sekar Kedaton dengan cemas. Ia layak cemas karena telah menyembunyikan sebuah keterangan yang penting. Emban itu tidak mengatakan siapa pemberi cermin itu sebenarnya.
"Sudah lama ia pergi?" Sekar Kedaton mempertegas.
Emban di depannya menyembah.
"Belum lama, Tuan Putri," jawabnya. "Dengan berjalan kaki mungkin baru saja melintas pintu gerbang Purawaktra. Masih belum jauh."
Sekar Kedaton mondar-mandir tak tahu bagaimana harus mengambil sikap. Namun, sebuah tindakan memang harus diambil, apakah dengan membiarkan orang itu pergi atau menyusulnya. Ke depan Sekar Kedaton dihadapkan pada kenyataan, lelaki yang kini menjadi suaminya, apakah akan dikuasainya sendiri atau dimiliki berbagi dengan orang lain.
Sekar Kedaton memutuskan mengambil salah satu di antaranya. Maka, sejenak kemudian dari halaman belakang istana berderap seekor kuda yang berlari kencang. Para prajurit tak tahu siapa orang berkuda yang berpacu bagai kekurangan waktu itu. Atau, bila prajurit itu tahu penunggang kuda itu adalah Dyah Wiyat, apalah yang bisa dilakukan.
Matahari di barat sangat benderang menyilaukan mata, namun Dyah Wiyat tak peduli. Debu mengepul tebal ketika Sekar Kedaton melintas Purawaktra. Sekar Kedaton tak peduli meski beberapa prajurit penjaga gerbang berteriak-teriak memintanya berhenti.
Nun jauh di barat setelah melintas Purawaktra, Dyah Wiyat akhirnya melihat dua orang yang berjalan kaki berdampingan. Dyah Wiyat yang akhirnya berhasil menandai orang itu benar...
-=oOo=-
Duka membayang di kaki langit, duka sekali lagi membungkus Majapahit.
Ada banyak hal yang dicatat Pancaksara,1 banyak sekali. Kesedihan kali ini terjadi bagai pengulangan peristiwa sembilan belas tahun yang lalu, yang ditulisnya berdasar kisah yang dituturkan ayahnya, Samenaka, karena ketika peristiwa itu terjadi Pancaksara masih belum bisa dibilang dewasa.
Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purawaktra yang tidak dijaga terlampau ketat. Segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa Jayawardhana.
Segenap kawula yang mencintai rajanya memang amat berharap raja akan sembuh dan kembali memimpin negara menuju kejayaan yang lebih bercahaya dan cemerlang. Akan tetapi, Hyang Widdi mempunyai kehendak lain. Napas Sang Prabu makin tersengal, tarikannya kian tersendat, kesadarannya makin berkurang seiring sakit yang diderita yang tak tersembuhkan. Para tabib yang didatangkan untuk menyembuhkan Sang Prabu angkat tangan tanda menyerah.
Kalagemet yang ketika itu masih bocah, berdiri bersandar tiang saka dan terlihat pucat, sementara kegelisahan terbaca jelas dari wajah para ibundanya. Ibu Permaisuri Tribhuaneswari menelungkupkan wajah di sudut pembaringan dengan tangan kanan tidak henti-hentinya membusai rambut ikal Sang Prabu. Cinta Permaisuri kepada Raja demikian besar dan mendalam sehingga bayangan perpisahan yang akan terjadi demikian menakutkan. Bagaimana tidak, perjalanan hidup yang dijalani bersama terlalu banyak menyimpan cerita. Dimulai ketika Singasari tidak bisa dipertahankan lagi akibat gempuran Kediri di bawah Jayakatwang, Sang Prabu Kertanegara yang melihat negara mustahil dipertahankan menyerahkan keselamatan anak-anaknya kepada Raden Wijaya. Pontang-panting Raden Wijaya8 mengatur penyelamatan meloloskan diri. Lalu, disusul perjuangan berikutnya yang tak kalah berat, mendirikan negara baru di tanah Tarik hingga akhirnya menjadi negara Majapahit yang bisa memberikan ketenteraman dan kemakmuran kepada segenap rakyatnya. Terlalu banyak kenangan yang sulit dilupakan.
Beku di sebelahnya, Ibu Ratu Narendraduhita, duduk termangu dengan tatapan mata tak beralih dari raut muka suaminya. Pandangan matanya kosong tidak bercahaya, dibalut cemas membayangkan perpisahan sejati akan terjadi. Di arah kaki Sang Prabu, Ibu Ratu Pradnya Paramita berlinang air mata dan berulang kali menyeka pipi dalam upaya kerasnya berdamai dengan diri sendiri. Meski Ibu Ratu Pradnya Paramita telah berusaha mendamaikan diri, apa yang ia lakukan bukanlah pekerjaan yang gampang, terbaca amat jelas kecemasan itu dari komat-kamit di mulutnya dan tangannya yang selalu gemetar.