WS028 - Petaka Gundik Jelita
Hutan kecil itu terletak di teluk yang sangat sepi. Hanya deburan ombak terdengar menderu di pasir sepanjang siang dan malam hari. Ombak yang begitu ganas membuat teluk itu hampir tak pernah didatangi manusia termasuk nelayan pencari ikan.
Tersembunyi di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar terdapat sebuah pondok kayu beratap ijuk. Bangunan ini cukup besar, memiliki dua kamar serta langkan lebar. Dua orang tampak duduk di langkan, berhadap-hadapan satu sama lain. Untuk beberapa saat lamanya tak satu pun dari mereka membuka mulut bersuara.
Duduk di sebelah kanan di dekat pintu adalah seorang tua berambut sangat putih, berkulit hitam, mengenakan pakaian berupa selempang kain kuning muda. Parasnya yang keriput dimakan usia tampak tenang walau benak dan lubuk hatinya disamaki berbagai pikiran dan perasaan. Di hadapannya duduk bersila seorang pemuda berpakaian putih, berbadan langsing dan berkulit puith halus. Rambutnya yang hitam agak tersuruk oleh ikat kepala putih. Meskipun dia berpakaian cara laki-laki, namun keelokan paras dan kehalusan kulitnya tak dapat menyembunyikan bahwa sebenarnya pemuda ini adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun.
"Empu, kau tadi hendak membicarakan sesuatu. Tapi sejak tadi kau hanya berdiam diri." Terdengar suara gadis elok paras.
"Terus terang sebelumnya percakapan ini sudah kupersiapkan. Namun pada waktu tiba saatnya terasa tenggorokanku menjadi kering dan lidah seperti kelu," kata orang tua yang dipanggil dengan sebutan Empu. "Nawang Suri, ketahuilah, sejak kita tersingkir dari kotaraja lama, sejak orang tuamu terbunuh, sejak sanak saudara handai taulan dan semua pejabat pengasuh dimusnahkan, sejak itu pula aku hampir-hampir hilang rasa percaya diri."
"Tapi Empu!" sang dara bernama Nawang Suri cepat memotongnya. "Selama ini justru empu selalu menanamkan semangat percaya diri padaku. Selalu mengobarkan api keberanian dan tekad bulat bahwa suatu ketika semua yang musnah itu akan kita dapatkan kembali. Adalah aneh kalau sekarang empu bicara lain."
Si orang tua itu batuk-batuk beberapa kali lalu mengaanggukkan kepalanya.
"Aku sudah tua Nawang, dan aku bukan manusia yang dapat menyembunyikan kenyataan. Sikap dan semangatku hanya akan sampai sejauh batas usiaku yang tinggal tidak berapa lama lagi. Sebaliknya semangat dan tekadmu masih harus menempuh jalan jauh dan sulit. Karena itulah aku selalu mengobarkannya dalam hati sanubarimu. Jalan yang akan kau tempuh tidak mudah apalagi mengingat kau seorang gadis muda usia. Namun menyadari bahwa kau sebenarnya adalah satu-satunya kekuatan yang tinggal, yang memiliki hak sebagai pewaris kerajaan lama yang dimusnahkan oleh penguasa yang sekarang, maka kau harus mempunyai keyakinan, keberanian, serta tekad bulat. Bahwa apapun yang terjadi kau harus mendapatkan kembali hakmu yakni tahta kerajaan yang hilang. Kau harus dan memang hakmu kelak untuk menjadi ratu penguasa di delapan penjuru angin tanah kelahiranmu ini. Siapa yang telah memusnahkan orang tua dan saudara-saudaramu harus ganti dimusnahkan. Tahta yang hilang harus kembali ke tanganmu. Kau satu-satunya yang berhak muridku. Seperti kukatakan tadi, jalan untuk mencapai itu tidak mudah. Musuh begitu kuat dan besar. Namun dengan bekal kepandaian yang kau miliki, aku yakin kau akan berhasil mendapatkan tahta yang hilang itu. Aku berdoa pada dewa semoga pada saat kau dinobatkan menjadi ratu, aku yang tua ini masih diberikan umur panjang untuk menyaksikannya. Hanya satu hal yang harus kau ingat Nawang, ilmu kepandaian yang betapa pun tingginya tidak ada manfaatnya bilamana tidak disertai akal pikiran dan kecerdikan. Lakukan rencana yang telah kita susun dengan sebaik-baiknya. Jika kau nanti meninggalkan teluk ini, bersikaplah selalu hati-hati. Aku tahu pasti mata-mata penguasa berkeliaran di mana-mana. Sebelum kita berdua mereka temukan dan tumpas, mereka tidak merasa aman. Hindari jalan-jalan umum. Jangan pernah bicara dengan siapa pun. Masuklah ke Kuto Gede pada malam hari. Ingat, satu-satunya yang harus kau cari dan temui adalah Gama Manyar, seorang ahli ukir-ukiran perak. Sepertiku dia sebenarnya juga seorang empu. Nama sebenarnya Empu Soka Panaran."
Lama Nawang Suri terdiam sebelum akhirnya berkata. "Semua pesan dan petunjuk empu akan aku ikuti. Kalau murid boleh bertanya kapan aku harus berangkat ke Kuto Gede?"
"Malam ini!" jawab Empu Andiko Pamesworo.
"Malam ini? Begitu cepat?" tanya Nawang Suri hampir tak percaya.
"Pekerjaan yang harus kita lakukan memang jenis pekerjaan gerak cepat. Berlama-lama berarti hanya memberi kesempatan pada penguasa untuk lebih leluasa menyusun kekuatan."
"Jika begitu kata empu, aku akan melakukannya," jawab Nawang Suri dengan hati bulat. "Kalau bertemu dengan Empu Soka Panaran, apa yang murid harus katakan padanya?"
"Kau tak perlu bicara atau mengatakan apa-apa. Dia sudah maklum arti kedatanganmu. Ingat baik-baik Nawang. Selalu bersikap hati-hati. Jangan bicara dengan siapa pun. Usahakan untuk tidak bertemu dengan siapa pun sebelum mencapai Kuto Gede. Juga jangan percaya pada siapapun!"
"Saya akan ingat hal itu baik-baik! Wmpu saya minta diri untuk mempersiapkan segala sesuatu!"
"Tunggu dulu Nawang," ujar Empu Andiko Pamesworo. Dari balik selempang pakaian putihnya orang tua ini mengeluarkan sebilah keris berhulu dan bersarung emas. Senjata ini memancarkan sinar kuning yag angker. Empu Andiko mencium keris itu tiga kali berturut-turut. Lalu meletakkannya di atas pangkuannya.
"Ini adalah Mustiko Geni, pusaka tunggal kerajaan semasa ayahmu memerintah. Siapa yang memilikinya dialah yang berhak akan tahta kerajaan. Ini bukan senjata biasa Nawang. Keris ini memiliki keampuhan luar biasa karena sakti. Bila kau cabut dari sarungnya akan terpancar sinar merah dan hawa sepanas api akan membersit. Jarang lawan yang sanggup menghadapinya. Karenanya kau hanya boleh mempergunakan bilamana dalam keadaan terdesak sekali."
Kagum Nawang Suri mendengar keterangan sang empu. Matanya tak berkedip memandang senjata yang ada di atas pangkuan itu.
"Ambillah Nawang!" kata Empu Andiko.
"Keris Mustiko Geni itu untuk saya empu?" tanya Nawang Suri hampir tak percaya.
"Aku tidak memberikannya padamu Nawang. Keris ini adalah milikmu sebagai pewaris tunggal kerarjaan. Selama ini aku hanya tolong menyimpan."
Dengan dua tangan gemetar Nawang Suri mengambil senjata itu dari atas pangkuan sang empu. Aneh, Mustiko Geni ternyata enteng sekali. Pada saat sang dara memegang keris sakti tersebut, detik itu pula Empu Andiko Pamesworo menjatuhkan diri bersimpuh.