WS025 - Cinta Orang-Orang Gagah
Saat itu menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya bukan tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung serta binatang-binatang lain yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin, tetapi juga menggetarkan tanah pada tempat-tempat yang dilaluinya.
Begitu cepat manusia ini berlari hingga dalam waktu singkat dia sudah menempuh jarak ratusan tombak. Suara tawanya masih juga terus mengumandang. Di lain saat di ufuk timur merambas sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri. Tanda malam telah berganti dengan siang.
Orang itu hentikan larinya. Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel pada dedaunan di sekitarnya. Setelah merasakan kesegaran, maka dia meneruskan perjalanan kembali. Seperti tadi lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun sekali ini suara tawanya tidak berlangsung lama. Dua bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan lantang terdengar.
"Singgar Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian gembiranya?"
Orang yang lari sambil tertawa hentikan lari dan memandang ke depan. Begitu melihat dua manusia berjubah hijau yang berdiri sepuluh langkah di hadapannya, bergetarlah hatinya. Perasaannya serta merta jadi tidak enak. Dua orang berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenal dengan julukan Sepasang Kobra Dewata. Jubah mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka yang lebar serta tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benar hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker. Siapa tokoh silat di Jawa Timur yang tidak kenal dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di Pulau Dewata ini?
Mereka bukan dari golongan baik-baik. Inilah yang membuat orang tadi yakni Singgar Manik merasa tidak enak walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih dan baik.
Setelah berbasa basi dan menjura pada kedua orang itu Singgar Manik lantas berkata, "Di pagi begini bertemu dengan Sepasang Kobra Dewata sungguh merupakan hal yang tidak terduga. Satu kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur cakap. Hendak kemanakah kalian berdua?"
Nyoka Gandring, orang tertua dari Sepasang Kobra Dewata rangkapkan tangan di muka dada. Sambil mengulum senyum dia berkata, "Angin kegembiraanmulah yang agaknya telah membawa kami ke mari. Coba kau terangkan, apa yang begitu menggembirakanmu hingga tertawa bergelak sepanjang jalan?"
"Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab Singgar Manik. Hatinya semakin tidak enak. "Aku tertawa karena menurutku hidup dengan tawa gembira bisa mendatangkan kebahagiaan."
"Betul sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini bukan kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami berdua!" Singgar Manik coba tersenyum.
"Jika kalian memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu makanan dan minuman yang enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan cantik untuk hiburan, tak usah kawatir. Katakan saja kalian mau yang bentuk bagaimana aku Singgar Manik pasti menyediakannya!"
Nyoka Gandring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya menyeringai.
"Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, hanya sayang kami tak punya waktu banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraanmu di sini saja sobatku Singgar Manik!"
Singgar Manik coba sembunyikan rasa kagetnya sambil berkata, "Kegembiraan apakah yang musti kuberikan di sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah, akupun tidak punya banyak waktu..."
Singgar Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu. Tetapi Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya berkata, "Kenapa musti terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh, lagi pula pembicaraan kita belum selesai."
"Harap maafkan aku sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke tempat kediamanku. Ada seorang tamu yang bakal datang."
Nyoka Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya, "Apakah tamumu itu pemilik tusuk kundai mustika yang kau curi dan sekarang berada di balik pakaianmu?"
Kini Singgar Manik tak dapat lagi menyembunyikan perubahan air mukanya. Meskipun demikian dia masih menjawab, "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kau ini membicarakan soal apakah?"
Nyoka Putubayan tersenyum jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada dia lalu berkata, "Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau Jembangan. Kau telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh silat yang bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan. Merupakan satu senjata mustika sakti. Sejak lama kami dengar kau adalah seorang pencuri lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan barang-barang curian itu, terutama benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi incaranmu. Sekarang perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Pendengaran dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu minggu lalu aku berada di danau Jembangan. Aku berniat hendak mencuri tusuk kundai yang kau katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si Pemusnah Iblis terlalu tinggi ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punya kemampuan. Daripada mendapat celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika angin baik aku akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama, hatiku akan senang sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini?"
"Puas! Puas sekali!" sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya menimpali, "Juga puas sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisa menipu Sepasang Kora Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk kundai itu. Berikan padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu Nyoka Gandring ulurkan tangannya.
"Nyoka Gandringl Apakah aku harus bersumpah untuk meyakinkan bahwa aku betul-betul belum berhasil mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
"Bersumpah?! Bagus juga. Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau Tuhan! Bersumpahlah pada setan! Ayo serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku kehilangan kesabaran!" Nada suara Nyoka Gandring mengandung hawa ancaman.