WS023 - Cincin Warisan Setan
Hujan turun menggila malam itu. Bunyi derunya menegakkan bulu roma. Apalagi angin bertiup kencang, memukul daun pepohonan, menambah seramnya pendengaran. Sesekali kilat menyambar seperti hendak membelah bumi di malam gelap gulita itu. Kemudian menggelegar suara guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas, langit seolah-olah hendak runtuh.
"Hujan keparat!" maki pemuda berpakaian putih yang lari di bawah hujan lebat itu. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak merasa perlu lagi mencari tempat untuk berteduh. Lagi pula di mana akan ditemukan tempat berlindung di dalam rimba belantara lebat itu. Daun-daun pepohonan besar tidak kuasa membendung curahan air hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut. Sesaat wajahnya tampak jelas dalam terangnya sambaran kilat. Kembali dia menyumpah dalam hati. Baru saja menyumpah geledek kembali menggelegar. "Benar-benar gila!" makinya kembali.
Mendadak orang ini hentikan larinya. Lapat-lapat, di kejauhan sepasang telinganya yang tajam luar biasa mendengar suara aneh. Suara hiruk pikuk seperti teriakan manusia. Dia pejamkan kedua matanya dan mendongak ke langit.
"Setan atau ibliskah yang menjerit di malam gila ini?" tanyanya pada diri sendiri.
"Kalau memang itu jeritan manusia mengapa mereka menjerit. Dan manusia macam mana pula yang hujan lebat begini, berada dalam rimba belantara pada malam buta?" Orang ini tidak menyadari, dia sendiri secara aneh berada di tempat itu.
Dia membalikkan tubuh, lalu lari ke jurusan datangnya suara jeritan yang sangat ramai itu. Beberapa pohon kecil yang melintang di hadapannya dihantamnya dengan tangan kiri atau tangan kanan.
"Krak...! Krak...!"
Batang-batang pohon itu patah bertumbangan.
Makin cepat dia berlari makin keras suara jeritan itu tanda dia semakin dekat ke sumber suara. Mendadak suara jeritan lenyap. Orang yang tadi berlari hentikan gerakannya, memandang berkeliling, lalu menatap tajam ke samping kanan. Samar-samar dalam gelapnya malam dan lebatnya curahan air hujan, sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berdiri dia melihat sesosok tubuh tegak berkacak pinggang di bawah hujan lebat. Hati-hati sekali, hampir tidak mengeluarkan suara, pemuda tadi menyelinap di balik pepohonan dan semak belukar, berusaha mendekati sosok tubuh yang ada di depannya. Ketika hanya tinggal empat tombak saja lagi dari orang yang tegak berkacak pinggang itu, tiba-tiba orang itu keluarkan suara tertawa bergelak. Lelaki berpakaian putih yang coba mengintai tersentak kaget dan cepat-cepat berlindung ke balik sebatang pohon. Dari sini dia meneruskan pengintaiannya.
Orang yang tertawa bergelak sambil bertolak pinggang itu mengenakan pakaian serba hitam yang basah kuyup. Rambutnya terjurah panjang, semula disangka soerang perempuan. Tapi setelah jelas kelihatan raut wajahnya, ternyata dia seorang lelaki bermuka cekung, berjanggut dan berkumis lebat. Pada masing-masing lengannya terdapat tiga buah gelang akar bahar.
Kilat menyambar, dan orang yang mengintai dari balik pohon merasakan jantungnya seperti copot. Betapakan tidak. Ketika rimba belantara itu menjadi terang benderang sekilas, pada saat itulah dia menyaksikan puluhan tubuh manusia berkaparan di tanah, di atas semak belukar, di antara pohon-pohon. Semua tergelimpang tak bergerak. Kepala atau wajah masing-masing telah hancur mengerikan. Rambut dan potongan-potongan kepala serta otak berhamburan di mana-mana. Air hujan yang tergenang tampak merah kehitaman.
"Pembunuhan masal! Siapa yang melakukannya?!" membatin pemuda yang mengintai. Tubuhnya terasa dingin sekali, sepasang lututnya terasa goyah. Selama hidupnya dia telah melihat kematian, pembunuhan bahkan dia juga telah berulang kali melakukan pembunuhan. Tapi kematian orang seperti itu dengan kepala atau muka hancur, benar-benar satu hal luar biasa. Dari pakaian yang dikenakan manusia-manusia malang itu, dari tombak, pedang dan perisai yang bergelimpangan di sela-sela tubuh manusia, jelas yang menemui kematian itu adalah serombongan pasukan. Entah pasukan dari kadipaten atau keraton mana.
Di tengah tumpukan mayat itu, orang yang tertawa semakin keras tawanya. Sambil tertawa kepalanya yang berambut panjang digoyang-goyangkan hingga air hujan yang membasahi rambutnya berdesing melesat, menghantam pohon-pohon dan dedaunan. Orang yang bersembunyi di balik pohon melengak kaget ketika menyaksikan begaimana tetesan-tetesan air hujan yang dilesatkan rambut itu menghantam rontok kulit pohon di hadapannya dan meninggalkan lobang dalam pada batang pohon.
"Dua puluh sembilan hari menguntit dan mengurung!" Tiba-tiba orang berpakaian hitam berambut panjang itu hentikan tawa dan keluarkan ucapan. "Semua berakhir pada kematian! Manusia-manusia tolol! Pangeran kalian hanya menyuruh kalian mengantar nyawa di dalam rimba belantara ini! Ha...ha...ha..."
Orang di tengah gelimpangan mayat itu kemudian tampak tundukkan kepala. Seperti tengah memperhatikan sesuatu yang ada di tangan kanannya. Lalu kembali dia tertawa gelak-gelak. Mendadak suara tawanya lenyap, tubuhnya diputar ke kiri. Tangan kanannya diangkat ke depan, sama rata dengan bahu. Dari jari telunjuknya yang diacungkan lurus ke muka tiba-tiba melesat tiga cahaya putih. Dua cahaya sebesar batang lidi, satunya lagi sebesar batang padi. Ketiga cahaya putih itu mengeluarkan suara seperti lengkingan seruling yang ditiup pada nada tinggi dengan kekuatan tiupan dahsyat.
"Siut...siut...siut...! Braaaak...!"
Batang pohon di depan hidung pemuda yang mengintai hancur lebur. Pohon besar itu roboh dengan suara bergemuruh!
"Keparat setan alas!" maki lelaki berpakaian putih yang sembunyi di balik pohon besar itu. "Bangsat berjanggut itu tahu kalau aku mengintai di sini! Gila, ilmu pukulan sakti apa yang dilepaskannya itu!" Secepat kilat orang itu jatuhkan diri ke tanah, menyusup ke dalam semak belukar lalu melompat satu tombak ke samping kanan dan berguling. Sepasang telinganya kembali mendengar suara melengking. Tanda orang berpakaian hitam itu melepaskan lagi pukulan yang memancarkan tiga garis cahaya putih itu. Setumpuk semak belukar rambas, sebatang pohon lagi hancur dan tumbang. Tapi pemuda yang tadi berhasil menyelamatkan diri saat itu sudah berada jauh di tempat yang cukup aman, yakni melesat ke atas dan bersembunyi di atas cabang pohon, di antara kerimbunan daun-daun. Ternyata manusia yang menyerangnya tidak mengetahui kalau kini dia ada di atas pohon. Sebaliknya dari atas pohon dia dapat melihat jelas gerak gerik orang di bawah sana. Sesaat lelaki di atas pohon ini berpikir-pikir, apakah dia akan membalas serangan maut tadi dengan pukulan sakti yang dimilikinya. Tetapi setelah menimbang, akhirnya dia memutuskan untuk menunda.