WS022 - Siluman Teluk Gonggo
Matahari bersinar terik membakar jagat. Pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih dengan ikat kepala juga kain putih merasakan tenggorokannya kering. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Dia merasa bersyukur karena sepeminuman teh berlalu akhirnya dia sampai di sebuah kampung. Paling tidak dia bisa minta air segar pada penduduk. Tapi kebetulan di mulut jalan ditemuinya sebuah kedai.
Pemuda ini masuk ke dalam kedai dan memesan minuman. Untuk mengurangi rasa panas dia berkipas-kipas sambil menunggu pesanan. Pada saat itulah tiga orang penunggang kuda berhenti di depan kedai. Sejenak si gondrong perhatikan ketiga pendatang ini. Kelihatannya seperti orang-orang yang tengah mengadakan perjalanan jauh dan ingin melepaskan lelah sambil membasahi tenggorokan. Si gondrong palingkan kepala tak perdulikan orang-orang itu.
Ketika pelayan meletakkan minuman di hadapan si pemuda, tahu-tahu ketiga penunggang kuda tadi sudah melompat dan berdiri di hadapannya. Sekilas si pemuda melirik, lalu acuh tak acuh dia terus berkipas-kipas. Salah satu tangannya menjangkau gelas minuman. Tapi gerakannya tertahan oleh bentakan salah seorang tamu di sampingnya.
"Jadi menurutmu ini bangsatnya?" Yang membentak ini berusia sakitar tiga puiuh tahun, berambut pendek memelihara berewok dan berbadan tinggi kekar.
Lelaki di sampingnya, seorang tua berambut kelabu, memandang sejenak pada pemuda rambut gondrong, sejurus kemudian dia anggukkan kepala.
"Memang dia bangsatnya. Aku pasti betul!" kata si rambut kelabu.
Lelaki ketiga, seorang pemuda berbadan tegap lantas saja membuka mulut, "Jika dia malingnya tunggu apalagi?!"
"Sret!" Dari balik pinggangnya pemuda ini cabut sebilah golok dan mengacungkannya ke wajah pemuda berambut gondrong yang duduk di belakang meja.
Seperti seorang buta dan tuli layaknya, si gondrong ini seolah-olah tak melihat orang-orang di sekitarnya atau tak mendengar parcakapan-percakapart di dekatnya. Dia terus saja berkipas-kipas dan malah sambil mengambil gelas berisi minuman.
"Setani Kau berani berlagak tolol piton di depan kami!" sentak pemuda yang memegang golok. Tangan kanannya diayunkan. "Prangl" Gelas di tangan pemuda gondrong papas berentakan. Sebagian Isinya tumpah membasahi meja serta pakaian pemuda ini. Bagian bawah gelas yang papas ditebas golok tajam masih berada dalam genggaman tangan kiri pamuda itu. Di dalamnya masih berada sedikit sisa minuman. Si gondrong goleng-goleng kepala lalu menyeringai. Dari mulutnya keluar siulan. Lalu seenaknya sisa minuman yang masih ada dalam gelas yang tinggal sepotong itu diteguknya sampai habis.
Semua tamu yang ada di kedai melengak heran tetapi diam-diam juga menjadi tegang. Sebaliknya tiga lelaki yang berada di hadapan si gondrong jadi naik pitam. Dan pemuda yang memegang golok kembali menghardik.
"Pencuri tamak! Kau memang layak dicincang!"
Untuk kedua kalinya golok besar itu berkelebat, kali ini dibacokkan ke kepala si gondrong. Beberapa orang tamu mengeluarkan seruan tegang karena sudah membayangkan sesaat lagi akan belahlah kepala pemuda berambut gondrong itu dihantam golok.
Tetapi gilanya manusia yang dirinya terancam bahaya maut itu justru kelihatan tenang-tenang saja. Malah cengar-cengir. Namun apa yang terjadi kemudian benar-benar merupakan satu kejutan.
Sedetik sebelum golok besar itu menghantam sasarannya, terdengar pekikan keras. Golok kelihatan mencelat ke atas dan menancap di langit-langit kedai. Pemuda yang tadi memegang senjata itu terhuyung empat langkah ke belakang sambil pegangi siku tangan kanannya. Entah kapan si gondrong ini bergerak tahu-tahu dia telah menangkis serangan maut yang dilancarkan bahkan memukul tangan sambungan siku orang yang inginkan jiwanya.
"Pelayan! Ambilkan minuman baru. Rasa hausku belum habis, tahu-tahu ada monyet kesasar yang datang mengganggui." Si gondrong berseru memanggil pelayan sambil salah satu kakinya dinaikkan ke atas kursi.
"Bangsat pencuri! Berani kau mencelakai adikku!" Tiba-tiba lelaki berewok hantamkan tinju kanannya yang besar kuat ke dada si gondrong.
"Buk!"
Tinju tepat mendarat dengan kerasnya di dada si gondrong. Tapi yang menjerit kesakitan bukannya pemuda itu, malah justru si berewok. Tubuhnya terjajar ke belakang, dan tangan kanannya kelihatan merah bengkak.
Marah dan kesakitan si berewok berteriak, "Laknat! Sekalipun kau punya ilmu setan, aku mau lihat apa kau kebal senjata!" Sebilah belati dicabutnya dari pinggang lalu secepat kilat ditikamkannya ke arah si pemuda.