WS021 - Neraka Puncak Lawu
Saat itu memasuki permulaan musim semi. Pohon-pohon yang dulu gundul tak berdaun, kini kelihatan mulai menghijau segar kembali. Dibagian barat daratan Madiun yang luas, menjulanglah pegunungan Gunung Lawu dengan lebih dari setengah lusin puncak-puncaknya yang tinggi. Sebegitu jauh hanya satu dua saja dari puncak pegunungan ini yang pernah diinjak kaki manusia.
Pegunungan Lawu membujur dari barat ke timur. Diapit di sebelah utara oleh daerah Gondang dan pegunungan Kendeng. Disebelah selatan terletak daerah Jatisrana, Purwantara dan pegunungan Kidul serta dataran tinggi Tawangmangu.
Pegunungan Lawu bukan saja dikenal sebagai sebuah pegunungan terbesar di Madiun, namun juga merupakan pusat satu partai silat terkenal dan disegani pada masa itu yakni partai Lawu Megah.
Sejak Resi Kumbara mengundurkan diri lima tahun yang lalu, maka tampuk jabatan ketua dipegang oleh adiknya yang juga merupakan adiknya seperguruan, Resi Tumbal Soka. Adapun pengunduran diri Resi Kumbara, selain usianya yang sudah amat lanjut yakni hampir mencapai 100 tahun, padri ini sudah jemu dengan segala macam urusan partai yang menyangkut 1001 macam masalah keduniaan.
Kalau Resi Kumbara dulu sempat dan berhasil mengangkat nama partai Lawu Megah menjadi satu partai besar yang dihormati dan disegani, maka agaknya tidak demikian dengan Resi Tumbal Soka. Sejak dia memegang jabatan ketua, banyak perubahan-perubahan yang dilakukannya di dalam partai. Keluar pun dia kurang mendapat tempat yang baik karena tindakan-tindakannya yang tidak tepat. Akibatnya Partai Lawu Megah pernah berselisih faham dengan partai-partai silat besar lainnya. Bahkan satu telah terjadi bentrokan yang membawa korban dengan Partai Merapi Indah.
Beberapa orang padri tua pernah menemui Resi Kumbara di ruangan samadinya. Mereka melaporkan keadaan di dalam dan di luar partai dan meminta agar Resi Kumbara suka memegang jabatan ketua kembali. Sekurang-kurangnya untuk sementara sampai kemendungan selama ini bisa dipulihkan.
Cuma sayang Resi Kumbara menolak. Orang tua ini berkata, "Apa yang sudah kuserahkan pada orang lain tak boleh kuminta kembali. Demikian juga dengan jabatan ketua partai. Adik-adikku, sebenarnya kalian datang ke alamat yang salah. Bukan aku yang harus kalian temui, tapi kakak kalian, Resi Tumbal Soka. Bukankah kalian bisa berembuk dengan dia? Bukankah kalian pembantu-pembantunya? Temui dia dan carilah jalan yang sebaik-baiknya. Cuma satu hal aku ingin tekankan. Aku tidak suka melihat adanya keretakan di antara kalian. Tak ada yang paling baik dari pada musyawarah dan persatuan. Nah, sekarang kalian pergilah. Aku tak ingin diganggu lebih lama."
Kelanjutannya tak ada seorangpun diantara padri-padri tua itu yang menemui Resi Tumbal Soka. Mereka tahu sifat ketua mereka ini. Selain mempunyai pribadi yang tertutup, juga sulit untuk diajak berunding. Dia merasa bahwa hitam putih segala sesuatunya dalam partai adalah di tangannya. Dia bisa saja mendengarkan pendapat-pendapat para pembantunya, namun apa maunya juga yang kelak akan dijalankan. Akibatnya dalam tubuh para pimpinan partai terjadi kelompok-kelompok yang saling bertolak belakang.
Kelompok pertama dipimpin oleh Resi Permana yang ingin melihat partai Lawu Megah kembali seperti masa sewaktu dipimpin oleh Resi Kumbara. Kukuh di dalam dan mempunyai hubungan baik di luar dalam kalangan persilatan.
Kelompok kedua dipimpin oleh Resi Godra. Ketidaksenangan padri ini terhadap ketuanya lebih banyak ditimbulkan oleh hal-hal pribadi. Sesudah Resi Kumbara mengundurkan diri, maka dengan usianya yang sudah 90 tahun, padri Resi Godra merupakan orang yang paling tua di Partai Lawu Megah. Dengan sendirinya dia merasa mempunyai hak untuk menduduki jabatan ketua. Namun dia menjadi kecewa sekali ketika jabatan itu diserahkan pada Resi Tumbal Soka, padahal padri ini 10 tahun lebih muda dari dia. Rupanya sang ketua yang lama lebih mementingkan hubungan darah - Resi Tumbal Soka adalah adik kandung Resi Kumbara - dari pada tata cara yang berlaku. Ditambah dengan sikap dan salah urus dari Resi Tumbal Soka, maka semakin tidak sukalah padri yang satu ini terhadap ketuanya itu.
Kelompok ketiga ialah kelompok Resi Tumbal Soka sendiri bersama pendukung-pendukungnya.
Meskipun di luaran padri tiga kelompok tersebut masih menunjukkan sikap rukun dan saling hormat, namun diam-diam laksana api dalam sekam mereka saling bertentangan.
Pada pagi hari itu hujan rintik-rintik turun di puncak Gunung Lawu. Menyaksikan keadaan puncak ini nyatalah bahwa ada satu peristiwa besar tengah terjadi di pusat partai terkenal ini.
Para pucuk pimpinan dan anak-anak murid partai semua berkumpul disebuah lapangan besar. Pada tengah-tengah lapangan ini berdiri sebuah tiang kayu setinggi tiga meter, lengkap dengan seutas tambang besar. Salah satu ujung tambang ini dibuhul demikian rupa membentuk lingkaran sedang ujungnya yang lain terikat kukuh pada palang kayu di atas tiang. Sebuah kursi terletak dekat tiang itu. Sekali memandang saja jelaslah bahwa benda-benda itu dipersiapkan untuk menggantung seseorang.
Sejak berdirinya Partai Lawu Megah hampir 200 tahun yang silam, tak pernah hal seperti ini berlangsung. Baru waktu Resi Tumbal Soka menjabat ketualah peristiwa ini terjadi. Gerangan siapakah yang hendak digantung pada pagi hari itu?
Ketua partai berdiri bersama pembantu-pembantunya sekitar dua puluh langkah sebelah kanan tiang gantungan. Disamping Resi Tumbal Soka tegak seorang dara berpakaian biru. Rambutnya kusut dan wajahnya yang cantik kelihatan mendung. Sebentar-sebentar dia pergunakan sehelai sapu tangan untuk menyapu air mata yang jatuh membasahi pipinya.