Edensor
Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalan cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong - ini pendapat Einstein - maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauhmana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam itu bak mutiara, dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh.
Kini lihatlah perbuatan Wen. Taikong Hamim, penggawa masjid, sampai mengacung-acungkan tombak mimbar pada khalayak yang silang sengketa.
"Tahu apa kalian soal hukum agama! Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus di neraka berdaki-daki!"
-=oOo=-
Langit, kemudi, dan layar, itulan samar ingatku tentang Weh. Tapi di sekolah lama Mollen Bass Technisce School di Tanjong Pandan, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang bahwa dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima pribumi yang paling cerdas di sekolah calon petinggi teknik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram. Weh seorang pemuda yang gagah. Ia bergaya, berdiri condong menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti. Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya. Seringainya hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat siapa pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama, lalu bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau, laki-laki zenit dan nadir..." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan berdiri di belakangku, aku berbalik, sepi.
Mengapa Weh kesakitan?
Semula ia baik-baik saja, bahkan tempatnya tarhormat di kalas. Sampai panyakit nista merampok hidupnya. Ia kana burut. Burut tarkutuk yang meniup skrotum dan kelaki-lakiannya, bangkak saparti bal0n sampai jalannya pangkor. Jampi dan ramuan tak mempan. Ia atau sanak leluhurnya pernah melangkahi Qur'an, kualat, tuduh orang kampung tanpa parasaan. Hidup Wwh disita malu. Samangat pamuda penuh harapan itu tumbang. Ia keluar dari Tachnisce School, mengasingkah diri, maninggalkan tunangannya. Weh mahjadi nelayan, tinggal di perahu.
-=oOo=-
Aku masih kecil dan Weh sudah tua katika kami bartemu. Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun ia telah hidup di perahu. Perkenalan kami tarjadi gara-gara aku disuruh ayahku mangantar beras dan knur untuknya. Semula aku ragu mendekati perahuhya. Laki-laki itu keluar dari lubang palka, tubuhnya anah. Ia tampak miris bartemu manusia.
"Lamparkan!" hardiknya malihat benda-benda di tanganku.
Aku tarkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku mambawa kabaikan untukhya dan ia sama sakali tak punya basa-basi. Dia bisa manakuti siapa saja, bukan aku. Weh maradang, aku bargeming.
"Keras kapala! Mirip sekali ibumu!"
Ia menibar pokok terunjam, merapatkan perahuhya ka pangkalan. Aku malompat dan bardiri tertegun di buritan. Sampai aku pulang kami tak berkata-kata.
Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkanku, aku kembali ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia kembali menibar pokok terunjam. Ia hilir mudik di depanku lalu menghunus sebilah terampang dari punggungnya sambil menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku meraih terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah lekak-lekuknya.
Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi Weh. Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya yang diknianati nasib pada senyap sungai payau, aku gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk Weh.
"Irama Semenanjung Pak Cik, programa RPM Malaysia. Banyak pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang." Weh menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan tak menyentuhnya selama seminggu.
Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan mengikuti ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di Tanjong Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong Pandan aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu Wen kudengar sayup lagu sandu. Aku manyalinap pelan-pelan. Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku. Tak pernah kulihat wajahnya sadamai itu. Programa RPM Malaysia mangalunkan "Kasih Tak Sampai", kemerosok, timbul tenggelam. Aku manggenggam kuat-kuat bungkusan beras di tanganku, hatiku mangembang.