WS016 - Hancurnya Istana Darah
Debur ombak memecah di pantai dan memukul lamping batu-batu karang terdengar abadi di udara pagi yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai tampaklah berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi tembok tinggi sepuluh tombak. Baik bangunan maupun temboknya seluruhnya berwarna merah.
Di daerah pantai seperti itu biasanya hampir tak pernah ditumbuhi pohon-pohon lain selain pohon kelapa. Namun adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang mengelilingi bangunan besar tadi tumbuh berkeliling dua puluh satu pohon beringin raksasa. Bila angin bertiup dari laut, daun-daun pohon beringin bergemerisik keras, akar-akar gantungnya bergoyang-goyang deras. Semua ini menimbulkan suasana yang menyeramkan. Di samping itu, setiap angin bertiup maka menebarlah bau busuk dan anyir dari jurusan bangunan berwarna merah itu.
Bila seseorang mendekati tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah dia akan terkejut dan berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan lekas-lekas mengambil langkah seribu. Betapakan tidak! Warna merah pada atap, tembok dan setiap sudut bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi darah. Lapisan darah inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan serta mengerikan, menebar di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya.
Matahari pagi mulai naik. Air laut kelihatan berkilau-kilau. Darah merah di tembok dan di bangunan besar di tepi pantai berkilat-kiiat sedang bau busuk amis semaki menjadi-jadi. Kira-kira sepenanakan nasi berlalu, dari arah timur, berpapasan dengan tiupan angin laut, terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda. Tak selang berapa lama di sebuah liku-liku jalan kecil yang terletak di antara bukit-bukit karang tinggi dan runcing tampaklah dua penunggang kuda memacu binatang tunggangan masing masing ke jurusan tembok bangunan merah. Baik bulu kuda maupun pakaian kedua penunggangnya keseluruhannya berwarna merah basah agak bermninyak-minyak. Sengaja dibasahi dengan darah.
Mereka mengenakan topi berkuncir seperti tarbus, yang juga dibasahi dengan darah. Dan di bawah topi-topi itu paras masing-masing teramat mengerikan untuk dipandang karena telah dipupuri dengan darah yang telah membeku.
Salah seorang dari kedua penunggang kuda itu membawa sesosok tubuh berpakaian hitam yang dimelintangkan di punqqung kuda dalam keadaan pingsan. Siapa pula orang yang menggeletak tak berdaya berpakaian hitam ini?
Kuda-kuda merah lewat di antara dua pohon beringin raksasa dan akhirnya sampai di hadapan sebuah pintu besar di tembok bangunan. Pada bagian atas pintu merah ini terdapat tiga deretan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang manusia yang telah dicat merah dan berbunyi "Pintu Gerbang Darah".
Salah seorang dari penunggang kuda yang berhenti di hadapan pintu gerbang mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu dari mulutnya terdengar satu pekik aneh yang disusul dengan suara lantang.
"Atas nama Raja Darah, bukalah pintu gerbang!"
Untuk beberapa lamanya suara pekik serta seruan manusia itu masih mengiang-ngiang di udara pantai yang mengandung garam tanda bahwa orang itu telah mengeluarkan suara dengan disertai tenaga dalam yang tinggi.
Sesaat kemudian dari belakang "Tembok Darah", demikian nama tembok merah yang mengelilingi bangunan besar itu, terdengar suara pekik balasan dan disusul oleh satu pertanyaan yang membentak keras.
"Siapa yang datang?!"
"Hulubalang Keempat dan Kelima!"
"Kalian habis dari mana?"
"Menjalankan tugas raja!"
Tak lama kemudian terdengar suara berkereketan. Pintu Gerbang Darah terbuka. Bersamaan dengan itu dari bagian bawah pintu menjorok keluar sebuah jambatan kayu besi yang juga penuh dengan darah dan bertuliskan "Jembatan Darah".
Ternyata antara Pintu Gerbang Darah dan bangunan besar di seberangnya dipisahkan oleh sebuah parit selebar lima belas tombak dan dalamnya lebih dari sepuluh tombak. Parit ini dibuat sedemikian rupa mengelilingi bangunan besar, dialiri dengan air yang telah menjadi merah karena bercampur darah dan di dalamnya berenanglah ratusan ular berbisa dari berbagai jenis yang panjangnya mulai dari satu jengkal sampai lima meter. Semua orang di situ mengenal parit itu dengan sebutan "Parit Kematian".
Kedua orang yang mengaku Hulubalang tadi melewati Jembatan Darah dengan cepat dan sampai di tangga bangunan besar. Di belakang mereka Jembatan Darah masuk kembali ke tempatnya sedang Pintu Gerbang Darah menutup dengan sendirinya.
Dengan memanggul tubuh manusia berpakaian hitam itu, Hulubalang Keempat diikuti Hulubalang Kelima menaiki anak tangga bangunan besar yang pada sebelah atasnya terdapat tulisan "ISTANA DARAH". Huruf-huruf tulisan inipun dibuat dari tulang belulang manusia yang diberi warna merah dengan darah.