WS014 - Sepasang Iblis Betina
Matahari yang tadi bersinar amat terik kini sinarnya itu pupus ditelan awan hitam yang datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langit pun mendung hitam. Hujan rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur menggelegar membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini berganti dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan saja layaknya dari atas langit.
Sekejap saja segala apa yang ada di bumi menjadi basah. Laut menggelombang, sungai menderas arusnya, sawah-sawah tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir. Di antara semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sumsum.
Di kala setiap orang berada di tempat kediamaan masing-masing, di kala semua orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar lebat itu, maka di samping sebuah bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat lari dengan amat cepatnya. Seolah-olah kedua orang itu tidak mempedulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin yang mereka lompati dalam lari mereka yang laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu nyatanya dua orang gadis cantuk jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian bukit yang terjal. Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman air hujan. Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Pakaian yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas kelihatan membayang keluar potongan badan mereka yang bagus ramping.
Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha menembus tabir hujan dan kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu..."
"Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang diketahuinya tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah kita, kakak."
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu. Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit sebelah timur. Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka, namun itu tidak mengurangi kecepatan lari masing-masing. Di kaki bukit keduanya melompati sebuah anak sungai. Kilat tiba-tiba menyambar lagi. Gadis baju kuning yang berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak, tunggu!"
"Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan larinya dan berbalik.
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu..."
"Mari kita selidiki!" ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang tua berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang gadis berparas jelita.
"Ka..., kalian... siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua gadis itu bukan manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa kau lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti.., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh aku tidak dusta..."
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan si orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si orang tua hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di bawah siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu pintu hancur dan terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat jendela samping.