WS007 - Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin
Pemuda baju biru itu berdiri dengan gagahnya di puncak bukit. Angin dari timur bertiup melambai-lambaikan rambutnya yang gondrong menjela bahu. Sepasang matanya sejak tadi hampir tiada berkesip memandang lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri dengan megahnya pintu gerbang kotaraja.
Sudah hampir setengah hari dia berada di puncak bukit itu. Sudah jemu dan letih matanya memandang terus-terusan ke arah pintu gerbang. Namun manusia-manusia yang ditunggunya belum juga kelihatan muncul.
Sebetulnya dia bisa menuruni bukit itu dan langsung memasuki kotaraja. Tapi dia ingat pesan gurunya, di kotaraja penuh dengan hulubalang-hulubalang baginda, bahkan tokoh-tokoh silat kelas satu pentolan-pentolan istana. Banyak orang sakti berilmu tinggi sehingga menyelesaikan perhitungan di dalam kotaraja sama saja mencemplungkan diri ke dalam jebakan dimana dia tak mungkin lagi akan keluar. Kalaupun ada jalan keluar, maka itu ialah jalan kepada kematian.
Dia menunggu lagi.
Sekali-sekali dia memandang ke jurusan lain untuk menghilangkan kejemuan dan kelesuan matanya. Kemudian bila dia memandang pada dirinya sendiri, memperhatikan tangan kirinya yang buntung sebatas siku, maka disaat itu ingatlah dia akan ucapan gurunya sewaktu dia hendak meninggalkan pertapaan.
"Hari ini kuperbolehkan kau meninggalkan tempat ini, Pranajaya. Tapi kelak dikemudian hari kau musti kembali kemari untuk menuntut satu ilmu baru yang sekarang ini kugodok. Kau pergi dari sini dan musti berhasil mencari ketiga manusia yang telah membunuh kau punya bapak. Tempo hari aku sudah pernah terangkan. Kau masih ingat siapa nama julukan ketiga manusia itu?"
"Mereka adalah Tiga Setan Darah, guru!" jawab Pranajaya.
"Betul!" kata sang guru. "Ketiganya berada di kotaraja. Sudah sejak lama kuketahui hidup di sana sabagai bergundal-bergundalnya baginda. Tapi ingat Prana! Sekali-kali jangan selesaikan perhitunganmu dengan mereka di dalam kotaraja. Itu barbahaya besar karena kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu yang menjadi kaki tangan baginda."
"Dengan bekal ilmu yang guru wariskan serta pedang Ekasakti yang guru berikan, tak satu lawanpun yang saya takutkan di atas bumi ini. Apalagi saya tahu bahwa saya berada di atas kebenaran."
Empu Blorok tersenyum dan rangkapken kedua tangannya di muka dada.
"Aku senang mendengar ucapan jantanmu," kata Empu Blorok pula. "Tapi walau bagaimanapun membuat kegaduhan di dalam kotaraja sangat berbahaya bagi keselamatan jiwamu. Di samping itu aku mengingat pula akan tugas yang hendak kuberikan padamu. Jadi Prana, ringkas kata kau musti membereskan Tiga Setan Darah di luar kotaraja, bagaimana caranya terserah kau!"
Sang murid manggut-manggutkan kepalanya. "Tadi guru menyebutkan satu tugas untukku. Mohon penjelasan lebih lanjut," kata Pranajaya.
"Bila perhitunganmu dengan Tiga Setan Darah telah selesai, maka kau harus pergi ke Pulau Seribu Maut."
Pranajaya tak pernah mendengar tentang pulau itu dan tidak pula tahu di mana letaknya. Maka diapun menanyakannya.
"Pulau itu," menjawab Empu Blorok, "terletak di ujung timur pulau Jawa. Di situ bercokol seorang manusia bernama Bagaspati. Dulunya dia adalah kawan baikku. Tapi kemudian mencuri sebuah senjata mustikaku dan melarikan diri. Dengan senjata mustika itu dia membuat keonaran di mana-mana dan berbuat kejahatan. Kau harus mengambil senjata muutika itu kembali dari tangannya Pranajaya. Kalau dia banyak rewel, kau tahu apa, yang musti dilakukan!"
"Baik guru!" kata Pranajaya lalu tanyanya. "Senjata apakah yang telah dicuri oleh Bagaspati itu?"
"Sebuah cambuk, Prana. Cambuk Api Angin namanya!"
"Tugas dari guru akan aku jalankan. Mohon doa restu!" kata Pranajaya.
Ketika dia hendak pamitan Empu Blorok berkata, "Tunggu sebentar Prana. Masih ada yang hendak kuterangkan padamu."
"Soal apa guru?"
"Soal dirimu. Kau lihat tangan kirimu yang buntung itu...?"
Prana memperhatikan tangan kirinya lalu mengangguk. Aneh terasa baginya kalau saat itu gurunya bicara soal tangan itu, padahal sudah sejak belasan tahun dia berada bersama Empu Blorok dan sang guru tak pernah bicara apa-apa soal tangannya yang buntung itu.