Header Ads

Niagahoster

WS064 - Betina Penghisap Darah

Dua orang penunggang kuda itu menuruni lembah Batusilang dengan cepat. Di sebelah depan adalah seorang lelaki berdestar hitam, berpakaian sederhana dan berusia sekitar 40 tahun. Di belakangnya mengikuti lelaki muda berpakaian bagus yang di kepalanya ada topi tinggi berwarna merah dengan pinggiran kuning emas, pertanda dia adalah seorang berpangkat. Dua kuda tunggangan melewati sebuah telaga kecil dan akhirnya sampai di hadapan sebuah rumah berdinding kayu beratap rumbia.

Serial Wiro Sableng

"Ini tempatnya," kata lelaki berdestar hitam seraya hentikan kudanya. Lalu dia melompat turun sementara yang satu lagi memandang berkeliling dan tetap di atas punggung kudanya. Orang berdestar melangkah menuju pintu rumah dan mendorong daun pintu yang ternyata tidak dikunci. Terdengar suara berkereketan. Orang itu masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi.

"Rumah ini kosong. Dia masih belum datang rupanya."

Orang berpakaian bagus di atas kuda mengangguk. Dia memandang lagi berkeliling. "Kalau memang belum datang aku bisa menunggu, Turangga. Sekalian kita bisa istirahat. Yang aku kawatirkan dia benar-benar tidak datang. Kau tertipu, aku tertipu."

"Saya yakin dia pasti datang, Tumenggung Purboyo. Silahkan Tumenggung turun dan masuk ke dalam. Menunggu sambil istirahat!"

Orang yang dipanggil dengan sebutan tumenggung itu turun dari kudanya. Dia melangkah ke pintu hendak masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya tertahan karena saat itu di bibir lembah terdengar suara ringkik kuda. Tumenggung Purboyo dan Turangga berpaling, memandang ke arah timur lembah Batusilang. Di kejauhan kelihatan seekor kuda putih berlari menuruni lembah. Penunggangnya seorang berpakaian ungu.

"Ia datang, Tumenggung," kata Turangga gembira.

"Hemm...," bergumam Tumenggung Purboyo. Wajahnya juga tampak berseri. "Dia menepati janji. Tidak sia-sia kita meninggalkan kotaraja jauh-jauh sampai di sini."

"Tadi pun saya sudah bilang. Dia pasti datang."

"Sekali lagi aku ingatkan padamu, Turangga. Jaga rahasia ini baik-baik. Tidak satu orang pun boleh tahu. Kedua orang tuaku. Orang-orang istana, apalagi tunangan dan calon mertuaku! Kalau kejadian ini sampai bocor, aku cuma ingin membunuh satu orang. Kau...!"

Turangga menyeringai. "Saya sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun pada keluarga Tumenggung. Masakan saya hendak membocorkan rahasia? Dulupun saya pernah muda, Tumenggung."

Penunggang kuda yang datang dari arah timur lembah itu semakin dekat. Tumenggung Purboyo mengangkat kepalanya sedikit. "Hemm..., orangnya masih jauh. Tapi bau wewangiannya sudah tercium sampai ke sini."

Turangga ikut-ikutan menengadahkan kepala dan menghirup dalam-dalam. Memang benar, dia juga dapat mencium wanginya tubuh orang yang datang itu.

Kuda putih akhirnya sampai di depan rumah dan berhenti di hadapan kedua lelaki itu. Tumenggung Purboyo terkesiap untuk beberapa saat lamanya. "Turangga tidak berdusta. Gadis ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku melihat dara secantik ini. Ah, kalau saja aku belum bertunangan pasti aku tak akan ragu mengambilnya sebagai istri," begitu Tumenggung ini membatin.

Di sana, di atas kuda putih duduk seorang dara berwajah cantik sekali. Tubuhnya yang putih mulus terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya yang panjang berhias sebuah pita juga berwarna ungu. Lalu pada lehernya melingkar sehelai selendang, lagi-lagi berwarna ungu. Sepasang mata sang tumenggung tak berkesip memperhatikan dara itu mulai dari kepala sampai ke kaki.

Sadar kalau dia membuat orang menunggu lama, Tumenggung Purboyo membuka topinya dan memberi penghormatan dengan menganggukkan kepala.

"Maafkan, saya sampai lupa mempersilakan turun dan masuk ke dalam rumah."

Dara di atas kuda tersenyum. Senyumannya seperti panah asmara yang datang menyambar, membuat Tumenggung Purboyo tambah blingsatan sementara Turangga tertegak sambil membasahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Lalu Turangga cepat-cepat membuka pintu sementara dara berbaju ungu turun dari kudanya dibantu oleh Tumenggung Purboyo.

"Perjalanan yang begini jauh pasti tidak menyenangkan. Ditambah dengan keadaan di sini. Rumah kayu buruk ini tidak pantas untuk seorang cantik jelita seperti..., ah maafkan saya. Saya belum tahu namanya."

Dara itu kembali tersenyum.

"Saya datang tidak bernama. Dan akan pergi tidak bernama."

Dalam herannya Tumenggung Purboyo cepat-cepat berkata. "Kalau begitu biar saya panggil Dewi saja? Boleh...?"

"Kalau itu memang cukup pantas mengapa tidak boleh?" Suara sang dara seindah buluh perindu, menyejukkan hati Tumenggung Purboyo tapi sekaligus juga membakar panas darah di tubuhnya. Dia mengikuti gadis itu melangkah menuju ke pintu. Di ambang pintu si gadis berhenti dan memandang ke dalam.

Rumah papan itu berlantai kayu hitam dan sangat bersih. Di sebelah kiri ada sebuah meja diapit dua buah kursi. Di atas meja terdapat seperangkat tempat minum. Lalu di bagian tengah terletak sebuah ranjang dengan tilamnya yang indah dan bantal-bantal yang empuk. Semua ini telah disiapkan Turangga sehari sebelumnya.

Powered by Blogger.