WS047 - Pembalasan Ratu Laut Utara
Djarot Pangestu mandi sepuas hatinya di bawah pancuran. Kedua tangannya sibuk menggosok daki tebal yang menyelimuti sekujur muka dan wajahnya yang bertampang menyeramkan oleh sebuah cacat guratan bekas luka yang dalam melintang, mulai dari mata kiri turun ke bawah dekat hidung sampai bibir.
Seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk mendatangi membawa sebuah sarung lusuh. "Selamat bagimu Djarot!" kata orang tua itu keras-keras agar dapat meningkahi suara air pancuran yang deras.
Djarot Pangestu berpaling sedikit lalu berkata datar. "Selamat untuk apa?"
"Bukankah siang ini kau akan keluar dari penjara? Menjadi manusia bebas kembali?"
Djarot Pangestu menyemburkan air dari mulutnya, mengusap wajahnya yang penuh berewok dan kumis liar, lalu berkata, "Dua puluh tahun jadi bangkai hidup mendekam di penjara celaka ini ketika akhirnya dibebaskan, apakah itu satu hal yang menggembirakan?"
Si orang tua bungkuk melemparkan kain sarung bututnya ke atas batu. Dia memandang ke arah kedua kaki Djarot Pangestu di mana seuntai rantai besi yang berat mengikat pergelangan kaki kiri dan kanan lelaki itu satu sama lain. Dua puluh tahun menjadi budak penjara. Duapuluh tahun pula rantai besi itu telah mengganduli sepasang kaki Djarot Pangestu.
Bagaimanapun di luar sana adalah jauh lebih baik daripada di dalam sini. Kau bisa merasa jadi manusia kembali. Dibandingkan dengan diriku, pembunuh dan pemerkosa. Seumur hidup sampai mati aku akan tetap mendekam di sini." Orang tua itu menarik nafas panjang.
Tidak seperti Djarot, kedua kakinya tidak dirantai. Namun itu bukan berarti dia mempunyai kesempatan untuk lari. Sejak sepuluh tahun lalu, ketika badannya semakin rapuh, rantai seperti itu ditanggalkan dari kedua kakinya. Dan dengan tubuh serapuh itu mana sanggup dia melarikan diri. Hasrat untuk lari pun sudah tenggelam bersama keuzuran usianya. Lagi pula apa yang diharapkannya di luar sana? Lain dengan Djarot yang saat itu baru mencapai usia sekitar 45 tahun.
Setelah membuka bajunya, dengan celana kolor orang tua ini tegak disamping Djarot di bawah pancuran. Tubuhnya langsung menggigil oleh air gunung yang dingin itu.
Di sela deru air pancuran, orang tua itu berkata lagi, "Kau akan bertemu dengan istrimu kembali. Kau akan bahagia Djarot."
"Setelah duapuluh tahun berpisah, tak ada kabar tak ada berita, apa kau kira perempuan itu masih menungguku? Aku tak akan pulang ke rumah istriku. Percuma saja! Perempuan itu tak akan ada di situ. Kalaupun ada, dia pasti sudah kawin lagi. Selama aku di sini, tidak satu kali pun dia menjengukku! Istri macam apa itu?"
"Lalu apa yang akan kau lakukan begitu keluar dari penjara kerajaan ini, Djarot?"
"Bapak tua, aku pernah menceritakan riwayat sampai aku dijebloskan ke tempat ini. Nah kau bisa menerka apa yang akan kulakukan."
"Mencari Menak Srenggi, Adipati Ambarawa itu?"
"Apa lagi kalau bukan itu pak tua!"
"Ah, dia mungkin sudah meninggal. Kalaupun masih hidup usianya paling tidak sudah mencapai tujuh puluh tahun."
"Hidup atau mati aku tetap mencari bangsat itu. Aku memang manusia keparat di masa muda. Jadi kepala rampok, raja penyamun dan pimpinan bajak. Tapi aku tidak pernah membuat urusan dengan kerajaan. Aku tidak pernah memberontak. Dan si Menak Srenggi jahanam itu telah memfitnahku sebagai gembong pemberontak. Membuat cacat wajahku dan mengirim aku ke penjara ini untuk hidup bersama tikus tikus dan kecoak selama duapuluh tahun."
Djarot Pangestu keluarkan suara mendengus, lalu kembali terdengar suaranya meradang. "Menak Srenggi, aku tahu kau bukan manusia baik-baik. Hanya pangkatmu sebagai adipati yang memberikan kekuasaan padamu untuk bertindak seenak utilmu. Tapi tunggulah, utilmu itu, perutmu itu akan kubedol sampai ususmu berbusaian. Kepalamu akan kugorok!"
"Tapi kalau dia memang sudah mati, apanya yang akan kau bedol? Usus mananya yang akan kau busai, Djarot?" tanya si bapak tua.
"Kalaupun dia sudah jadi tanah, tentu istri atau anak cucunya masih hidup. Mereka cukup pantas untuk tempatku membalaskan dendam kesumat!"
"Ah, aku rasa itu pekerjaan salah Djarot! Kalau orang yang kau anggap sebagai musuh besarmu sudah tidak ada, mengapa anak istri bahkan cucunya yang tidak berdosa jadi ajang pembalasan dendammu? Lebih baik kau melupakan masa lalumu. Kau masih muda dan bisa memulai hidup baru kembali."
Djarot Pangestu tertawa gelak-gelak. "Bapak tua...bapak tua...! Kau tahu apa tentang hidup baru! Hidupku sudah sejak lama terkubur. Sejak duapuluh tahun lalu! Kalaupun aku masih hidup, maka hidup baru yang kau maksudkan itu adalah hidup penuh darah dan nyawa!"
Terdengar suara bergemerincing rantai berat ketika Djarot menggerakkan kedua kakinya dan melangkah turun dari batu datar di bawah air pancuran.