WS029 - Bencana Di Kuto Gede
Kuto Gede sudah jauh di belakang mereka. Malam tambah gelap dan dinginnya udara semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara tampak kilat menyambar beberapa kali.
"Turunkan aku di sini!" teriak gadis di atas panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Tenang sajalah dan jangan banyak bicara. Berhenti di tempat ini masih cukup besar bahayanya. Bukan mustahil orang-orang kerajaan membuntuti kita."
"Aku tidak takut pada mereka!" sahut Nawang Suri. Dia adalah gadis yang baru saja diselamatkan Wiro Sableng ketika pecah perkelahian hebat di istana di awal malam.
Di atas bahu sang pendekar, dara itu berada dalam keadaan tertotok sementara tangan kanannya patah dan mendenyut sakit tiada henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan keluar dari mulutnya. Melihat si pemuda terus melarikannya, Nawang Suri berkata, "Jika kau tak mau menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah Maturwangi di selatan!"
"Eh, kenapa kau minta dibawa ke sana?" bertanya Wiro.
Semula Nawang Suri tak mau menjawab. Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia menerangkan, "Aku harus menemui pasukanku di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak. Aku akan kembali ke kotaraja dan memimpin penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah kubunuh, tapi sebelum tahta berada di tanganku belum puas hatiku!"
Mendengar kata-kata Nawang Suri, Wiro Sableng hentikan larinya. Sang dara didudukkannya pada akar sebatang pohon besar.
"Lepaskan totokanku!" meminta Nawang Suri. Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk menjelepok di tanah di hadapan sang dara. Untuk beberapa saat sepasang mata mereka saling memandang tak berkedip.
"Seumur hidup baru kali ini aku menemui gadis nekad sepertimu!" kata Wiro pula. Ucapan itu membuat sang dara jadi panas hatinya dan menjawab dengan suara keras. "Aku bukan manusia nekad! Apa yang aku lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta kerajaan yang mereka rampas! Demi masa depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau jangan coba menghalangi!"
"Siapa bilang aku menghalangi!" sahut Wiro sambil garuk kepala. "Kau sudah membunuh raja! Apa itu tidak cukup?"
"Memang tidak cukup! Tujuan utamaku adalah tahta kerajaan!"
"Mungkin itu memang belum jadi rejekimu."
"Ini bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak..."
"Dalam kehidupan di dunia ini, soal hak sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
"Jangan bersyair di depanku!" bentak Nawang Suri.
Wiro menyeringai kecut, dan berkata, "Dalam keadaan terluka begini, tangan patah, kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia saja. Apakah kau memiliki pasukan yang kuat serta panglima perang yang tangguh?"
"Aku dan orang-orangku memiliki semangat..."
"Gadis nekad! Semangat saja tidak cukup untuk memenangkan peperangan."
"Pemuda tolol macammu mana tahu soal perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi pelajaran dan latihan untuk perang!"
"Tapi kau bukan mau perang," kata Wiro dengan pandangan mengejek.
"Maksudmu aku ini mau apa?"
"Mau bunuh diri!"
Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena totokan mungkin Nawang Suri sudah memukuli atau menampar Wiro Sableng saat itu.
"Bunuh diri atau apapun aku tak takut mati."
"Jika kau tetap keras kepala biar kutinggal saja kau sendirian di sini!" kata Wiro seraya berdiri dan pura-pura hendak pergi.
"Kau boleh pergi! Tapi lepaskan dulu totokan di tubuhku!"
"Aku tak akan melakukan hal itu. Kudengar banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau dijadikan mangsa mereka!"
Lalu Wiro melangkah.
"Hai! Jangan tinggalkan aku!" seru Nawang Suri. Kecut juga hatinya.
"Nah, nah...! Kau harus begitu. Harus mengikuti apa yang aku bilang."
"Tapi kau bukan ayah atau majikanku! Jangan anggap budi pertolonganmu membuat dirimu merasa berkuasa atas diriku!" kembali Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
"Apa untungku menguasaimu...?"
"Kalau tidak ada maksud sesuatu mengapa kau melarikan diriku?"
"Eh... eh! Aku bukan melarikanmu. Apa yang kulakukan adalah menolongmu. Heran, bicaramu mengapa ngacok melulu." Dan Wiro hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh Nawang Suri lalu digotongnya ke balik serumpunan semak belukar lebat. Keduanya menelungkup sama rata dengan tanah.
"Jangan keluarkan suara" bisik Wiro yang mendengar suara orang mendekat. Baru saja pendekar itu selesai bicara, dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan dan berhenti sejarak beberapa langkah dari pohon besar di mana mereka sebelumnya berada.
"Heran!" terdengar salah seorang pendatang berkata pada temannya. Dia mengenakan pakaian biru berikat pinggang putih. Di tangan kanannya ada sebilah golok besar. Wiro maupun Nawang Suri segera mengenali orang ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain Ki Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton Kuto Gede.
"Aku yakin sekali mereka pasti kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak menemukan keduanya? Pemuda itu tak mungkin bisa lari cepat dengan membawa beban sosok tubuh gadis pemberontak." Kawannya terdengar menarik nafas panjang lalu mengusap-usap pipinya yang cekung. Dia adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
"Bagiku sama sekali tidak mengherankan. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Sosok tubuh manusia bagaimana pun beratnya bisa saja seperti sekantong kapas baginya. Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang aku tak percaya pada si tua bangka Wulung Kerso. Keris Mustiko Geni ada di tangannya!"
"Kita sama pendapat. Kakek itu bisa saja melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat mengejar kulihat dia menyelinap masuk ke dalam istana."
"Ya, aku pun melihat. Gerakannya agak mencurigakan".
"Ah, manusia satu itu pun sudah kuketahui belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia tak lebih dari seorang penjilat nomor satu! Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!"
Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan malam. Di balik rerumputan semak belukar Wiro membantu Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk sang dara langsung bertanya setengah mendamprat.
"Kenapa tidak kau hantam kedua bangsat itu?"
Wiro geleng-gelengkan kepala dan menjawab, "Aku tak punya permusuhan dengan mereka."
"Gila!"
"Eh, siapa yang gila...?" tanya Wiro melotot tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
"Kowe!" sahut Nawang Suri setengah berteriak. Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak- gelak.
"Hanya orang gila yang masih bisa ketawa dalam keadaan seperti ini!" menyentak Nawang Suri dengan pandangan mata dan air muka sangat jengkel.