WS019 - Pendekar Dari Gunung Naga
Lembah Merak Hijau yang terletak di propinsi Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur dengan pemandangan yang indah. Lebih-lebih karena di sebelah timur lembah ini terdapat daerah persawahan yang luas dan pada saat itu padi yang ditanam telah masak menguning hingga kemana pun mata memandang, seolah-olah hamparan permadani emaslah yang kelihatan. Bila angin bertiup, padi-padi masak menguning itu bergoyang melambai-lambai mengalun lemah gemulai.
Di pagi yang cerah ini diantara desau tiupan angin lembah yang segar terdengarlah suara tiupan seruling yang merdu sekali. Barang siapa yang mendengarnya, pastilah akan tertegun dan memasang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu. Siapakah gerangan yang meniup seruling tersebut? Tentunya seorang seniman pandai yang dapat menggambarkan keindahan pemandangan alam sekitarnya lewat hembusan napas yang disalurkannya ke dalam lobang seruling.
Tetapi adalah diluar dugaan karena kenyataannya si peniup seruling bukanlah seorang seniman, bukan pula seorang dewasa, melainkan seorang anak gembala yang baru berusia tujuh tahun dan duduk di atas punggung seekor kerbau besar tegap berbulu bersih dan berkilat.
Perlahan-lahan kerbau besar itu melangkah menyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau, kemudian mendaki bibir lembah di sebelah selatan. Di atas punggungnya bocah berusia tujuh tahun itu demikian asyiknya meniup seruling hingga dia tidak perduli lagi kemana pun kerbaunya membawanya.
Akan tetapi ketika binatang itu sampai di atas lembah sebelah selatan serta-merta si bocah menghentikan permainan serulingnya. Mulutnya ternganga dan sepasang matanya yang bening melotot begitu dia menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dua sosok tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dan putih dilihatnya berkelebat hebat, terlibat dalam suatu perkelahian yang gencar dan seru.
Adalah aneh, memikir anak itu, di tempat yang begini indah dan segar, ada orang berkelahi. Memperhatikan dengan mata tak berkesip lama-lama membuat si bocah menjadi pusing sendiri. Beberapa kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali, dipejamkan lagi, dibuka lagi. Ketika dia membuka sepasang matanya untuk yang kesekian kalinya, dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan putih dan tahu-tahu satu tendangan dahsyat dilancarkan oleh sosok tubuh bayangan hitam. Tapi bayangan putih dapat mengelak. Tendangan maut itu tak sengaja terus melabrak kepala kerbau yang ditunggangi anak tadi.
Terdengar lenguhan keras. Kerbau besar itu mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di tanah, mati dengan kepala pecah. Anak lelaki tadi terpelanting dan nyangsrang dalam semak-semak. Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya baret luka-luka. Tapi suling kesayangannya masih tergenggam di tangan kanannya. Dengan susah payah dia keluar dari semak-semak itu sambil mengomel marah ketika mengetahui apa yang terjadi dengan kerbau tunggangannya.
Di depan sana akibat kejadian yang tak disangka-sangka itu, dua orang yang tadi berkelahi mati-matian sama melompat mundur. Perkelahian terhenti dan keduanya memandang ke arah si bocah dan kerbaunya.
Kini barulah anak lelaki itu dapat melihat dengan jelas sosok tubuh dan tampak kedua bayangan hitam dan putih tadi.
Di depan sebelah kanan tegak seorang kakek-kakek berjubah hitam berkepala botak plontos yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya tebal, kumisnya jarang tapi tebal-tebal dan panjang. Tampangnya persis seperti anjing air. Di sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-kakek berpakaian putih. Rambutnya panjang putih meriap bahu. Dia memelihara kumis serta janggut lebat yang juga berwana putih. Sepasang matanya memandang tajam pada bocah yang memegang suling sedang kulit keningnya berkerut seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu.
Meskipun tadi hanya melihat bayangannya saja, namun bocah pengembara itu yakin kakek berjubah hitam itulah yang telah melepaskan tendangan hingga mematikan kerbaunya. Bocah ini memang mempunyai dasar watak yang berani. Dengan mata melotot dan air muka menunjukkan kemarahan, dia membentak pada kakek jubah hitam.
"Tua bangka botak! Kau telah membunuh kerbauku! Aku pasti akan dirajam oleh majikanku! Kau harus menggantinya kalau tidak..."
Seumur hidupnya baru kali itu kakek berjubah hitam dimaki begitu rupa oleh seorang lain, apalagi anak-anak yang masih ingusan pula. Tentu saja darahnya naik ke kepala.
"Pergi kau dari sini! Kalau tidak kepalamu akan kupecahkan seperti binatang itu!"
"Tidak! Kau harus ganti dulu kerbau yang mati itu!"
"Bocah sundal! Kau mampuslah!" teriak kakek jubah hitam marah sekali. Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat. Jangankan seorang anak kecil seperti pengembala itu, batu karang atos sekalipun kalau sampai dilabrak pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam luar biasa itu pasti akan hancur lebur.
Tapi sebelum pukulan tangan kosong itu menghantam anak gembala, dari samping menderu angin pukulan lain, menggempur angin pukulan yang pertama hingga berantakan dan punah.