WS012 - Pembalasan Nyoman Dwipa
Ketika dia memasuki Klungkung, kota itu masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi dipecah oleh derap kaki kuda yang ditungganginya. Sesampainya di depan pura besar yang terletak di persimpangan jalan, seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi karena hari masih terlalu pagi, diputuskannya untuk menghangati perutnya dengan secangkir kopi lebih dulu di kedai yang terletak tak berapa jauh dari persimpangan itu.
Meskipun hari masih pagi di dalam kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang baru datang ini duduk di tempat yang masih lowong sementara pemilik kedai melayaninya. Beberapa orang tamu memandang kepadanya lalu meneruskan menyantap kue-kue atau menghirup minumannya. Beberapa diantara mereka meneruskan percakapan yang tadi terhenti karena kedatangan pengunjung baru ini.
"Semarak kota Klungkung kini semakin tambah dengan kedatangannya orang baru itu," berkata seorang laki-laki sambil memandang pada cangkir kupinya. Umurnya kira-kira lima puluhan.
"Sudah seminggu ini tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk kau," menyahut kawannya.
"Kalau anak-anak muda yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang sudah tua begini, ampun...!" Dicabutnya rokok kaungnya dari sela bibir lalu dihembuskannya jauh-jauh.
Laki-laki yang pertama tertawa. Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma tinggal beberapa saja sedang kedua pipinya mencekung kempot. "Kau salah sahabatku. Kecantikan seorang perempuan bukan hak orang muda-muda semata untuk membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak gadis I Krambangan itu benar-benar cantik luar biasa. Belum pernah aku sampai setua ini melihat yang secantik dia."
"Apakah dia secantik bidadari?"
"Ah sobat!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya. "Kau belum bertemu dengan dia. Nantilah kalau kau lihat anak gadisnya I Krambangan itu hem..., kau akan menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke dunia ini hingga ketika dia muncul di Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua renta, kakek-kakek peot macam terong rebus!"
Beberapa orang tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi meneruskan lagi kata-katanya sementara tamu yang baru datang, sambil menikmati kopi hangatnya tidak menyia-nyiakan pula untuk memasang telinga.
"Kau tanya apakah dia secantik bidadari. Sobat, meski aku belum pernah lihat bidadari, tapi aku yakin mungkin dia lebih cantik dari bidadari di kayangan! Kau tahu, kulitnya kuning langsat, potongan tubuhnya besar diatas besar di bawah dan langsing di tengah-tengah. Matanya, hmmm. Pernah kau lihat bintang timur? Sepasang mata anak gadis I Krambangan itu lebih bagus dari bintang timur. Lehernya jenjang, pipinya selalu merah, apalagi kalau kena sinar matahari persis macam pauh di layang. Sepasang alisnya tebal hitam seperti semut beriring, hidungnya mancung kecil macam dasun tunggal. Dagunya seperti lebah bergantung. Pokoknya segala macam perumpamaan yang diberikan orang cocok melekat pada dirinya. Dan kalau dia tersenyum sobatku, hem..., rasa di awan kita melihatnya."
"Sudahlah!" memotong kawannya. "Habiskan saja kopimu. Kalau kau terus bicara tentang anak gadis I Krambangan itu mungkin lewat tengah hari baru kita sampai ke tempat pekerjaan."
Setelah kedua orang tua itu pergi, tamu tadi berpikir-pikir. Rupanya tentang kecantikan anak gadis I Krambangan itu sudah tersebar luas sampai ke pelosok kota Klungkung. Jangankan orang-orang muda, orang-orang tua seperti yang dua tadi pun masih punya minat untuk membicarakannya.
Dia memandang ke luar kedai. Matahari telah agak tinggi. Dihabiskannya kopinya dan setelah membayar harga minuman serta kue yang dimakannya, orang inipun keluar dari kedai itu, menunggangi kudanya dengan tidak tergesa-gesa menuju ke selatan.
Di tepi jalan seorang laki-laki separuh baya tengah mengukir sebuah patung di depan rumahnya. Penunggang kuda ini berhenti dan bertanya letak rumah yang tengah ditujunya. Setelah mendapat keterangan maka dia pun melanjutkan perjalanan.